Chereads / The Baby : Alda Arrani / Chapter 9 - 9. Pemakaman

Chapter 9 - 9. Pemakaman

Mata sembab seorang wanita yang tengah berbadan dua itu kentara sekali dilihat semua orang yang tengah melayat. Mereka semua turut prihatin dengan kejadian yang terjadi oleh tetangga mereka. Masih muda, sedang hamil tua tetapi harus berjuang sendiri karena suaminya telah meninggalkan wanita tersebut sendirian. Niat hati ingin menafkahi istri serta anak yang sedang dikandung, malah berujung pada maut yang kita sendiri tak tahu kapan waktunya tiba. Kaget sekaligus tak menyangka, semua orang akan mengatakan demikian seolah itu adalah kalimat bela sungkawa yang luar biasa.

Bagaimana mereka mau menyangka, sosok Desvin yang mereka kenal benar-benar masih terlihat bugar dan sehat sekali. Mungkin masa depan yang indah akan terbayangkan jika melihat wajahnya. Namun sekarang apa? Karena kecelakaan pesawat yang luar biasa, sosok muda nan penuh perjuangan itu harus meninggalkan keluarga kecilnya yang seharusnya akan bahagia bersama. Yang seharusnya banyak angan yang tergambar.

"Mas ...." Alda melirih dengan air mata yang terus mengalir, hatinya terasa teriris-iris saat melihat kain batik sudah menutupi kain kafan suaminya. Hatinya masih belum bisa menerima semua ini dengan lapang dada. Masih terasa jika suaminya harus di sini, di sampingnya. "Gimana selanjutnya kalau kamu udah enggak sama aku, Mas? Aku harus bergantung sama siapa? Aku harus gimana nantinya? Anak kita gimana, Mas?"

Overthinking, itulah yang saat ini terjadi dalam otak Alda, terus memikirkan banyak hal dan khawatir akan masa depan. Tentunya Alda sangat tidak bisa sendiri. Tentunya Alda butuh seseorang untuk bersamanya. Tentunya Alda butuh Desvin yang selama ini menjadi imam dari segala langkahnya. Namun nyatanya Desvin malah berlalu begitu saja. Desvin meninggalkannya dengan cepat, tanpa memikirkan bagaimana Alda jika ditinggalkan dirinya.

"Da, yang ikhlas ya, yang sabar. Ini semua udah jalannya Allah. Gue yakin kalau lo pasti kuat jalani ini semua kok. Ini semua skenario terindah yang Tuhan kasih ke lo, Da." Ralisa yang duduk di sebelah Alda langsung berusaha untuk menenangkan sahabatnya, menasihati sebaik mungkin supaya nantinya sang sahabat bisa legawa. Ya walaupun ia sangat yakin jika itu semua pastinya susah. Tidak ada orang yang bisa mengikhlaskan seseorang yang mereka cintai sesingkat itu. Semua butuh waktu pastinya.

"Mas Desvin udah janji banyak ke gue, Ral. Dia bilang kalau anak kita ini harus jadi anak yang paling beruntung di dunia, dapet kasih sayang yang terbaik dari orang tuanya. Tapi kenapa sekarang malah dia yang ninggalin gue sama anak gue, Ral? Kenapa dia malah biarin gue sendirian? Gue butuh dia, Ral."

Masih belum ikhlas, pastinya ini adalah hari terburuk dalam sejarah hidup Alda. Siapa yang tidak merasa kehilangan jika suaminya tiba-tiba saja kembali hanya tinggal nama saja padahal sedari awal izin untuk bekerja? Sakit. Sakit sekali pasti hati Alda. Tangisannya tak pernah kering sejak melihat jazad suaminya. Senyum yang dulunya merekah kini tak pernah lagi tampak.

Ralisa sebagai sang sahabat hanya bisa mengusap lembut punggung kecil wanita yang sedang berduka tersebut. Berusaha untuk selalu ada karena ia tahu rasanya kehilangan bagaimana. Sang sahabat kini hanya yang dimiliki oleh Alda.

"Mba Alda, bisa dimulai prosesinya? Takutnya keburu siang, nanti malah hujan atau bagaimana." Pak Ustadz yang sudah menunggu sekitaran satu jam langsung mengajak bicara sang istri dari Desvin tersebut. Berusaha menyadarkan Alda jika bukan hanya wanita tersebut saja yang kehilangan lelaki bernama Desvin, semua orang pasti merasa kehilangan yang sama.

"Jangan sekarang, Pak. Saya belum siap. Besok saja bisa gak?" Kaget. Tentunya semua orang kaget sekali dengan jawaban Alda. Mereka tak menyangka jika wanita berbadan dua tersebut masih belum menyangka sekaligus belum ikhlas dengan kejadian yang menimpa suaminya.

"Kasian Mas Desvin kalau ditunda-tunda, Mba. Apalagi ini udah hari kelima sejak beliau meninggal, sebaiknya dikuburkan secepatnya saja. Tapi semua balik ke Mba Alda dan keluarga saja, baiknya bagaimana."

"Lakukan sekarang saja, Pak Ustadz. Kasihan Desvin kalau ditunda-tunda, lagian juga kita enggak nunggu siapa-siapa. Semuanya sudah lengkap." Kini semua atensi langsung tertuju pada Bramastya, terlihat sekali sosok pria tegas itu sedang berusaha untuk ikhlas dan tegar namun masih terasa berat. Masih kaget ibarat katanya.

"Pah, jangan sekarang. Alda masih enggak siap kalau Mas Desvin dikubur, Pah. Alda masih enggak siap untuk hidup tanpa Mas Desvin." Alda menentang keputusan sang mertua. Bukan maksud hati menjadi menantu yang durhaka karena saat ini suaminya sudah tidak ada. Bukan, bukan seperti itu maksud dan tujuannya. Hatinya masih terasa mengganjal dan tidak siap saja. Semua masih terasa berat baginya. Semua masih terasa susah diterima di akal. "Jangan sekarang, Pah." Alda kembali melanjutkan dengan rintihan kecil. Tangisannya juga turut menjelaskan betapa hancurnya ia saat ini.

"Apa yang disampaikan Pak Ustadz itu ada benarnya, Nak. Kasihan Desvin kalau harus nunggu lebih lama lagi padahal kita enggak lagi nunggu siapa-siapa. Semuanya udah lengkap juga, kan? Kita langsung aja ke prosesnya."

***

Wanita berbadan dua itu hanya bisa menatap kosong gundukan tanah yang ada di hadapannya, memejamkan mata guna menghilangkan rasa sakit yang saat ini sedang ia rasakan. Namun ujungnya itu semua tidak bisa hilang, ia kekal abadi sakitnya di sana. Seolah dihantam ribuan batu di saat yang bersamaan sehingga lukanya tak karuan.

Tangan mungilnya mulai meletakkan satu buket bunga mawar merah tepat di depan figura yang berisikan foto suaminya, lalu saat itu mengusap secara perlahan perutnya yang sudah sangat besar. Hati kecilnya berbisik dengan penuh luka yang turut bersahutan bersama mengatakan jika semuanya tak akan baik-baik saja. Di hidupnya ia butuh seorang pelita dan saat ini pelitanya sudah tidak ada. Pelitanya sudah pergi semuanya.

"Tolong sering-sering dateng di mimpiku ya, Mas. Kasih tau yang sebenarnya ke anak kita nantinya karena aku enggak siap buat ngasih tau ke dia sendirian. Kasih tau kalau kamu ada di samping dia selalu. Kamu dampingi dia."

Ya Tuhan, Alda harus bagaimana? Semuanya terasa sangat menyesakkan di dada sekali. Semuanya terasa tidak adil di hidupnya. Mengapa semua orang harus pergi dan ujungnya meninggalkan dia sendiri? Alda membutuhkan seseorang untuk menjadi teman hidup, namun engkau malah mengambilnya. Engkau tak menetapkannya dengan lama.

"Desvin, kamu yang tenang di sana ya, Nak. Mamah sama papah pasti selalu ke sini buat jenguk kamu, Sayang. Kamu jangan merasa kesepian, oke? Insya Allah papah sama mamah ikhlas."

Alda menggelengkan kepalanya kala mendengar penuturan dari sang ibu mertua. Mereka berdua bisa ikhlas, tapi Alda tidak bisa ikhlas. Alda tidak pernah bisa mengikhlaskan sosok yang sampai saat ini menjadi cintanya. "I love you, Mas. Anything, i love you so much."