Reno membuka matanya, lalu mengucek sedikit matanya agar penglihatannya semakin jelas. Ia merenggangkan sedikit otot-ototnya, lalu ia duduk di tepi dipan.
Ketika menengok ke arah kanan, Reno terkejut saat ada orang yang sedang tidur di kursi meja belajarnya. Apalagi orang yang sedang tidur itu tidak memakai baju, hanya boxer yang sangat pendek yang melekat di tubuhnya.
Namun dirinya tertawa kecil, saat menyadari kalau yang sedang tidur adalah Sigit. Ia lupa, kalau tadi guru olahraganya itu mampir ke rumahnya dahulu karena ingin mengajaknya jalan-jalan.
Reno berjalan menuju ke dapur, namun langkahnya terhenti ketika sudah berada di samping Sigit yang sedang tertidur. Ia menelan ludah, saat melihat gundukan besar dari balik boxer yang dipakai oleh Sigit.
Ada rasa penasaran yang muncul, apalagi kini sudah terasa begitu dekat. Ingin sekali dirinya nekat, tapi masih bisa dikendalikan oleh akal sehatnya.
Kembali Reno berjalan menuju dapur, membuat segelas teh tawar hangat untuk menghilangkan pikiran kotornya itu. Selesai membuat teh itu, Reno berbalik badan dengan membawa gelas itu.
"Udah bangun Ren?"
Suara berat dan sosok besar yang berada tepat di hadapannya membuat Reno terkaget, sampai gelas yang ia pegang terjatuh ke lantai. Kakinya berjalan sedikit ke belakang, sementara tangannya memegang dadanya karena sesak.
"Lho Ren?! Kamu kenapa?!" Sigit ikut kaget, ketika melihat Reno seperti sesak dan kesulitan bernapas. Buru-buru ia menggendong Reno agar tidak terkena pecahan gelas tadi, lalu membawanya ke kasur.
"Ren?! Kenapa?!" Dengan memukul kecil pipi Reno, Sigit berharap Reno sadar.
"Astaga, ternyata Pak Sigit" ucap Reno sekitar satu menit kemudian.
Sigit mengerutkan keningnya, bingung karena reaksi Reno yang sangat lambat. Apalagi ia melihat Reno yang memegang dadanya tadi, napasnya juga terdengar sesak.
"Kamu punya asma?" tanya Sigit setelah meyimpulkan kejadian tadi.
"Asma?" Reno menaikkan sebelah alisnya. "Nggak, aku nggak punya penyakit asma" jelas Reno.
"Tapi tadi kamu?"
"Aku kaget Pak."
"Kaget gimana? Kok bisa sampe sesak napas gitu?"
Melihat wajah Sigit yang serius dan tak bercanda, membuat Reno bertanya-tanya dalam hatinya. Memangnya iya? Batinnya.
"Aku kira setan tadi" jawab Reno jujur, karena ia melihat Sigit yang tinggi besar ada di hadapannya secara tiba-tiba. "Lagian Pak Sigit ngagetin aja. Pas aku liat tadi masih tidur, terus pas aku balik badan eh udah ada di depan aku. Gimana aku nggak kaget coba?"
Sejujurnya Reno sangat takut dengan yang namanya hantu. Selama ia hidup, ia belum pernah sekalipun melihat hantu. Maka saat tadi, ia mengira kalau Sigit itu hantu, makanya ia kaget bukan main.
"Kamu beneran nggak papa kan Ren? Apa mau cek ke dokter?" usul Sigit.
Buru-buru Reno menggeleng, ia tidak mau merepotkan siapapun, termasuk guru olahraganya itu. "Aku cuma kaget biasa kok, nggak kenapa-napa." Reno tersenyum, berusaha meyakinkan Sigit kalau ia memang sehat-sehat saja.
"Yowes, saya bersihin dulu pecahan gelas tadi" ucap Sigit.
"Eh, biar aku aja Pak!"
Reno berjalan, menghampiri Sigit yang sedang mengambil sapu. Ketika ia ingin merebutnya, tangan kekar Sigit dengan mudahnya menahan tubuh kecil Reno.
"Sana mandi, abis ini kita cari makan abis itu jalan-jalan" titah Sigit dengan suaranya beratnya.
Sudah mendengar guru olahraganya memberi perintah, Reno tidak bisa menolak atau protes. Ia menganggukkan kepalanya, lalu berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap-siap untuk jalan-jalan bersama guru tercintanya itu.
~ ~ ~
Reno sedang tertunduk diam, karena sekarang ia sedang makan di salah satu restoran mewah di salah satu mall, tentu bersama dengan Sigit.
Sebenarnya Reno tidak mau diajak ke restoran mahal ini, karena ia tau ia kurang pantas berada di sini. Selain itu ia tau, harganya pasti sangat mahal.
Kenyataannya pun begitu, Reno merasa minder saat orang-orang lain yang makan di restoran ini memakai baju rapih dan bagus, sementara ia hanya memakai kaos biasa yang harganya tak seberapa.
"Pak, a-aku nggak nyaman di sini" ucap Reno pelan, karena restoran itu cukup ramai karena weekend. Ia juga yakin, kalau sekarang banyak tatapan mata yang sedang mengarah kepada dirinya.
"Nggak nyaman kenapa?" heran Sigit.
"A-aku malu, di sini orang-orang kaya semua" balas Reno dengan tertunduk. "Harganya juga mahal, aku nggak enak mau makannya" sambung Reno, sambil melihat ke makanan berisi daging dan kentang yang harganya mencapai 300 ribu lebih untuk satu porsi saja.
"Ngomong apa toh kamu Ren? Udah makan, nggak boleh buang-buang makanan" titah Sigit.
"Tapi..." Reno menatap ke arah Sigit. Ia membuang napas gusar karena ia tau Sigit serius dengan perkataannya tadi.
Reno memotong daging itu dengan pisau, lalu ia mengganti dengan garpu dan memakan daging yang sudah ia potong tadi. Ketika daging itu masuk ke mulutnya, mata Reno terpejam, merasakan rasa makanan yang luar biasa enak itu.
Sigit tersenyum, karena mengetahui Reno sangat rendah hati. Bahkan ia tidak menyangka, Reno sampai segitu malu hanya karena makan di restoran yang menurutnya biasa saja. Makanya sekarang, ia hanya memakai singlet ketat untuk makan di restoran itu.
Meski tidak nyaman dan tidak enak, Reno tetap menghabiskan makanan lezat itu. Karena pikirnya, tidak baik membuang makanan, selain itu karena makanan ini juga sangat-sangat mahal.
Sekarang Reno hanya bingung, bagaimana cara mengganti makanan yang harganya selangit ini kepada Sigit.
Selesai makan, mereka berdua mengelilingi mall untuk melihat-lihat terlebih dahulu. Hari ini mall sangat ramai, karena ini adalah malam Minggu.
Reno memang senang diajak jalan-jalan oleh Sigit, namun wajahnya terlihat datar dengan senyum yang dibuat-buat. Ia pikir pergi ke mall akan menyenangkan, namun kenyataannya tidak begitu. Ini adalah pertama kalinya Reno pergi ke mall.
Sejak dulu, ia memang ingin tau ada apa di dalam mall. Tapi setelah mencari tau dari internet, Reno mengurungkan niatnya untuk pergi ke mall. Bahkan ketika Icha atau Yoga atau teman-teman lainnya mengajak pergi ke mall, Reno pasti menolak.
Ia sadar diri kalau ia bukan orang kaya yang bisa menghambur-hamburkan uang sesuka hatinya. Tujuan ia ke ibu kota adalah untuk sekolah dan mencari ilmu, bukan untuk bersenang-senang.
Melihat Reno yang tidak senang di mall, membuat Sigit jadi serba salah. Entah mengapa hatinya begitu tergores ketika melihat wajah Reno yang murung dan lesu. Membuat Sigit berpikir, untuk pulang sesegera mungkin.
"Kamu kenapa Ren? Kok kayaknya nggak suka saya ajak jalan-jalan?" tanya Sigit, ketika mereka sudah berada di lift.
"Maaf Pak, bukannya aku nggak suka, tapi gimana ya. A-aku kurang nyaman di sini, aku ngerasa nggak cocok pergi ke mall." Reno menghela napasnya. "A-aku kurang nyaman kalau diliatin sama orang-orang kayak tadi" jelas Reno.
Sigit kembali melihat Reno dari ujung kepala sampai ujung kaki. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan penampilan Reno.
Reno memakai baju kaos hitam biasa, dengan celana panjang berwarna cream. Ia memang memakai sepatu sandal saja, bukan sepatu. Tapi di mata Sigit, penampilan Reno sangat simpel dan terkesan kasual, tidak ada yang salah sama sekali.
"Kamu kenapa bilang begitu Ren? Perasaan, kamar kost kamu lengkap? Kamar mandi pakai shower, ada dapur, ada mesin cuci, pakai AC, ada water heaternya juga? Harga sewanya pasti nggak murah kan?" tanya Sigit.
"Iya Pak, harga sewanya mahal. Nyentuh satu juta lebih per bulannya, bahkan hampir dua juta. Aku nggak tau kenapa bapak sama ibu aku nyuruh aku tinggal di situ, kalau aku minta pindah kost cari yang murah pasti nggak diizinin" jelas Reno. "Padahal, bapak sama ibu aku pendapatannya nggak nyampe segitu setiap bulannya" sambung Reno pelan.
Sigit tidak bisa berkata lagi, ia hanya memberikan senyumnya sambil mengelus kepala Reno.
~ ~ ~
Kini motor melaju entah kemana, dengan Sigit yang mengendarai dan Reno yang duduk di jok belakang. Tubuhnya agak membungkuk, karena motor sport yang dipakai oleh Sigit. Membuatnya mau tak mau harus memeluk tubuh gurunya itu agar tidak terjatuh dari motor.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di salah satu pantai di Jakarta. Hanya itu yang Sigit bisa pikirkan, karena ia menyimpulkan kalau Reno tidak terlalu suka pergi ke restoran atau tempat-tempat bangunan yang sejenis mall.
Sigit memarkirkan motornya, lalu turun dari motornya. Reno yang daritadi melamun pun tersentak kaget, karena perasaannya mereka baru saja berangkat dari mall tadi.
"Nggak mau turun dari motor?" tanya Sigit.
"Eh? I-iya Pak, maaf. A-aku turun" balas Reno. Kemudian ia turun dari motor dan melepas helm yang dipakainya.
Reno celingak-celinguk melihat sekitar, senyumnya melebar ketika mengetahui kalau Sigit membawanya ke pantai.
"Ini dimana Pak?" tanya Reno. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumannya karena senang.
"Pantai Ancol? Emangnya kamu nggak tau?" balas Sigit.
"Ouh, jadi ini yang namanya pantai Ancol" sahut Reno pelan.
Sigit tersenyum simpul ketika melihat senyuman di wajah Reno. Keputusan untuk mengajaknya ke pantai, sepertinya sangat tepat.
Dengan cepat Sigit menggenggam tangan Reno. "Yuk!"
Mereka berdua berjalan menuju ke pantai yang lokasinya tak jauh dari tempat parkir motor. Reno yang kalah tenaga dengan Sigit, hanya bisa pasrah dan mengikuti guru olahraga yang sedang menggenggam dan menarik tangannya itu.
Senyuman di wajah mereka berdua terlihat dengan jelas, keduanya merasa senang. Terlebih Reno, ia masih tidak percaya kalau sekarang dirinya benar-benar sedang jalan-jalan bersama guru idamannya itu.
Sigit langung mengajak Reno ke tepi pantai, duduk bersebelahan di hamparan pasir pantai. Mereka dua memakan mie instan cup, karena angin cukup kuat dan udara lumayan mendinginkan tubuh.
Reno yang sangat amat menyukai pantai, tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau sekarang ia senang sekali. Apalagi sekarang mereka sedang berduaan, melihat pemandangan pantai, di malam Minggu. Pikir Reno, mereka berdua seperti sedang berpacaran.
Pantai Ancol memang tidak seindah pantai di Bali, namun bagi Reno ini sudah lebih dari cukup untuk menyenangkan dirinya. Suara desiran ombak selalu bisa membuat dirinya tenang, ditambah langit yang berwarna oranye karena waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. Semuanya benar-benar sempurna.
"Seneng kamu Ren?" tanya Sigit, yang sedang melihat ke arah Reno.
Dengan tersenyum, Reno menoleh ke pria gagah yang bertanya itu. "Seneng Pak, aku seneng banget" ucapnya jujur.
"Syukur deh kalo gitu" balas Sigit.
Kembali Reno menoleh ke arah laut. Sambil merasakan suara ombak dan angin, sambil juga ia menyeruput mie yang ada di tangannya sekarang. Ia tidak menyangka, hanya dengan berjalan-jalan bersama orang yang disukainya bisa membuat suasana hatinya benar-benar gembira dan damai.
Selesai makan, mereka berjalan-jalan sejenak untuk melihat sekelilingnya. Ada yang sedang olahraga, ada yang sedang main pasir, ada yang berenang, sampai ada yang pacaran juga.
"Sekolah kamu gimana Ren?" tanya Sigit memecahkan keheningan.
"Alhamdulillah baik Pak, kan Pak Sigit sendiri tau kalau aku bukan anak bandel di sekolah." Reno tersenyum, memperlihatkan deretan gigi rapihnya.
"Iya, saya juga tau banget soal itu. Kabar orang tua kamu gimana? Sehat-sehat di kampung sana?"
"Alhamdulillah mereka berdua sehat Pak. Aku sering teleponan sama video call ke mereka berdua, jadi tau soal kondisi mereka."
"Syukur kalo begitu." Sigit tersenyum, lalu mereka kembali berjalan beriringan mengitari tempat itu.
~ ~ ~
Pukul 9 malam kurang, mereka memutuskan untuk mengakhiri jalan-jalan menyenangkan itu. Mereka sedang di tempat parkir, bersiap untuk pulang karena hari sudah gelap.
Reno sedang menatap lekat ke Sigit yang sedang sibuk dengan motornya, matanya tak berkedip melihat ke lengan Sigit yang kekar itu. Sesekali ia mencuri pandang ke dada bidang Sigit, sesekali juga ia mencuri pandang ke arah selangkangan Sigit yang memiliki gundukan besar itu.
"Pak Sigit nggak malu ya pakai singlet doang jalan-jalan begini? Dari tadi aku perhatiin banyak orang yang ngeliatin Pak Sigit" tanya Reno.
"Kenapa malu? Orang badan saya bagus" jawab Sigit dengan terkekeh.
"Sombong banget" sahut Reno, lalu memperhatikan tubuh Sigit. "Tapi emang bagus sih" sambungnya pelan.
Sigit memberi helm kepada Reno, lalu mereka berdua memakai helm masing-masing. Keduanya terlihat saling bertatapan setelah helm sudah terpasang di kepalanya.
"Oh iya Ren, kalau nginep aja gimana?" usul Sigit.
"Nginep? Dimana?" bingungnya.
"Di apartemen saya? Mau?" tanya Sigit.
Reno berpikir sejenak. Hatinya berkata sangat-sangat mau untuk menginap di apartemen guru idamannya itu, namun pikirannya mengatakan tidak karena takut merepotkan nanti.
"Em, nggak usah deh Pak. Aku takut ngerepotin" jelas Reno.
"Kan saya yang nawarin, ngerepotin darimana?"
"Tapi..."
"Udah malem Ren, dari sini ke kost kamu juga nggak deket. Kita naik motor, nggak bagus kalau kelamaan kena angin malem" potong Sigit. "Kebetulan apartemen saya deket dari sini, bisa istirahat dulu di sana. Lagipula besok hari Minggu kan? Nggak ada salahnya kalau kamu nginep sekarang" jelasnya lagi.
Reno kembali berpikir, ada benarnya juga yang dikatakan oleh gurunya itu. Ia melihat ke tubuh Sigit yang hanya memakai singlet saja, ada rasa takut kalau guru kesayangannya itu sakit karena mengantarnya pulang ke kostnya yang jauh dari sini.
Reno menghela napas panjang, lalu menatap Sigit dengan senyuman. "Yaudah Pak, aku nginep di apartemen Pak Sigit."
Dari dulu sampai sekarang, Reno tidak pernah membantah permintaan dari guru olahraganya itu. Meski terkadang merasa jengkel karena Sigit menyuruh ini-itu, namun rasa cinta terhadapnya mengalahkan rasa jengkelnya. Maka dari itu, Reno selalu menurut apapun yang disuruh oleh gurunya itu.
Setelah mereka naik, motor pun melaju dengan kecepatan sedang menuju ke apartemen Sigit yang tak jauh dari situ.
Senyuman Reno tak bisa disembunyikan, tangannya kini memeluk tubuh kekar Sigit dari belakang. Meski tubuhnya sedikit menungging sekarang, ia tidak peduli walau dilihat banyak pasang mata. Berduaan dengan guru olahraganya itu, benar-benar membuat hatinya senang.
* * *