"Raya?" Nindya yang sedari tadi fokus menatap ponselnya tersentak, menyadari siapa gadis yang kini berdiri di hadapannya.
"OH MY GOD, siapa ini? Ma, jangan bilang, dia akan menjadi adik tiriku?" pekik Raya, ia tak kalah kagetnya dengan Nindya.
"Nindya, jadi kamu sudah kenal dengan Raya?" tanya Rendy seraya menepuk pundak putrinya itu.
"Eh, apa maksudmu? Adik tiri? Aku juga tidak ada niat sedikitpun menjadikanmu kakak tiriku." Nindya lebih memilih merespon ucapan Raya ketimbang menjawab pertanyaan Rendy, papanya.
"Sudah ... Sudah ... Duduk dulu, Raya, mama tidak suka ya, kamu bersikap tidak sopan kayak gini.
Memasang wajah penuh amarah dan kesal, Raya menuruti keinginan mamanya. Duduk tepat di hadapan Nindya. Ia menatap pedas ke arah Nindya, mata keduanya saling beradu pandang. Tak ada sedikitpin tatapan perdamaian.
Sibuk dengan fikiran masing-masing, kedua gadis itu bertanya-tanya pada dirinya sendiri, ada apa gerangan kedua orang tua mereka bertemu?
Kiara, mama Raya, sudah 5 tahun menjanda, setelah ditinggal mati oleh suaminya. Kiara mendapatkan seluruh harta sang suami sebagai warisan, termasuk perusahaan ya kini sedang ia pimpin.
Kiara mengenal Rendy 1 tahun lalu, saat mereka terlibat kerjasama bisnis dengan perusahaan yang sama. Diawali dengan kerjasama itu mereka sering komunikasi dan akhirnya jatuh cinta.
Kini keduanya sepakat, ingin melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius yaitu menikah. Tentunya inilah yang menjadi permulaan bagi mereka, saling mengenalkan buah hati masing-masing.
"Kita pesan makan dulu ya, Kiara, Nindya dan Raya," ucap Rendy, ia mempersilahkan untuk memilih menu sesuai selere mereka masing-masing.
"Iya, Pa," jawab Nindya malas.
Semua menikmati hidangan makan malam dalam diam, tak ada satupun yang bersuara, sibuk dengan fikiran mereka masing-masing. Apalagi Nindya, fikiran gadis itu berkecamuk, apa yang sebenarnya direncanakan papanya? Adik tiri? Apa pula maksud dari Raya?
"Nindya, jadi gini, Papa berencana akan menikah lagi, dengan tante Kiara, mamanya Raya. Papa ingin minta restu untuk hubungan kami pada kalian." Rendy mengawali percakapan mereka setelah semua selesai menikmati makan malamnya.
"Papa serius?" tanya Nindya
"Papa serius, Nin. Makanya malam ini, Papa mempertemukan kalian. Nindya setuju kan? Kalau Raya gimana?" tanya Rendy.
"Gimana, Raya? Kamu tidak keberatankan kalau mama menikah lagi?" Kiara melirik putrinya yang sedari tadi hanya diam saja.
"Raya tidak melarang mama menikah lagi, tapi jangan sama Om Rendy, Ma. Raya ga mau punya saudara tiri kayak dia!" pekik Raya, gadis itu menunjuk Nindya dengan telunjuk tangan kanannya.
"Siapa juga yang mau punya kakak yang ga punya etika kayak kamu!" balas Nindya yang tak kalah geram.
"Stop!! Kalian berdua kenapa, sih?" tanya Rendy.
"Asal Om tahu ya. Anak Om berniat sekali merusak hubunganku dengan pacarku, Andy. Entah apa maksudnya, selalu saja mengakui pacarku sebagai calon suaminya." Emosi Raya meledak-ledak.
"Raya, cukup! Kita pulang, Mama malu punya anak tidak punya sopan santun!" Kiara berdiri, ia menarik tangan putri satu-satunya agar segera berdiri mengikutinya.
"Ren, mungkin kita bahas lain kali rencana kita. Aku akan mencoba bicara dengan Raya, silahkan kamu bicara dengan putrimu juga, ok? Aku pamit," ucap Kiara. Wanita itu sedikit menyeret Raya, mengajaknya pulang.
Rendy dan Nindya kembali pulang, ada perasaan cemas di hati Rendy. Apa yang diucapkan Raya membuatnya gelisah, apakah yang dimaksud gadis itu, adalah Andy, laki-laki yang selama ini sering disuruh menjadi suami Nindya, putrinya?
Rendy memang tahu, jika Andy sudah memiliki kekasih, ia tahu namanya Raya. Hanya saja Rendy tidak pernah melihat ataupun bertemu dengan kekasih Andy, sampai kejadian hari ini menyadarkan ia akan sesuatu, jika sebenarnya Raya kekasih Rendy adalah satu orang yang sama dengan Raya putri dari Kiara, calon istrinya.
"Nindya, Papa mau bicara," ucap Rendy ketika mereka baru saja sampai di rumah.
"Iya, Pa?"
"Duduklah." Rendy menepuk-nepuk sisi kiri sofa yang ia duduki. Dengan lembut Nindya mendaratkan bokongnya di sebelah papanya itu.
"Papa mau nanya masalah Raya dan Om Andy?" tanya Nindya to the point, seakan-akan ia sudah paham apa yang ada dibenak papanya.
"Kamu sudah tahu?" tanya Rendy.
"Tahu, iya, Nindya tahu, mereka memang pacaran, tapi mereka belum menikah. Raya aja yang memang kelewat cemburu, Pa ... lagian, kasian Om Andy, kayak tukang ojek, disuruh anter jemput gitu, ih ... Om Andy juga, mau aja sama cewek kayak gitu, masih mending sama Nindya, ya kan, Pa?" Nindya tersadar, papanya sudah memasang mimik wajah tak suka pada dirinya.
Ya, cara Nindya salah, salah yang terlalu barbar menyatakan perasaannya. Namun Rendy yakin, itu hanyalah cinta monyet yang akan segera berakhir.
"Jadi, sekarang Nindya inginnya gimana?" Rendy malah balik bertanya.
"Papa, apakah papa sudah melupakan mama?" tanya Nindya.
"Tentu saja tidak, Nindya. Mana mungkin papa melupakan mamamu. Hanya saja, Papa juga pasti butuh pendamping untuk masa tua Papa, juga mencarikan seseorang yang bisa menemani hari-harimu," jelas Rendy.
"Dan, sosok Kiara, hampir mirip dengan mamamu. Ia begitu lembut, perhatian, bahkan walau ia belum pernah melihatmu, ia sering sekali menanyakan keadaanmu," lanjut Rendy.
"Pa, kalau dengan bersama tante Kiara, Papa bahagia, Nindya juga bahagia untuk kebahagiaan Papa. Nindya merestui kalian, tapi—"
"Tapi, kenapa?" Rendy memotong ucapan Nindya.
"Nindya tidak bisa menjamin jika Raya merestui kalian, ia tidak suka dengan Nindya, Pa," jawab Nindya.
"Gini ya, sayang. Bisa ga, kamu menjauhi Andy? Bukannya Papa tidak suka dengan Andy, hanya saja Papapun tidak suka melihat kamu seakan-akan ingin merebut Andy dari Raya," tegas Rendy pada putrinya.
Nindya terdiam. Ia tahu, mungkin caranya berlebihan. Di lubuk hatinya yang terdalam, ia pun tidak ingin memaksakan kehendaknya, baginya, mencoba berjuang tidak ada salahnya.
"Nindya ...." Rendy menyadarkan lamunan Nindya.
"Papa lebih setuju, kalau Raya yang menikah kelak dengan Andy? Jadi Papa lebih memihak pada calon anak tiri Papa? Demi apa Pa? Demi apa? Demi setujunya Raya dengan hubungan Papa dan tante Kiara? Iya? Papa jahat! Hiksss ... hiksss ...." Nindya berhambur, menangis tersedu, pergi berlari menuju kamarnya.
Nindya mengurung diri, ia menangis di dalam kamarnya, mendekap erat foto Almira, almarhum mamanya. Pikirannya menerawang jauh, mengenang masa-masa indah dimana dulu ia dan kedua orang tuanya kerap menghabiskan waktu bersama. Kini, ia harus menerima kenyataan, Rendy, papa Ninya memutuskan untuk mencari ibu pengganti untuknya.
Yang lebih menyakitkan, ia harus menerima kehadiran Raya sebagai kakak tirinya kelak. Ingin menentang, ingin melarang, namun iapun tak ingin egois, menghalangi kebahagiaan papanya. Nindya berasa pada posisi yang begitu mendesak dirinya sendiri.
Bersambung...