Chereads / Another Part Of Me? / Chapter 20 - Part 1.19

Chapter 20 - Part 1.19

Davine berjalan menyusuri sebuah hutan. Seorang gadis kecil memegang tangannya, gadis itu seakan menuntun Davine untuk ke suatu tempat. Mereka terus berjalan memasuki hutan tersebut, membelah dedaunan kering yang berserakan dengan langkah mereka, sesekali menyingkirkan ranting yang juga menghalangi perjalanan tersebut. Sampai di sebuah pohon, sang gadis kecil itu berbalik menghadap Davine, Davine berusaha mengenali sang gadis, namun percuma ia sama sekali tak mengingat siapa gadis tersebut.

Gadis kecil itu terlihat berbicara pada Davine, namun suaranya tidak terdengar. Gadis itu beberapa kali menunjuk ke arah atas pohon tersebut, beberapa kali gadis kecil itu terlihat tersenyum, ia seakan sangat antusias menjelaskan sesuatu pada Davine. Sayangnya Davine tidak dapat mengerti apa yang diutarakan sang gadis, itu bagaikan sebuah tayangan film yang sedang dimute. Davine hanya bisa mencoba membaca gerak bibir sang gadis, namun sekali lagi hal itu percuma, ia tidak dapat mengartikan apa pun saat itu.

Davine dibangunkan oleh dering dan getar panggilan pada smartphonenya. Dengan masih setengah sadar ia segera menjawab panggilan tersebut.

"Halo Kak,! " jawab Davine, ia tahu yang sedang meneleponnya saat itu adalah saudaranya yang saat ini sedang berada di luar kota.

"Hay Davine, untuk beberapa waktu aku ada urusan di kotamu, mungkin aku akan menyempatkan waktu untuk sekedar melihat keadaanmu!" ujar pria di balik telepon itu.

"Urusan apa yang harus kau lakukan di tempat ini? Kau tahu kota ini sedang tidak aman!" jawab Davine mengingatkan saudaranya itu.

"Yah aku tahu, namun urusan ini lumayan penting, aku akan sedikit mengurus dan membuat perubahan pada perusahaan keluarga kita di tempat itu!" ujarnya.

"Baiklah itu saja yang ingin kuberitahu padamu. Nanti aku akan menghubungimu lagi!" tambah pria di balik telepon itu.

"Baiklah Kak, aku tidak sabar bertemu denganmu!" jawab Davine sembari menutup panggilan itu.

Malvine Harris, adalah anak tunggal dari keluarga Harris, bisa di katakan jika Davine adalah adik angkatnya. Sama halnya dengan Malvine, Davine juga menyandang nama Harris di belakang namanya. Entah kebetulan atau tidak, ada kemiripan di antara nama mereka, walaupun Davine pada dasarnya telah memiliki nama itu bahkan jauh sebelum ia diadopsi. Keluarga Harris tidak mengubah namanya, hanya menambahkan nama Harris di belakang namanya.

Keluarga Harris memiliki sebuah perusahaan di bidang pemasaran alat berat di kota itu. Awalnya itu adalah kantor pusat mereka, namun seiring dengan kemajuan dari usaha keluarga mereka yang terus meningkat. Akhirnya Pak Harris yang merupakan orang tua angkat Davine itu memutuskan untuk mendirikan sebuah perusahaan dan sekaligus kantor utama di kota lain, dengan alasan lokasi yang lebih strategis dibanding kota kecil itu, dan menjadikan kantor lama mereka sebagai cabang atau anak perusahaan yang saat ini dikelola oleh orang kepercayaan mereka sendiri.

Malvine sedikit lebih tua dari Davine, jarak umur mereka sekitar 3 tahun. Terakhir kali mereka tinggal serumah sudah lama sekali. Malvine kuliah di luar negeri mengambil jurusan pemasaran selama 3 tahun, sesuai dengan keinginan ayah mereka.

Davine tau jika saat ini Malvine sudah mulai aktif dalam bisnis kedua orang tuanya sejak setahun terakhir. Ia sangat kompeten dan disiplin dalam pekerjaannya. Sang ayah bahkan kerap kali memuji kinerja Malvine, beberapa dobrakkan telah ia buat sampai saat ini dan itu terbukti dengan meningkatnya omset perusahaan mereka.

Davine menunggu di sebuah kafe untuk bertemu Melvine. Tidak diduga baru tadi pagi kakaknya itu mengabarinya, di siang hari ia telah berada di kota itu.

Terlihat di luar kafe sebuah mobil sport berwarna merah merapat, Davine tahu itu adalah mobil kakaknya. Entah apa yang mau dibicarakannya dengan Davine, atau hanya sekedar ingin bertemu sapa saja dengannya.

Davine segera menjemput kakaknya itu ke luar kafe, walau jarak umur mereka tidak terpaut terlalu jauh, ia sangat menghormati kakaknya itu, ia juga sadar posisinya sebagai anak angkat keluarga Harris.

"Hay Davine, bagaimana kabarmu?" tegur Malvine yang baru saja keluar dari mobilnya. Pria itu terlihat sangat rapi dan berkelas, lengkap dengan jas dan dasinya.

"Cukup baik Kak,!" jawab Davine.

"Aku sudah memesan meja untuk kita!" Davine mengajak kakaknya itu untuk masuk ke kafe tersebut.

Setelah duduk dan memesan beberapa pesanan mereka, Davine dan Malvine sedikit mengobrol.

"Bagaimana perjalananmu?" tanya Davine sembari menyeruput coffee yang di pesanya.

"Yah, cukup lancar!" jawab Malvine.

"Lalu bagaimana dengan kuliahmu saat ini?" tanya Malvine balik.

"Itu berjalan cukup baik, aku rasa aku bisa menyelesaikannya tanpa kendala!" jawab Davine.

"Lalu apa yang membuatmu datang ke kota ini?" kali ini Davine yang bertanya.

"Aku akan sedikit melakukan perombakan pada struktur perusahaan kita di tempat ini!" jawab Malvine, pria itu sedikit menghela nafasnya.

"Apa ada yang salah dengan perusahaan kita saat ini?" tanya Davine lagi. Ia sebenarnya tidak begitu tertarik akan hal itu.

"Mereka tidak bisa di katakan gagal, hanya saja omset kita sangat datar dalam beberapa bulan terakhir ini."

Davine mengangguk paham dengan apa yang dikatakan Malvine.

"Kau tahu ada beberapa warga negara asing yang saat ini sedang menduduki beberapa posisi di perusahaan kita!" lanjutnya.

"Aku merasa jika itu bukan hal baik untuk perusahaan kita!"

"Kau tahu berapa besar gaji yang harus dibayarkan untuk mereka, aku rasa akan lebih baik jika nominal itu dibayarkan untuk orang pribumi saja!" jelas Malvine.

Davine selalu kagum dengan cara berpikir kakaknya itu, ia selalu lebih mengutamakan orang-orang lokal daripada harus memperkerjakan tenaga asing di perusahaan mereka.

"Ya, aku setuju akan hal itu. Setidaknya kita juga bisa meningkatkan perekonomian warga lokal," jawab Davine setuju.

"Sejak awal aku hanya ingin ilmu dari mereka saja, setelah semua ilmu itu telah kita dapatkan dan bisa di terapkan pada pekerja lokal, aku sudah memikirkannya sejak lama untuk menyingkirkan mereka!" jelas Malvine.

Walau itu terdengar sangat picik namun sekali lagi Davine setuju dengan pemikiran itu. Untuk apa jauh-jauh mendatangkan tenaga asing jika pekerja lokal telah mampu melakukan pekerjaan tersebut.

"Kau genius Malvine!" puji Davine.

Mereka berdua tertawa bersamaan. Setelah sedikit berbincang dan mengingat sedikit masa kecil mereka, Davine merasa jika saudaranya itu masih tidak berubah sedikit pun, ia masih Malvine yang dikenalnya dahulu, bagi Davine, ia adalah kakak yang dapat diandalkan. Ia yakin jika Malvine kelak akan menjadi orang suskses seperti ayah mereka.

"Baiklah kita berpisah disini!" ujar Malvine.

"Apa kau akan langsung kembali ke kotamu?" tanya Davine.

"Tentu saja tidak, beberapa hal masih belum kuselesaikan di tempat ini!" jawab Malvine.

"Aku mungkin akan bermalam di salah satu hotel di tempat ini untuk sementara!" ujarnya.

"Mengapa kau tidak bermalam di apartemenku saja?" tawar Davine.

"Tidak perlu, aku hanya akan merepotkan mu saja!" jawab Malvine tersenyum. Ia tahu jika Davine adalah tipe orang yang sangat menjaga privasinya.

"Baiklah jika itu yang kau mau!" sela Davine.

"Mungkin kita bisa bertemu lagi lain kali jika kau masih berada di kota ini!" ujar Davine.

"Tentu saja, jika terjadi sesuatu hubungi saja aku, aku tahu kau selalu berusaha menyimpan masalahmu sendiri, tapi ingat kita ini saudara!" timpal Malvine.

Setelah membayar pesanan mereka Davine kembali mengantar kakaknya itu menuju mobilnya.

"Apa kau yakin tidak ingin kuantar pulang?" tanya Malvine memastikan.

"Tidak perlu, aku ada sedikit urusan yang harus kukerjakan!" elak Davine, sebelum akhirnya kakaknya itu melajukan mobilnya meninggalkan kafe tersebut.