Chereads / A Boy and His Beloved Man(s) / Chapter 54 - Terlalu menyakitkan (1)

Chapter 54 - Terlalu menyakitkan (1)

Setelah beberapa detik ia terdiam, akhirnya Danu kembali meletakkan hp milik Reno di telinganya.

"Halo, ini Icha ya?" sahut Danu dari telepon itu.

Mendengar yang menjawab bukan suara sahabatnya, membuat Icha gelapan karena malu.

"Eh? I-ini bukan Reno? I-ini suara Om Danu ya?" jawab Icha.

"Iya, ini saya. Mohon maaf Icha, Reno-nya udah tidur, kayaknya kelelahan."

"Eum, maaf Om, hehe. Icha mau ngasih surprise ke Reno, soalnya dia ulang tahun hari ini."

Danu mengerutkan keningnya, bingung dengan perkataan Icha.

"Sekarang bukannya tanggal 25 Juni ya? Seinget saya, Reno itu ulang tahunnya tanggal 25 Juli?"

"25 Juli? Ouh... Om Danu ngeliat dari kartu pelajar punyanya Reno ya?" tebak Icha.

"Iya, saya liat dari kartu pelajarnya Reno."

"Kalo dari kartu pelajar, itu datanya salah Om. Hampir satu angkatan salah semua tanggal lahirnya, jadi dilebihin satu bulan gitu. Kayaknya sih salah cetak apa gimana, Icha nggak tau juga. Sampe sekarang pun belum dikasih kartu yang datanya bener" jelasnya.

Menganggukkan kepalanya, Danu sekarang paham apa maksud Icha.

"Oh gitu ya, yaudah makasih informasinya ya Icha. Nanti kalo Reno udah bangun, saya kasih tau ya kalo kamu nelpon dia tadi."

"Siap Om, maaf juga kalo Icha ganggu tengah malem gini, hehe."

"Ya nggak apa-apa, santai aja. Saya tutup ya teleponnya."

Setelah menutup panggilan telepon itu, kembali mereka bertiga saling tatap.

Hingga... prang!!! Danu melempar gelas yang ada di meja ke lantai, sehingga gelas itu pecah.

"Dan, udah-udah. Ini bukan waktu yang tepat buat marah-marah." Bayu menahan tubuh Danu, agar pria itu tidak merusak barang yang ada di dekatnya lagi. Namun Danu terus berusaha melepaskan diri, karena sudah terlanjur kesal.

"Reno ulang tahun hari ini Bay! Gimana saya nggak marah?! Kita udah buat dia nangis di hari ulang tahunnya! Hari ini harusnya hari di mana Reno tuh seneng! Tapi kita malah bikin dia nangis!" teriak Danu keras, napasnya tidak beraturan karena ia emosi.

"Iya-iya saya paham Dan. Kamu mau marah, kesel, banting barang, apa aja terserah, saya nggak akan larang. Tapi plis, sekarang bukan waktu yang tepat buat marah-marah begitu" ujar Bayu lagi. Raut wajahnya terlihat memelas, karena pria itu bingung antara harus marah juga atau bagaimana.

"Bayu bener Dan. Saya juga mau marah, tapi kayaknya nggak berguna juga kalo marah-marah? Mending kita cari Reno dulu ya?" imbuh Arsyad.

Danu mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan Arsyad. Segera ia melepaskan dirinya dari Bayu yang sedang menahannya.

Lalu... prang!!! Kembali Danu melempar gelas lainnya ke lantai, membuat pecahan kaca itu berserakan di mana-mana. Setelahnya ia berjalan keluar dari kamar.

Sementara itu Arsyad dan Bayu hanya saling tatap, acuh tak acuh dengan sikap Danu. Kemudian mereka berdua menyusul Danu, lalu kembali mencari Reno.

~ ~ ~

Bulan purnama bersinar terang, menyinari langit malam yang cerah ditemani dengan bintang-bintang juga. Suasana memang indah, namun tidak dengan suasana hati seorang remaja yang sedang duduk di bawah pohon palem itu.

"Argh!!!" teriak Reno keras, hingga suaranya memenuhi pantai.

Terlihat ia sedang kesal, sampai-sampai menjambak-jambak rambutnya sendiri dan sesekali memukul pohon palem yang disandarinya hingga tangannya lecet dan mengeluarkan sedikit darah. Ia tidak peduli kalau dilihat oleh banyak orang dan dikira gila, karena kenyataannya pun Reno hampir gila.

Hatinya benar-benar hancur, saat ia mendengar dengan jelas kalau cinta mereka hanyalah sekedar taruhan yang mereka buat beberapa bulan lalu. Ia mengira kalau semua cinta mereka itu nyata, namun ternyata hanya sebuah permainan belaka.

Air matanya terus mengalir keluar, tangannya terus memegangi dadanya sendiri karena terasa sangat sakit dan sesak. Perasaannya sangat campur aduk, antara marah, kesal, dan tentunya kecewa. Ia tidak percaya kalau mereka bertiga hanya mempermainkan perasaannya, ia tidak bisa menerima kenyataan yang seperti ini.

Semua yang janggal akhirnya terjawab sudah. Pertanyaan tentang mengapa mereka bertiga tiba-tiba saja menyatakan cinta kepada dirinya di waktu yang berdekatan, ternyata itu hanyalah permainan mereka saja. Parahnya lagi, Reno adalah taruhan dari pemainan yang mereka buat itu.

"Sayang? Apanya yang sayang? Manis doang di depan, di belakangnya busuk! Harusnya gue tau! Harusnya gue tau karena ini kedua kalinya gue ngerasain hal yang sama kayak halnya Pak Sigit. Mereka sama aja, sama-sama brengsek! Argh!!!" kesal Reno, ia kembali memukul pohon palem itu beberapa kali hingga lukanya semakin lebar. Namun rasa sakit di tangannya tidak sesakit luka yang ada di hatinya.

Tak lama, ia melepaskan semua pemberian dari mereka bertiga. Kalung, gelang, cincin, Reno lepaskan dari tubuhnya. Bukti cinta? Rasanya itu hanya main-main saja. Jadinya ia langsung membuang semua barang-barang itu ke laut, dengan harapan barang itu hilang tersapu ombak dan juga perasaannya. Kembali remaja itu bersandar, lalu menekuk kedua kakinya dan memeluknya. Sorot matanya lurus ke arah pantai, sambil Reno menopang dagunya di atas lutut.

Cahaya bulan cukup terang saat ini, seakan sedang menyaksikan Reno yang sedang patah hati dan sedang duduk di bawah pohon palem itu.

Tak lama, remaja itu mendengus kesal, karena ia melihat bayangan yang mendekat kepadanya. Tiba-tiba saja emosinya naik, lalu ia menoleh ke arah orang yang datang itu dengan penuh kemarahan.

"Apa?! Masih belum puas juga nyakitin perasaan aku?!" teriaknya agak keras.

Tanpa melihat yang datang, Reno sudah marah terlebih dahulu. Alangkah kagetnya ia ketika mengetahui kalau yang datang bukanlah tiga pria yang Reno benci, melainkan seorang perempuan bule yang datang.

Bule yang memiliki badan bagus dan hanya mengenakan bra serta hot pants sepaha serta cardigan tipis, terlihat kaget karena Reno membentaknya tadi.

"Um sorry, I thought you were someone else (maaf, aku kira kamu orang lain)" ucap Reno pelan, ia sedikit merasa bersalah karena membentak orang yang tidak dikenalinya.

"Are you okay boy? Why are you crying? (Apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu menangis?)" tanya bule itu, raut wajahnya terlihat cemas ketika melihat Reno yang menangis.

Reno mengusap air matanya yang menetes, lalu berusaha tersenyum kepada perempuan cantik itu.

"Just having a little problem with my... um... crush... (hanya ada sedikit masalah dengan... gebetanku...)"

"Ah I see. Sorry to bother you by the way. I came here because I saw you from that restaurant around an hour ago. I just want to make sure you're okay or not. (Oh begitu. Omong-omong maaf kalau mengganggumu. Saya datang ke sini karena saya melihat kamu dari restoran itu sekitar satu jam yang lalu. Saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja atau tidak.)"

"I'm okay, no need to worry about me. (Aku tidak apa-apa, tidak perlu mengkhawatirkanku.)"

Kemudian bule itu mendekat ke Reno, lalu duduk di sampingnya. Tangannya ia ulurkan, bermaksud untuk berkenalan dengan Reno.

"I'm Leona, from Aussie. (Saya Leona, dari Australia.)"

"I'm Reno. (Saya Reno.)"

Mendengar nama Reno, bule itu menaikkan sebelah alisnya. "Kamu orang Indonesia?" tanya bule itu, yang diangguki oleh Reno. "Your English so fluent, I'm impressed (Bahasa Inggris-mu sangat fasih, saya terkesan)" ucapnya lagi.

"Yeah, thanks. You can speak Bahasa? (Ya, terima kasih. Kamu bisa bicara bahasa Indonesia?)" tanya Reno balik.

"Ya, saya bisa bicara bahasa Indonesia. Saya sering pulang pergi dari Aussie ke Bali atau sebaliknya, urusan pekerjaan" jawab bule itu.

Reno mendengus kesal, kenapa bule ini tidak bicara bahasa Indonesia semenjak pertama tadi. Kalau begitu, Reno tidak perlu pusing-pusing berpikir untuk bicara bahasa Inggris.

"Kamu menginap di mana?" tanya bule itu. Reno hanya menjawab dengan sebuah tunjukan jarinya. "Ini sudah jam 1 dini hari, hampir pukul 1.30 dini hari. Udara juga semakin dingin di sini. Mau saya antar ke hotelmu?"

Reno menggelengkan kepalanya.

"Tidak perlu, terima kasih. Aku sebentar lagi akan kembali ke hotel, aku bisa sendiri" jawab Reno berbohong.

"Baiklah kalau begitu." Bule itu pun bangkit dan berdiri di samping Reno. "Masa remaja seperti kamu memang sulit, especially about love (terutama tentang cinta). Kamu sedang patah hati dan sekarang kamu ada di tepi pantai, don't do something stupid okay (jangan melakukan hal bodoh, oke?)"

Reno terkekeh mendengar perkataan bule itu.

"Of course I won't, I still want to live (Tentu tidak, aku masih ingin hidup)" sahut Reno dengan senyum.

"I trust you boy. (Saya percaya kamu.)" Bule itu pun tersenyum kepada Reno. "Kalau saya tinggal, apa tidak apa-apa?"

"It's okay (Tidak apa-apa), aku bisa jaga diriku sendiri."

"Baiklah. You look strong, so keep strong, okay? (Kamu terlihat kuat, jadi tetaplah kuat. Oke?)" ucap bule itu lagi sambil memperagakan ala otot tangan yang berarti kuat untuk menyemangati Reno.

Remaja itu tersenyum sambil memberikan jempolnya kepada perempuan cantik tersebut. Kemudian perempuan itu membalas senyuman Reno, lalu ia pergi ke restoran yang tidak terlalu jauh dari posisi Reno berada sekarang ini.

Tangisan Reno perlahan mereda karena kehadiran perempuan bule yang cantik itu tadi. Namun rasa kesal dan kecewa tentu masih ada di dalam hatinya.

Sekarang, Reno benar-benar jauh dari rumah. Ia tidak tau bagaimana cara untuk pulang dari sini. Inginnya ia menelpon Icha, namun sayangnya hp miliknya berada di kamar. Ia sangat enggan untuk ke kamar, jadinya ia mengurungkan niatnya.

Kembali remaja itu menyandarkan tubuhnya di pohon palem yang sudah ia pukul beberapa kali tadi, melamun dan menatap lurus ke arah laut dengan desiran ombaknya yang suaranya menenangkan. Lalu ia menekuk kembali kedua kakinya sambil menidurkan kepalanya di atas lututnya sendiri.

* * *