"Kamu serius mau kuliah di Universitas Mahadewa? Benar kamu mau cari jurusan keguruan?" tanya Rendy kepada Nindya, putri satu-satunya.
"Seriuslah, Pa. Masak Nindya main-main? Nindya mau jadi guru nanti, Pa, kalau sudah lulus," celetuk Nindya. Kali ini ia benar-benar terlihat begitu serius.
"Setahu Papa, bukannya kamu tidak suka jadi guru, ya?" tanya Rendy, pria itu memicingkan kedua matanya, ia mencurigai gelagat putri tunggalnya yang tiba-tiba ingin kuliah dibidang yang sama sekali tidak disukainya.
"Setiap orang kan berhak berubah, Pa. Begitupula dengan Nindya. Aku akan melupakan harapanku menjadi seorang model, rasanya menjadi guru itu lebih mulia, ya kan, Pa?" ucapnya, gadis itu sembari mengulum senyumnya.
"Nindya, jangan bilang semua karena Andy? Jujur sama Papa." Akhirnya Rendy menyadari sesuatu. Ia menghela nafas pelan saat mengingat putrinya yang tergila-gila dengan Andy.
"Om Andy sudah punya calon istri, Nindya. Berhentilah mengejar sesuatu yang tidak pasti. Kamu masih muda, lo, raih cita-cita dulu. Jodoh akan datang kalau sudah waktunya," tegur Rendy.
"Pa, selama janur kuning belum melengkung, semua cewek masih punya harapan kok, untuk memiliki Om Andy," ucap Nindya.
"Nindya juga tahu, dulu Mama juga ngejar-ngejar Papa kan? Padahal Papa sudah punya pacar juga, kenapa Papa akhirnya memilih mama?" Sindir Nindya, ia meninggalkan sang Papa yang terdiam, terpaku tak mampu lagi mencari alasan untuk menghentikan putrinya.
Rendy bingung, kenapa juga almarhum istrinya harus menceritakan itu pada putri mereka.
Almira, sosok keibuan itu meninggal 2 tahun lalu. Rendy maupun Nindya begitu kehilangan, mereka tak pernah menyangka, Almira meninggal tanpa diduga sebelumnya. Perempuan hebat itu tak pernah mengeluh sakit, tak pernah bercerita apapun. Tiba-tiba terjatuh tak sadarkan diri, kemudian menghembuskan nafas terakhirnya sebelum sampai di Rumah Sakit.
"Pa, Nindya mau pergi dulu." Gadis itu meraih tangan kanan Rendy, mencium punggung tangannya dengan cepat kemudian berlari, tergesa-gesa.
"Nindya, hati-hati," teriak Rendy, ia menggeleng-gelengkan kepalanya heran melihat tingkah anak gadisnya yang sedikit bar-bar.
Nindya meraih sepeda motor maticnya, memakai helm yang bergambar kupu-kupu. Kemudian bergegas menuju cafe lanila, cafe kecil tempat para muda mudi berkumpul.
"Ada apa? Ada kejutan apa?" Nindya meletakkan helm yang dipegangannya di kursi sisi kiri, ia duduk disalah satunya, berhadapan dengan Wina, teman 1 kelasnya semasa SMA.
"Calon suamimu, tuh liat, lagi sama ayang bebnya." Wina memberi kode dengan sedikit menaikkan dagunya mengarah ke sepasang kekasih yang tengah memadu kasih, di sudut ruang cafe.
"Ehmmm ... Tunggu di sini, saksikanlah pertunjukan menarik dariku, Wina." Nindya mulai beraksi, dengan sengaja gadis itu melangkah mendekat ke arah meja Andy dan Raya. Tangannya tengah memegang air mineral yang sudah terbuka tutupnya.
"Aduh ...." Dan byurrrr!! Nindya pura-pura tersandung, air mineral yang dipegangnya tumpah mengenai badan Raya, membuat sekujur tubuh gadis itu basah kuyup.
"Sialan! Apa-apaan kamu? Gadis gila!" pekik Raya mengumpat Nindya, matanya memerah penuh amarah.
"Ya ampun, Tante. Maaf ya, Tante, aku benar-benar tidak sengaja. Aku minta maaf ya, Tante ...." ucap Nindya, ia memasang ekspresi penuh dosa di hadapan Raya, kekasih Andy.
"Cih! Dasar kamu, ga punya akhlak!" umpat Raya lagi.
"Cukup, Raya! Kemana sopan santunmu?" Andy tidak tahan mendengar Raya mencaci maki Nindya, bahkan ia menarik lengan Nindya, menjauhkan gadis itu dari kekasihnya.
"Nindya, kamu tidak apa-apakan? Jangan kamu pikirkan ucapannya, ok?" Andy membantu Nindya membersihkan pakaiannya yang basah dengan tissu yang ada di atas meja.
"Sejak kapan kamu membela gadis ini, Andy? Apakah dia sudah berhasil menaklukan hatimu? Bisa-bisanya kamu membela dia." Raya meradang, ia tak pernah menyangka jika Andy membela Nindya di depannya.
"Tuh kan, Om. Tante marah-marah terus," rengek Nindya dengan ekspresi teraniayanya.
"Apa kamu bilang? Tante? Dari tadi kamu panggil aku tante, tante. Kamu fikir aku tantemu? Cih! Tak sudi aku puya keponakan nakal sepertimu, dasar penggoda laki orang!" Lagi-lagi Raya mengumpat.
"Raya, cukup!" pekik Andy lagi.
"Nindya, pergilah, biar, Om yang akan bicara dengan Raya. Sekali lagi, maaf ya?" Andy sedikit mendorong tubuh Nindya pelan, mengisyaratkan agar gadis itu segera pergi dari hadapan mereka.
Nindya membalikkan badannya, gadis itu berjalan pelan, ia mengulum senyum menahan tawanya yang hampir saja tak mampu ia sembunyikan. Tangan kanannya menutup bibirnya. Ia bergerak cepat, melangkah menuju ke meja Wina.
"Gila kamu, Nin. Bisa-bisanya kamu bikin mereka bertengkar seperti itu," ucap Wina terheran-heran dengan kelakuan temannya itu.
"Apa sih, yang tidak bisa aku lakukan, Nindya gitu loh," ucap Nindya memuji dirinya sendiri.
****
Raya, gadis itu mengenal Nindya, sekedar kenal. Ia sangat tahu, jika Nindya begitu tergila-gila dengan kekasihnya, Andy. Sudah berkali-kali ia menegur Nindya, namun gadis itu tak pernah mendengarkan ucapan Raya, selalu saja diabaikan.
Entah sudah berapa banyak moment indah mereka hancur karena ulah Nindya. Kelakuan barbar gadis itu kerap kali mengubah suasana romantis Andy dan Raya menjadi malapetaka, selalu akan berujung dengan pertengkaran keduanya.
"Dia masih bocah, sayang ... Nanti lama-lama juga akan berhenti, bosan dengan sendirinya."
"Namanya juga masih ABG, coba aja kalau sudah ketemu yang lain, pasti dia berhenti."
2 kalimat itu selalu menjadi jawaban terampuh yang diucapkan Andy saat Raya memintanya bertindak tegas kepada Nindya.
Sama halnya dengan hari ini, kejadian yang sama terulang lagi. Lagi-lagi Nindya merusak moment indah Andy dan Raya.
"Ini sudah yang keberapa, sayang? Aku benar-benar tidak paham, kenapa gadis itu selalu muncul tiap kali kita bersama? Kamu juga, selalu saja membela dia, jujur, An, apa kamu mulai memiliki perasaan padanya?" beberapa pertanyaan dilontarkan secara bersamaan oleh Raya, hatinya benar-benar sudah tidak mampu lagi menahan rasa kecewanya.
"Dia masih bocah, Raya, berhentilah cemburu padanya," jawab Andy, pria satu-satunya yang begitu sabar menghadapi keegoisan Raya.
"Selalu itu jawaban kamu, dia sudah dewasa, sayang, coba kamu lihat itu, lihat, dia tertawa lepas setelah membuatku berantakan seperti ini. Yakin kalau dia tidak sengaja? Yakin? Jujur aku capek, aku pergi!" Raya berdiri begitu saja, ia bergegas berlalu meninggalkan Andy, melewati meja Nindya, berhenti dan menatap gadis itu penuh amarah.
"Puas kamu? Dasar jalang!" umpatnya seraya mengambil gelas di hadapan Nindya dan byur!! Segelas ice lemon tea berhasil mendarat di wajah Nindya.
"Dasar tante tante gatel," pekik Nindya seraya membersihkan wajahnya dengan selembar tissu.
Kapok? Tidak, bukan Nindya namanya jika gadis itu jera. Ia tidak pernah jera, berapa kalipun ia disakiti Raya, itu bukanlah perkara yang sulit baginya. Obsesinya memiliki Andy lebih tinggi daripada rasa sakit yang diberikan Raya padanya.
"Nindya, kamu tidak apa-apa? Pulanglah, bersihkan dirimu, Om minta maaf, ya? Raya memang begitu, jangan terlalu dimasukkan ke hati." Setelah menegur Nindya, Andy bergegas pergi menyusul kekasihnya.
Bersambung...