Chereads / Another Part Of Me? / Chapter 22 - Part 2. Alter

Chapter 22 - Part 2. Alter

Februari, kasus penembakan yang terjadi di bulan lalu menambah jumlah korban yang berjatuhan dalam rangkaian pembunuhan yang diduga kuat adalah kasus pembunuhan berantai di kota itu. Kini genap 10 korban yang ditemukan tewas dalam rentan waktu beberapa bulan terakhir. Sampai saat ini tidak banyak bukti yang bisa diperoleh oleh pihak Kepolisian setempat, hanya rekaman CCTV dari sebuah motel yang sedikit memberikan ciri-ciri sang pelaku, pria dengan umur kisaran 20 sampai 30 tahunanlah pelakunya, dan itu juga masih sekedar dugaan semata.

Situasi kota tidak bisa dibilang baik-baik saja saat ini, warga hanya bisa mengikuti arahan dari Pemerintah setempat. Mereka harus menerima kenyataan jika harus hidup berdampingan dengan psikopat gila yang terus saja mencari mangsa di kotanya tersebut. Lambannya proses penyidikan kasus tersebut jelas menjadi keluhan yang tidak terbantahkan lagi. Mereka bagai terpenjara dalam kurungan yang tidak kasat mata, merantai kaki-kaki mereka, mengekang dan membuat mereka gerah.

******

3 Februari, tidak butuh waktu lama, pihak Kepolisian telah berhasil meringkus pelaku penikaman yang menimpa Davine pada akhir bulan lalu.

Berkat hasil rekaman CCTV pada bus tempat kejadian, dan beberapa saksi mata yang melihat dengan jelas wajah sang pelaku. Kali ini pihak Kepolisian dapat mengamankan pelaku penikaman tersebut berkat bukti-bukti dan petunjuk yang diterima.

Diketahui pelaku penikaman itu adalah tetangga Davine sendiri yaitu Pak Drian. Pak Drian adalah ayah kandung dari Merry, salah satu korban pembunuhan berantai yang terjadi beberapa bulan lalu. Pak Drian mengatakan jika motif dari penikaman yang dilakukannya adalah untuk membalas dendam kematian Merry. Jelas hal itu mengejutkan pihak Kepolisian yang Menginterogasi Pak Drian saat itu.

"Apa maksud Bapak, dari balas dendam itu?" tanya salah seorang polisi yang bertugas menginterogasi Pak Drian kala itu.

Pak Drian tertawa sejadi-jadinya, pria paruh baya itu menunjukkan yang gelagat aneh.

"Pak, sekali lagi saya tanya, apa maksud Bapak dari balas dendam ini?" tanya petugas itu sedikit membentak.

"Apa kalian bodoh?" jawab Pak Drian balik bertanya.

Seketika wajah Pak Drian berubah serius.

"Selama ini apa yang kalian lakukan? Menangkap pelaku pembunuhan berantai saja tidak becus!" teriaknya sedikit memaki.

Hal itu sedikit memancing emosi salah seorang petugas yang menginterogasinya, beruntung seorang yang lainya dapat menenangkan petugas tersebut. Bukan rahasia lagi jika proses interogasi selalu dibumbui dengan kekerasan yang dilakukan petugas pada tersangka, guna membuka mulut sang tersangka itu sendiri.

"Jelas saja anak itu pelakunya!" ujar Pak Drian dengan terkekeh-kekeh.

******

Sersan Hendrik dan Hanna mendapat tugas penggeledahan pada kediaman Davine. Surat tugas mau tidak mau dikeluarkan, sebab pernyataan dari hasil interogasi Pak Drian. Pak Drian mengatakan jika semalam sebelum mayat Merry ditemukan, pria paruh baya itu melihat Davine sedang berbincang dengan anaknya itu di luar apartemen, sebelum akhirnya bersama-sama pergi meninggalkan kan tempat itu.

Saat itu Merry baru saja selesai mengunjungi Pak Drian sekitar pukul 09.00 p.m. di apartemennya. Merry memang kerap mengunjungi Pak Drian, ia khawatir jika ayahnya itu tidak dapat menjalani hidupnya dengan baik setelah perceraian yang terjadi antara Pak Drian dan istrinya.

Merry bahkan sempat menawarkan diri untuk tinggal bersama ayahnya di apartemen itu, namun Pak Drian selalu menolaknya.

Malam itu setelah memasakkan makan malam untuk ayahnya, Merry pamit untuk pulang ke rumah ibunya. Seperti biasa Merry menolak tawaran ayahnya untuk diantar pulang karena tidak ingin merepotkan pria paruh baya tersebut.

Beberapa menit berlalu setelah Merry keluar dari pintu kamar apartemen ayahnya itu, Pak Drian menemukan tas dari Merry yang tertinggal di atas meja makan. Pak Drian pun bergegas menyusul anaknya itu, ia tahu jika anaknya mungkin saja belum jauh dari apartemennya.

Sampai di pintu masuk apartemen, Pak Drian melihat Merry sedang berbincang dengan seorang pria, yang tidak lain adalah Davine, tetangganya sendiri. Pak Drian segera mempercepat langkahnya, namun sial Merry dan Davine segera meninggalkan tempat mereka berbincang saat itu. Mereka menaiki sebuah taksi yang baru saja diberhentikan mereka, dan pergi entah ke mana.

Tak berhasil mencapai mereka Pak Drian pun mau tidak mau kembali ke apartemen miliknya, ia tidak tahu sejak kapan anaknya berteman dengan Davine, selama ini ia tidak pernah melihat mereka bersama kecuali malam itu. Sesampainya di depan pintu kamar ia mendengar suara aktivitas di dalam kamar milik Davine, yang bersebelahan dengan kamarnya itu, ia tahu Davine selama ini tinggal sendiri di tempat itu, sedangkan ia baru saja melihat Davine pergi dengan anaknya di luar sana. Hal itu membuatnya ragu jika yang bersama Merry itu adalah Davine atau bukan, dengan usianya saat ini ia bisa saja salah melihat, terlebih lagi jika itu dari jarak yang cukup jauh.

Keesokan harinya Merry telah di temukan tidak bernyawa disebuah selokan di selatan kota. Pihak Kepolisian ditugaskan untuk memintai keterangan dari Pak Drian mengenai putrinya. Menurut keterangan sang ibu, Merry malam itu mengatakan jika ia akan mengunjungi ayahnya yang tidak lain adalah Pak Drian itu sendiri.

Pak Drian lantas mengatakan yang dilihatnya malam itu, jika anaknya Merry terakhir kali terlihat bersama Davine, pihak Kepolisian sedikit ragu akan keterangan Pak Drian saat itu, pertama kondisi mental Pak Drian yang tidak stabil karna kematian anaknya tersebut saat itu, dan keterangan yang diberikan Pak Drian saat mengutarakan hal tersebut tampak jelas jika ada keraguan di dalamnya, dan ditambah bantahan dari seorang petugas kebersihan yang bekerja di apartemen tersebut yang mengatakan jika malam itu tepat pada jam yang Pak Drian sebutkan, ia sedang berada di kamar milik Davine, saat itu Davine meminta tolong untuk membantunya sedikit membersihkan langit-langit kamarnya yang sudah lumayan kotor. Petugas kebersihan itu bersaksi jika Davine berada di kamarnya malam itu.

Dengan keterangan yang didapat, pihak Kepolisian berasumsi jika yang dilihat Pak Drian bukanlah Davine malam itu, hal itu membuat Davine tidak dimasukkan ke dalam data orang-orang yang dicurigai bersangkutan dalam kasus pembunuhan Merry. Bahkan Davine sendiri tidak mengetahui hal itu, karena ia sedang tidak berada di tempat saat pihak Kepolisian itu datang berkunjung.

Setidaknya begitulah laporan yang diterima oleh Sersan Hendrik saat itu. Namun dengan adanya kejadian ini pihak Kepolisian kembali menjadikan perhatian atas keterangan yang diberikan oleh Pak Drian saat itu. kali ini Sersan Hendrik dan Hanna ditugaskan untuk menyelidiki dan memeriksa kediaman Davine, kalau-kalau saja ada hal atau bukti yang bisa menguatkan pernyataan dari apa yang dikatakan Pak Drian.

Sersan Hendrik dan Hanna menemui pemilik apartemen untuk meminta kunci cadangan kamar Davine.

"Perkenalkan saya Sersan Hendrik dari pihak Kepolisian!" ujar Hendrik memperkenalkan dirinya pada sang ibu pemilik apartemen itu.

"Senang bertemu Anda Sersan!" jawab sang ibu.

"Kami ada sedikit keperluan di tempat ini!" ujar Hendrik sembari memberikan surat perintah yang dibawanya.

Sang ibu segera membaca surat perintah itu, tidak butuh waktu lama untuk sang ibu mencerna isi dari surat tugas tersebut.

"Baiklah saya mengerti Sersan!"

"Lalu apa yang bisa saya bantu?" tawar sang ibu pemilik tempat itu.

"Ada dua hal yang harus Ibu lakukan!" terang Hendrik.

"Yang pertama saya ingin Ibu merahasiakan perihal ini dari siapa pun, karena ini masih dugaan semata, jika ibu berbicara yang bukan-bukan tanpa ada bukti yang pasti, Ibu bisa dikenakan pidana pencemaran nama baik!" tukas Hendrik.

Sang ibu mengangguk paham, tidak seperti ibu-ibu pada umumnya, sang pemilik apartemen itu terlihat sangat kalem dan santai. Ia bahkan tidak heboh atau panik dengan kedatangan Sersan Hendrik dan Hanna sebagai pihak Kepolisian saat itu.

"Baiklah Sersan, saya paham dengan maksud perkataan Anda," jawab sang ibu.

"Itu bagus, dan yang kedua, saya ingin mendapatkan kunci cadangan kamar milik Davine saat ini, dan ibu juga harus mendampingi kami ke kamar tersebut," pinta Hendrik.

"Saya ingin Anda menjadi saksi jika saja kami menemukan sesuatu yang mencurigakan di kamar tersebut," tambahnya.

"Dan pastikan hal itu tidak memancing kecurigaan penghuni lainnya akan aktivitas kita saat ini, itu sebabnya saya tidak menggunakan seragam saya saat ini!" jelas Hendrik sekali lagi.

"Bisa dibilang ini adalah operasi rahasia!" tegas Hendrik kembali menambahkan.

Ibu itu mengangguk untuk yang kesekian kalinya. Ia meminta Sersan Hendrik dan Hanna agar menunggu selagi ia mengambil kunci cadangan kamar milik Davine. Hanna dan Sersan Hendrik sedikit dibuat kagum dengan ketenangan yang ditunjukkan oleh sang ibu pemilik apartemen itu.

Selang beberapa waktu ibu itu kembali dengan membawa sebuah kunci di tangan kanannya.

"Untungnya saya masih memiliki satu kunci cadangan kamar itu!" ujar ibu itu sembari menunjukkan kunci tersebut.

"Seharunya kami mempunyai 3 kunci untuk setiap kamar di apartemen ini, sayangnya dua kunci lainya telah saya berikan pada pemilik kamar ini, beberapa bulan yang lalu ia tanpa sengaja menghilangkan kunci yang dimilikinya dan meminta kunci lainya pada saya!" terang ibu pemilik apartemen itu.

Hanna dan Sersan Hendrik mengangguk paham.

"Setidaknya kita masih punya satu!" tukas Hendrik, sebelum akhirnya mereka bertiga pergi menuju kamar Davine.

Hanna, Sersan Hendrik, dan sang ibu pemilik apartemen berjalan menuju kamar Davine. Mereka sebisa mungkin berlagak sangat biasa, sang pemilik apartemen membuat Hanna dam Sersan Hendrik seolah-olah sedang melihat kamar untuk mereka tempati, ibu itu sangat bisa diajak kerja sama.

Benar saja beberapa penghuni yang kebetulan berpapasan dengan mereka tidak menaruh curiga sedikit pun, mereka memainkan peran mereka masing-masing dengan sangat baik.

Sesampai tepat di depan pintu kamar Davine, dan memastikan lorong saat itu kosong sang ibu segera membuka kamar itu dan membawa mereka memasuki kamar tersebut, tidak lupa sang ibu segera menutup kamar itu dari dalam dan menguncinya.

Hanna dan Sersan Hendrik sesaat memperhatikan kamar milik Davine, mata mereka menerawang ke segala sudut. Tidak ada yang aneh dari kamar itu, sama halnya dengan kamar pria seusianya, tidak begitu rapi namun tidak juga bisa dikatakan berantakan. Hanna dan Sersan Hendrik segera menyisir kamar tersebut, mereka menyusuri setiap sudut ruangan, memeriksa setiap laci dan lemari yang ada di kamar itu, mencari tempat-tempat yang memungkinkan untuk Davine menyembunyikan sesuatu. Sialnya semua hasilnya nihil, mereka tidak menemukan apa pun di tempat itu. Semua tampak normal dan tidak ada yang mencurigakan sedikit pun. Hanna hanya mendapati beberapa pil obat yang terdapat dalam botol kaca tanpa label di sebuah lemari kecil di atas wastafel kamar mandi kamar tersebut, ia sedikit mengenali obat tersebut, namun ia lupa secara pasti obat jenis apa dan kegunaannya. Hanna mengambil satu sampel obat tersebut lalu memasukkannya ke dalam sebuah plastik klip kecil dan menyimpannya, walau ia tahu benda itu tidak bisa dijadikan bukti apa pun dalam penyelidikan tersebut.