Setelah beberapa hari dirawat akhirnya Davine diizinkan untuk kembali ke apartemen miliknya. Sang dokter hanya berpesan agar sementara waktu Davine tidak melakukan aktivitas berlebihan, dan juga agar ia jangan terlalu banyak bergerak sampai luka jahitan di perutnya mengering dan benar-benar sembuh, "Membatasi aktivitas berlebihan adalah kuncinya!" pesan sang Dokter padanya sebelum ia meninggalkan rumah sakit tempat ia dirawat.
Malvine memaksa untuk mengantar Davine kembali ke apartemen miliknya, kali ini Davine benar-benar tidak dapat menolak tawaran tersebut.
Malvine memarkirkan mobil sport miliknya di sebuah parkiran khusus penghuni apartemen itu. Tidak banyak kendaraan yang terparkir di sana, membuatnya cukup mudah menempatkan mobil sportnya dengan leluasa.
"Jadi ini apartemen tempat kau tinggal sekarang!" ujar Malvine, pria itu mengamati sekitar bangunan tersebut dari bagian atas sampai bawah, sedikit mengangguk kecil dengan bibir yang sedikit dimanyunkannya. Terlihat jelas jika ia tidak begitu menyukai bangunan itu.
"Mengapa kau tidak memilih tempat yang sedikit lebih elite dari ini?" tanya Malvine. Ia merasa jika apartemen itu sedikit kurang layak untuk Davine.
"Aku rasa biaya sewa bukan masalahnya kan!" tukasnya pada Davine. Walaupun sebenarnya apartemen itu sudah cukup mewah bagi Davine, namun nyatanya tidak untuk orang sekelas Malvine.
"Ya, mungkin tempat ini tidak begitu elite buatmu, namun aku merasa nyaman tinggal di tempat ini!" jawab Davine, sembari mengambil tas kuliah yang ditaruhnya di jok belakang mobil tersebut.
"Yaaah ... Asalkan kau nyaman, aku rasa itu tidak masalah!" ujar Malvine. Ia sedikit mengangguk.
"Kau tak perlu mengantarku sampai dalam, cukup di sini saja!" titah Davine. Ia tidak ingin merepotkan Malvine lebih dari itu.
Awalnya Malvine bersikeras untuk tetap mengantar Davine sampai ke dalam apartemennya. Namun karena waktu yang dimilikinya saat itu juga terbatas, ia juga harus segera kembali ke kotanya untuk menghadiri rapat penting bersama klien di perusahaan pusat milik ayah mereka. Akhirnya ia menyetujui permintaan Davine saat itu.
"Baiklah, pastikan kau menjaga kesehatanmu sampai kau benar-benar pulih!" ujar Malvine sedikit mengancam adik angkatnya itu.
"Kau tak perlu cemas, aku bisa mengurus diriku sendiri!" Davine menepuk pundak Kakaknya itu, sedikit mendorong pria itu untuk kembali masuk ke dalam mobilnya.
Malvine segera menyalakan mesin mobilnya, sesekali ia melirik jam di tangan kanannya memastikan jika ia akan sampai tepat waktu seperti perkiraannya. Untuk terakhir kalinya ia menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangannya pada Davine, yang saat itu masih menunggu sampai Kakaknya itu beranjak dan meninggalkan tempat itu.
"Hubungi aku jika kau membutuhkan sesuatu!" ujar Malvine dari dalam mobilnya.
Davine hanya mengangguk dan mengacungkan jempolnya, memberikan isyarat jika ia mengerti akan hal itu.
Setelah menunggu beberapa saat, mobil kakaknya itu pun segera menghilang di tengah lalu lalang jalanan kota tersebut. Davine segera melangkah untuk kembali ke apartemennya, ia sangat penasaran ke mana perginya handgun dan barang lainya yang disimpannya dalam kamar sebelum kejadian penikaman itu menimpanya beberapa hari yang lalu. Hal itu jelas selalu menjadi pikirannya, semenjak ia tahu jika pihak Kepolisian yang ditugaskan memeriksa kamarnya tidak menemukan apa pun di sana.
Setelah membuka kunci kamar dan meletakan tasnya di atas tempat tidur, Davine tanpa basa-basi segera menuju meja tempat di mana ia meletakan handgun dan barang lainya di dalam laci meja tersebut. Laci itu tidak terkunci, ia sedikit ceroboh saat meninggalkan tempat itu beberapa hari yang lalu, namun ia yakin walaupun laci itu terkunci, pihak Kepolisian tentu akan tetap membukanya secara paksa.
Membuka laci tersebut, Davine dikagetkan setengah mati dengan apa yang berada di sana. Sebuah handgun yang masih lengkap dengan beberapa kotak kecil amunisi yang belum terpakai masih tersimpan rapi di tempat itu. Begitu juga micro card yang berisikan video pembunuhan Merry, foto Annie, Kartu ucapan dari pria misterius itu juga masih berada di sana.
Davine tanpa sadar bergerak mundur perlahan, ia mengacak rambutnya tidak percaya, "Apa-apaan ini!" gumamnya.
Entah harus merasa bagaimana, bersyukur karena pihak Kepolisian tidak menemukan benda-benda itu, dan membuatnya terbebas dari kecurigaan yang dilayangkan oleh Pak Drian pada pihak Kepolisian, atau malah merasa tertekan karena ia tahu dengan pasti jika nyatanya ada seseorang yang dengan sengaja menyembunyikan barang-barang tersebut sebelum penggeledahan itu dilakukan, lalu kembali menaruh benda tersebut di tempatnya setelah dirasa cukup aman. Dengan kata lain, ada seseorang yang memiliki akses bebas untuk keluar masuk kamarnya sesuka hati. Tapi siapa, dan untuk apa? Pikirnya.
******
Bella berjalan menuju kasir sebuah toko khusus yang menjual berbagai kamera seperti DSLR, Mirrorless, Drone, CCTV, dan berbagai aksesoris kamera lainya.
Ia membeli sebuah kamera DRLS, tepat seperti milik Ryean yang dirusaknya beberapa hari yang lalu karena emosi. Hal itu cukup menguras tabungannya, karena harga sebuah kamera saat itu memang tidaklah murah. Namun sesuai nasehat Hanna, ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya pada Ryean. Hanna bahkan sempat bersikeras untuk membelikan kamera untuk Ryean dengan uang pribadi miliknya, namun Bella jelas menolak hal itu mentah-mentah.
Bella hanya bisa berharap jika hari itu Ryean sudah kembali masuk untuk mengikuti kelasnya seperti biasa.
Bella sedikit mengintip dari luar jendela kelas milik Ryean, ia mencari-cari sosok pria itu di antara banyaknya mahasiswa yang berada di kelas tersebut, namun sial hasilnya nihil. Untuk kesekian kalinya, Ryean tidak masuk kuliah hari itu.
Tidak ada pilihan lain, Bella memutuskan untuk menunggu kelas itu sampai selesai, sedang saat itu kebetulan ia juga tidak memiliki kelas untuk diikuti. Bella berencana untuk menemui Ryean di kediamannya, namun ia harus memiliki alamatnya tempat tinggalnya terlebih dahulu.
Menghabiskan waktu di sebuah kursi yang berada di taman kampus, Bella bisa mengawasi kelas tersebut karena kursi itu menghadap langsung tepat ke arah ruangan kelas yang sedang dalam aktivitas itu. Tak lama berselang, seorang dosen wanita paruh baya terlihat meninggalkan kelas itu, menandakan mata kuliah kini telah selesai.
Bella bergegas menghampiri sang Dosen, ia berencana menanyakan perihal tempat tinggal Ryean padanya.
Di sebuah koridor Bella kini berada tepat di samping wanita paruh baya tersebut, wanita itu terlihat sedikit sibuk dengan smartphonenya sehingga tidak menyadari keberadaan Bella saat itu.
"Permisi, maaf mengganggu!" sapa Bella lembut pada wanita paruh baya itu yang tanpa sengaja sedikit membuatnya kaget.
"Iya Nak, ada yang bisa ibu bantu?" jawab wanita paruh baya itu ramah, sembari sedikit membenarkan posisi kacamata yang dikenakannya.
"Maaf Bu, apa hari ini Ryean tidak mengikuti mata kuliahnya?" tanya Bella memastikan.
"Ryean ... ." wanita paruh baya itu sedikit berpikir.
"Memang sudah beberapa hari anak itu tidak mengikuti mata kuliah!" jawab sang Dosen.
"Apa dia cuti atau semacamnya?" tanya Bella lagi.
"Tidak, mungkin ia hanya bolos, tapi setahu saya dia anak yang cukup rajin!" pertanyaan Bella seolah membuat wanita itu juga cukup berpikir akan apa yang menyebabkan Ryean beberapa hari ini tidak mengikuti mata kuliahnya.
"Apa saya boleh meminta alamat tempat tinggalnya Bu,?" pinta Bella.
Sang Dosen itu sedikit menatap Bella dengan pandangan yang sedikit menaruh curiga.
"Saya temanya Bu, saya ada sedikit keperluan penting dengannya! " tambah Bella guna meyakinkan wanita paruh baya tersebut.
"Tentu saya punya semua data para Mahasiswa yang berada di kelas saya," jawab Dosen itu.
"Kalau begitu ikutlah ke ruangan saya sekarang!" ajak sang Dosen saat itu juga.
Setelah mendapatkan alamat sekaligus nomor telepon Ryean, Bella segera meminta Hanna untuk mengantarnya ke tempat itu. Ia sedikit khawatir jika harus pergi sendirian.
"Baiklah, aku akan segera memesan taksi untuk kita, tunggulah sebentar aku akan secepatnya menemui mu! Ujar Hanna dalam panggilan teleponnya.
"Oke, aku menunggumu di gerbang masuk kampusku," jawab Bella, sebelum akhirnya mereka mengakhiri panggilan tersebut.
Selang beberapa waktu akhirnya Hanna sampai di kampus Bella. Taksi itu berhenti tepat di depan Bella yang sedari tadi telah menunggu.
"Masuklah, aku sudah menyewa khusus taksi ini untuk mengantar kita!" seru Hanna, ia membuka pintu taksi tersebut agar Bella segera menaikinya.
Tanpa pikir panjang Bella segera menyusul Hanna yang berada di dalam mobil tersebut, mereka berdua duduk di jok belakang taksi itu.
"Pak tolong antar kami ke alamat ini ya!" pinta Bella sembari menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat yang akan mereka tuju.
Sang sopir yang menerima kertas itu segera membacanya, ia sedikit terlihat berpikir dan mengingat-ingat alamat yang di maksud dalam memori otaknya.
"Baiklah, tempat ini tidak terlalu jauh dari sini!" ujar sang Sopir, tampaknya ia kini telah mengingat alamat yang dimaksud.
Benar saja, hanya berselang sekitar 10 menit setelah mereka meninggalkan kampus Bella saat itu, kini mereka telah sampai di alamat yang dituju. Tepat seperti penuturan sang Sopir jika tempat itu tidak begitu jauh dari kampus Bella sebelumnya yang berada di perbatasan timur dan timur laut kota tersebut, sedang alamat Ryean berada tepat di daerah timur laut kota tersebut.
"Sebaiknya kau telepon Ryean terlebih dahulu!" saran Hanna pada Bella.
"Tidak, itu percuma. Aku sudah berulang-ulang kali menghubunginya selagi menunggumu, namun panggilan dariku tidak dijawabnya sama sekali.
"Seharusnya ia tinggal di sebuah indekos tidak jauh dari jalan ini!" tukas Bella, ia mengetahui itu dari sang Dosen yang memberikan alamat Ryean padanya.
Hanna berinisiatif menanyakan perihal indekos yang Bella maksud pada seorang pedagang kecil yang kebetulan berjualan di tempat itu, menurut informasi yang didapat letak indekos itu tidak jauh, mereka hanya perlu berjalan sedikit ke belakang sebuah minimarket yang berada di sana dan akan segera menemukan tempat tersebut beberapa meter setelahnya.
Benar saja terlihat sebuah indekos dengan desain berpetak-petak yang terlihat sedikit kumuh dan hanya dirawat seadanya saja berada tepat beberapa meter di belakang minimarket itu.
Hanna dan Bella segera mempertanyakan kamar milik Ryean pada seorang pria yang sedang asyik duduk di teras indekos itu, pria itu tampak sangat menikmati aktivitasnya dengan berteman segelas coffee dan rokok mild yang dihisapnya.
"Kamar Ryean ada di sebelah sana Kak,!" tunjuk pria itu pada sebuah kamar terpisah yang menghadap ke sebuah kebun kecil terletak di pinggir dan sedikit terasing dari kamar-kamar lainya.
Setelah berterima kasih Hanna dan Bella segera menuju kamar tersebut, namun entah mengapa Hanna merasakan sedikit firasat buruk kali ini. Entah apa, Hanna menghembuskan nafasnya panjang. Sialnya sampai saat ini firasatnya benar-benar tidak pernah salah.