Davine menutup laptopnya, jam kuliah hari itu telah selesai. Ia tak langsung beranjak dari tempatnya, ia memberikan waktu untuk mahasiswa lainya untuk keluar dari kelas itu hingga menyisakan dirinya seorang, sebelum akhirnya mulai melangkahkan kakinya meninggalkan kelas tersebut. Ia hanya tak ingin keluar secara berdesak-desakan dan harus meminta maaf jika tak sengaja tersenggol dengan yang lainnya, hal itu sangat memuakkan baginya.
Terlihat dari kejauhan Siska juga telah menyelesaikan kelasnya, wanita itu berjalan menuju gerbang keluar. Sesaat mata mereka saling bertemu, sebelum akhirnya sama-sama saling membuang wajah mereka masing-masing.
Davine memilih memutar lewat jalan belakang, walau sedikit lebih jauh setidaknya ia tidak bertemu dengan Siska di sana.
Ini pertama kalinya Davine melewati jalan itu. Di balik gedung kampus yang cukup megah ternyata ada sebuah jalan yang sangat kumuh, sangat berbanding terbalik dengan apa yang terlihat dari depan.
Beberapa remaja terlihat sedang nongkrong di pinggir jalan sempit itu. Jelas sekali mereka bukan mahasiswa, mereka lebih terlihat seperti preman dan sangat tak bersahabat, Davine tahu hal itu dari cara mereka menatapnya.
"Hey, apa kau mahasiswa di kampus itu?" tegur salah seorang pria dengan tato yang hampir memenuhi lengannya di sana.
"Iya Kak,!" jawab Davine, walaupun ia ragu jika pria itu lebih tua darinya.
"Jika begitu ke marilah dan minum bersama kami!" ujar pria bertato itu, ia mengangkat gelas minuman keras yang berada di sampingnya.
"Maaf Kak, saya tidak mengonsumsi minuman keras!" ujar Davine berusaha sesopan mungkin. Ia tahu mereka hanya ingin mencari masalah.
Setelah sedikit membungkukkan badannya, Davine pun berbalik dan segera meninggalkan tempat itu. Sial baginya, baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba saja sebuah tangan mencengkeram bahunya.
"Hey, jangan terburu-buru begitu. Sebenarnya kami sedikit kehabisan uang untuk membeli beberapa botol minuman lagi, bisakah kau sedikit membantu!" pinta pria bertato itu dengan wajah mengancam.
Davine yang tidak ingin berurusan terlalu panjang dengan pria itu segera mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang.
Pria itu segera mengambilnya dengan terburu-buru. Ia bagaikan tikus yang diberi sepotong keju di mata Davine.
"Apa itu cukup?" tanya Davine.
"Ini bukan masalah cukup atau tidak, kau tahu dari awal yang kuinginkan adalah seluruh uangmu!" pria itu dengan cepat segera merampas dompet yang berada di tangan Davine.
Davine tentu saja melakukan respons dengan sigap, ia mempertahankan dompet itu dari rampasan sang pria bertato itu, pria itu segera melayangkan tinjunya pada Davine, seketika membuat hidung Davine bersimbah darah.
Bukanya merasa takut, darah yang keluar itu mulai memacu adrenalin Davine kala itu, senyumannya tanpa sadar merekah di wajahnya.
Davine menarik kerah baju pria bertato itu dan segera menghantamkan kepalanya ke kepala pria itu, dahi Davine bersarang tepat di tulang hidungnya. Kali ini hidung mereka sama-sama bersimbah darah, pria itu kehilangan keseimbangannya karena dorongan dari hantaman kepala Davine, sesaat sebelum terjatuh Davine segera menagkapnya, kali ini Davine menjambak rambut bagian belakang pria itu, dan dengan sekuat tenaga mendorong wajah sang pria ke sebuah tembok yang terdapat di jalan tersebut, menghantamkannya secara berulang-ulang.
Bak ... buk ... bak ... bukk ...
Pria itu dibuat tak berkutik sedikit pun, sedang Davine terus saja melakukan hal tersebut tanpa henti, diiringi dengan tawa kecil yang keluar dari mulutnya.
Bak ... buk ... bak ... bukk ...
Teman dari sang pria bertato yang melihat hal itu hanya bisa diam dan tercengang melihat pemandangan tersebut.
Mereka berjumlah 3 orang, namun tidak ada satu pun yang berani mendekati Davine yang saat itu seperti sedang kerasukan setan. Mereka merinding melihat bagaimana Davine memperlakukan temanya itu tanpa ampun.
Setelah cukup lelah, Davine melepaskan cengkeramannya pada kepala pria bertato itu, seketika pria itu terjatuh tak sadarkan diri, wajahnya penuh darah dan hidungnya patah. Davine memungut dompetnya yang tanpa sengaja terjatuh di tanah, mengeluarkan seluruh uang yang berada di dompetnya, melemparkannya pada wajah pria yang telah tak sadarkan diri itu.
"Asal kau tahu, dari awal aku juga tidak mempermasalahkan uangnya!" Davine pun berlalu dan pergi begitu saja tanpa rasa iba meninggalkan pria tersebut.
Ketiga teman pria itu hanya mematung tak bergerak untuk sesaat. Mereka melihat dengan jelas aura mengerikan dari diri Davine, sebelum akhirnya salah satu dari mereka tersadar dan segera menolong temanya yang telah tak sadarkan diri tergeletak di jalan dengan kondisi yang cukup parah.
Davine menyeka darah di hidungnya. Entah apa yang dirasakannya saat itu, perasaan aneh yang sangat membahagiakan terasa menjalar di seluruh tubuhnya. Ia duduk sesaat untuk sedikit menikmati sensasi yang masih sedikit tertinggal di tangannya, sensasi yang dirasakannya ketika darah si pria bertato itu keluar dan tanpa sengaja sedikit menodai tangannya, darah itu hangat dan nyaman, walau sedikit amis, namun ia suka aromanya.
Davine bukanya tidak sadar dengan dua orang yang sedang mengawasinya sedari tadi. Mereka berada di tempat berbeda satu sama lain, Davine tidak tahu apakah mereka satu komplotan atau bukan, yang pasti Davine mulai menyadari keberadaan mereka setelah keluar dari jalan kumuh di belakang kampusnya tadi.
Bukan hari ini saja, Davine bahkan telah menyadari jika ia sedang diawasi sejak dua hari yang lalu. Ia hanya berusaha untuk tenang dan pura-pura tidak mengetahui hal itu. Awalnya hanya satu orang saja, namun sejak kemarin hal itu bertambah menjadi dua orang, mereka saling berjauhan namun sama-sama terlihat sedang memperhatikan pergerakannya saat ini.
Tentu saja Davine mencurigai jika salah satu dari merekalah yang selama ini bisa di bilang menerornya, rekaman video itu, kartu ucapan selamat, dan pesan di smartphonenya, bisa jadi salah satu dari merekalah pelakunya, pikir Davine.
Davine hanya berpura-pura bodoh saja, ia kembali berjalan menuju apartemennya, ia sengaja untuk beberapa kali singgah hanya untuk membeli sesuatu yang tidak penting dengan kartu kreditnya, ia tidak punya uang cash saat itu.
Tepat seperti dugaannya, setiap kali Davine mampir ke suatu tempat, maka dua pria yang saat itu terlihat sedang memakai masker untuk menutupi wajahnya itu juga berhenti, yang satu berada di belakang Davine, sedang yang satunya lagi terlihat mengamati dari seberang jalan. Mereka terlihat berpura-pura sibuk akan sesuatu yang Davine tahu itu bukan tujuan utama mereka.
"Kau pikir aku bodoh!" gumam Davine dalam hati.
Davine segera merencanakan sesuatu, ia menggiring dua lelaki itu untuk melewati sebuah gang. Itu bukan jalan yang sering Davine gunakan untuk menuju apartemen miliknya, namun ia tahu sebuah jalan pintas yang berada di gang tersebut.
Davine berniat mengecoh kedua lelaki itu. Ia berjalan memasuki gang tersebut, lalu di sebuah pertigaan gang ia mengambil jalan kanan, di sana terdapat sebuah lubang yang cukup besar untuk di lalui orang dengan postur sepertinya. Lubang itu tersembunyi karena tertutup dengan tingginya rumput liar yang berada di gang tersebut. Davine memasuki lubang tersebut sesaat ketika dirinya belum terlihat oleh dua lelaki yang sedari tadi mengikutinya itu.
"Kena kau!" umpat Davine.
Benar saja sesaat pria pertama itu mengikuti Davine untuk mengambil jalan kanan, ia benar-benar dibingungkan dengan menghilangnya Davine secara misterius di tempat itu. Davine yang masih berada di lubang tersebut berusaha sekuat mungkin menahan tawanya. Ia mengetahui adanya lubang tersebut dari penyelidikannya beberapa hari setelah ia kehilangan jejak pemuda misterius dengan hoodie hitam yang diikutinya saat terjadi pembunuhan pada pedagang kaki lima yang terjadi tepat beberapa blok dari tempat itu beberapa waktu yang lalu.
Hal yang pria itu alami saat ini sama halnya dengan apa yang ia alami sebelumnya. Davine memutuskan untuk meninggalkan tempat itu saat itu juga, walaupun ia juga masih sedikit penasaran bagaimana reaksi dari lelaki yang satunya lagi mendapati Davine yang menghilang bak ditelan bumi di gang tersebut, pikirnya.