Siska segera turun dan berlari menuju meja informasi setelah keluar dari taksi yang ditumpanginya.
"Permisi, apakah saya boleh mengetahui di mana pasien bernama Davine Harris di rawat?" tanya Siska pada seorang yang bertugas di bagian tersebut.
"Maaf sebelumnya boleh saya tahu apa hubungan Kakak, dengan pasien tersebut?" tanya wanita yang bertugas di bagian tersebut.
"Saya teman kuliahnya!" jawab Siska.
"Baiklah Kak, saya akan mencari data dari pasien yang Kakak, minta!" Wanita itu segera memeriksa data di mana pasien bernama Davine Harris dirawat melalui komputer miliknya saat itu juga.
"Pasien yang Kakak, maksud dirawat di ruang VIP yang berada di lantai tiga, dengan nomor ruangan 102," jelasnya, tanpa butuh waktu lama.
"Jam kunjungan untuk pasien tersebut sampai pukul 01.00 p.m. ya Kak,!" tambah wanita itu.
"Baiklah, terima kasih banyak atas informasinya Kak," balas Siska.
Berita tentang penikaman yang terjadi pada Davine telah sampai di telinga Siska, bagaimana tidak berita itu cukup menjadi bahan perbincangan di kampusnya, mengingat mereka saat ini berkuliah di kampus yang sama. Berawal dari mulut ke mulut, hingga akhirnya Siska membaca sendiri dengan mata kepalanya sebuah surat kabar yang menerbitkan berita tentang Davine saat itu.
Surat kabar itu menuliskan 'Sebuah percobaan perampokan di sebuah bus, korban mengalami luka tusuk yang cukup serius, sedang tersangka telah diamankan oleh pihak kepolisian setempat. Berita pada koran itu juga menerangkan jika korban yang tidak lain adalah Davine, dilarikan ke sebuah rumah sakit yang terletak tidak jauh dari lokasi TKP saat itu, yang terletak tidak begitu jauh dari apartemen kediaman Davine saat ini, yang bertempat di bagian barat kota itu.
Siska berjalan sembari memperhatikan nomor-nomor yang tertera pada bagian atas pintu setiap ruangan di lantai tiga, ia telah sampai di ruangan 101, ia tahu saat ini Davine sedang dirawat tepat di sebelah ruangan yang saat ini ada di hadapannya.
Setelah mencapainya, Siska mencoba membuka ruangan tempat Davine di rawat, pintu itu tidak terkunci. Siska membuka pelan gagang pintu ruang VIP tersebut, ia sedikit mengintip dari celah pintu, memastikan jika kamar yang ia maksud itu adalah benar kamar di mana Davine saat ini sedang dirawat.
Benar saja terlihat Davine sedang termenung di atas kasur pasiennya, entah apa yang dipikirkannya saat itu, Siska tak tahu. Hingga tiba-tiba saja Davine menyadari keberadaan Siska saat itu.
"Malvine apa itu kau?" tanya Davine yang masih tidak mengetahui siapa orang di balik pintu tersebut.
Siska hanya diam dan tak menjawab pertanyaan tersebut. Ia masih ragu, apakah ia harus masuk dan kembali bertemu Davine setelah apa yang telah terjadi pada mereka di bulan lalu.
"Malvine apa itu kau?" tanya Davine sekali lagi.Kali ini Davine beranjak dari kasur pasiennya, berjalan menuju pintu di mana Siska sedang berada di baliknya.
Davine berjalan perlahan menuju pintu tersebut, saat itu ia sudah lumayan bisa bergerak jika hanya untuk sekedar berjalan menuju pintu tersebut, walau sesekali jahitan pada luka di perutnya masih saja terasa berdenyut dan sedikit ngilu.
Belum sempat Davine meraih gagang pintu tersebut, Siska segera membukanya terlebih dahulu. Davine terlihat sedikit kaget dengan Siska yang berada di balik pintu tersebut, hal itu terlihat dari raut wajahnya.
"Siska, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Davine sedikit melongo.
"Sudah jelas kan, aku menghawatirkan keadaanmu!" jawab Siska, suasana sedikit canggung saat itu.
Davine hanya bisa menghembuskan nafasnya panjang dan segera mengajak Siska untuk masuk ke ruang perawatannya saat itu.
Siska membuntuti Davine dari belakang, ia tak mendahuluinya, ia memperhatikan lebar pundak Davine yang berjalan pelan tepat di depanya, rasa hati ingin memeluk pundak pria yang saat ini telah menjadi mantan kekasihnya itu, namun itu tidak mungkin dilakukannya lagi. Ia adalah orang asing saat ini.
Davine mempersilahkan Siska duduk di sebuah kursi yang berada tepat di sebelah tempat tidurnya, sedang ia duduk tepat menghadap wanita itu, namun pandangannya dilemparkan ke arah lain, ia tidak mampu menatap langsung mata mantan kekasihnya itu.
"Bagaimana keadaanmu saat ini?" tanya Siska berusaha mencairkan suasana canggung yang sudah sangat terasa di antara mereka.
"Cukup baik!" jawab Davine, kali ini ia merubah pandangannya ke arah lantai bangunan tersebut, ia masih tidak ingin bertatapan langsung dengan Siska.
"Aku dengar pelakunya sudah tertangkap!" Siska meremas kedua tangannya, ia benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa saat itu.
"Ya, pihak Kepolisian masih menangani kasus ini, dugaan sementara sang pelaku mengalami gangguan pada mentalnya. Mungkin saja ia akan terbebas dari jerat hukum dan akan dibawa ke pusat rehabilitasi orang-orang yang mengalami gangguan pada kejiwaannya," terang Davine.
"Bukankah itu hanya akal-akalannya saja. Mungkin dia hanya berpura-pura mengalami gangguan mental!" tukas Siska, ia terlihat tidak terima dengan apa yang telah dijelaskan oleh Davine.
"Ya, kau benar. Untuk sekarang pihak Kepolisian dan ahli psikologi forensik masih belum menetapkan status tersangka, namun dari pemeriksaan awal sang tersangka menunjukkan adanya gangguan kejiwaannya pada dirinya!" jelas Davine.
"Setidaknya itulah yang dikatakan oleh ahli psikologi forensik saat itu!" tambahnya.
"Bukankah ini sedikit aneh, bagaimana bisa seseorang dengan gangguan mental melakukan penyerangan dengan motif perampokan?" kening Siska mengerut.
"Akan lebih masuk akal jika ia menyerang tanpa sebab, karena kebanyakan orang dengan gangguan kejiwaan kerap melakukan hal itu!" ujar Siska, kali ini sambil menopang dagunya seraya berpikir.
"Kenyataannya begitulah yang terjadi, pria paruh baya itu sempat ingin merampas tas yang kubawa sebelum akhirnya ia menikamku dengan pisau lipat yang dibawanya," dalih Davine, ia tidak ingin menceritakan motif sebenarnya dari penikaman tersebut.
"Kau tahu sendiri dampak buruk bagi ekonomi warga kota kita setelah diberlakukannya jam malam di kota ini, pasti banyak warga yang terkendala dan membuat mereka hilang akal!" tambah Davine, ia tahu Siska bukan orang yang mudah percaya jika tanpa pendapat yang cukup masuk akal, bagaimanapun ia tahu sifat mantan kekasihnya itu.
Sesaat keadaan kembali hening, mereka tidak dapat menemukan sesuatu yang bisa mereka jadikan bahan pembicaraan lagi, tidak seperti dahulu kini keadaan mereka telah berbeda. Siska yang dulunya selalu bisa mencari topik terlebih dahulu kini sama halnya dengan Davine, mereka bagai orang yang baru saja berkenalan dalam waktu yang singkat.
Beberapa menit berlalu, mereka hanya diam tidak memandang satu sama lain, mata mereka menerawang ke sana-kemari hanya untuk menghabiskan waktu yang sangat canggung itu, sampai ketika Malvine muncul dari balik pintu dan mengejutkan mereka.
"Wah ternyata ada tamu!" ujar Malvine melepas keheningan itu.
Siska yang saat itu duduk dengan segera berdiri dari kursinya, ia sedikit membungkukkan badanya dan memberi salam.
"Selamat siang!" sapa Siska ramah. Ia tidak mengenal siapa pria yang baru saja datang itu.
"Perkenalkan, saya Malvine, Kakak dari Davine," balas Malvine. Ia membungkukkan badannya sembari menjulurkan tangan kepada Siska.
Siska bahkan tidak tahu jika Davine memiliki seorang Kakak. Selama ini Davine tidak pernah, atau lebih tepatnya tidak mau bercerita mengenai struktur keluarganya pada Siska. Pria itu terlalu banyak merahasiakan segala tentang dirinya dari Siska.
"Perkenalkan, saya Siska, teman satu kuliah Davine," Siska menyambut hangat tangan pria itu.
Merasa semakin tidak nyaman berada di posisi itu, Siska segera berinisiatif untuk pamit dan mengundurkan diri dari tempat tersebut. Walau nyatanya sikap Malvine sangat ramah padanya.
Sebelum Siska pergi, Malvine segera menghentikan langkahnya tepat sebelum Siska mencapai pintu kamar tersebut.
"Maaf mungkin ini sedikit merepotkan, namun bisakah kau menolongku untuk memberikan surat keterangan ini pada dosen yang mengajar di sana," pinta Malvine sembari menunjukkan surat keterangan yang menyatakan jika Davine harus dirawat beberapa hari sebelum bisa kembali mengikuti kegiatan di kampusnya.
"Ah, tentu saja Kak, ini tidak merepotkan sama sekali!" jawab Siska, ia segera kembali mendekat untuk mengambil surat tersebut.
Davine yang berada di tempat tidurnya sedikit kesal dengan cara Malvine menatap Siska. Entah apa yang dipikirkan Kakaknya itu terhadap mantan kekasihnya saat itu, yang pasti Davine tahu jika tatapan itu bukanlah tatapan yang biasa dari Malvine.
Sebuah tatapan yang menyimpan makna lebih, dan mengisyaratkan sesuatu yang tersembunyi.