Hanna keluar dari kamarnya, setelah hampir 24 jam ia mengunci diri di kamar tersebut. Ia butuh fokus yang sangat tinggi untuk memahami dan menganalisis semua data forensik dari korban-korban yang telah di terimanya beberapa hari yang lalu.
Ada beberapa poin penting yang didapatnya. Anggapan jika sang pelaku tidak memiliki kebiasaan dan ciri khas dalam setiap aksinya kini terbantahkan olehnya. Hanna mendapati satu kesamaan penting dalam setiap kasus pembunuhan yang terjadi, ia menyadari hal itu setelah berulang kali membaca setiap hasil forensik dari tiap-tiap korban dari sang pembunuh berantai itu.
Hasil forensik menyatakan, jika 8 dari 9 korban pembunuhan itu mengalami trauma pada bagian yang bisa dibilang sangat vital. Hal itu seakan mengatakan jika sang pembunuh berantai itu, bisa dikatakan sangat memahami titik-titik vital dari setiap bagian tubuh manusia, seakan-akan ia memang dilatih khusus untuk membunuh.
Kecenderungan yang sangat menonjol adalah, sang pelaku membunuh korbannya hanya dalam satu sampai dua kali serangan pada titik-titik vital tersebut, dan itu bukan hal yang bisa dilakukan seorang amatir.
Beberapa korban diketahui dibunuh di tempat, sedang beberapa korban lainya diketahui tidak di bunuh di tempat di mana mayat mereka di temukan, hal ini dapat disimpulkan dari terjadinya perpindahan lebam pada mayat, atau biasa di sebut Livor mortis, hal itu bisa terjadi karena adanya gaya gravitasi bumi, jika mayat di biarkan dalam beberapa waktu dalam posisi terlentang, maka akan muncul lebam pada bagian bawah mayat tersebut, seperti bagian bokong, tumit kaki, dan beberapa bagian lainya yang terletak di bagian bawah mayat. Setelah kematian klinis, jantung tidak lagi memompa darah ke seluruh bagian tubuh, membuat gaya gravitasi menarik darah yang belum membeku ke titik-titik tersebut, dan menyebabkan timbulnya lebam pada sang mayat. Begitu pula jika mayat itu dipindahkan dari posisi terlentang menjadi telungkup, maka lebam akan kembali muncul pada bagian mayat yang berada di area bawah, dengan catatan sang mayat pindahkan hanya dalam beberapa saat setelah kematian, dan darah belum membeku.
Menurut hasil forensik 4 dari 9 korban yang di temukan sampai saat ini, mempunyai ciri-ciri tersebut, ditambah lagi dengan ditemukan nya zat berupa GHB (gammahydroxybutrate) di dalam tubuh ke empat korban tersebut. Zat GHB adalah semacam obat bius yang bekerja saat di campurkan ke dalam minuman. Zat GHB memberikan efek berupa halusinasi, mengantuk ekstrem, muntah, kejang dan koma jangka pendek. Dan Jika dicampur alkohol, efek GHB akan jauh lebih kuat.
Merry adalah salah satu dari ke 4 korban yang ditemukan dengan ciri tersebut. Dugaan kuat korban sengaja dibius dan dibawa ke suatu tempat, sebelum akhirnya dieksekusi.
Dari ke sekian data forensik yang diterimanya, 8 korban memiliki keterkaitan dari cara sang pelaku melakukan aksinya. Namun pada salah satu korban yang lain, Hanna menemukan perbedaan. Tidak seperti mayat yang lainnya, dari hasil forensik, mayat Annie ditemukan mengalami beberapa kali tusukan, hal itu sangat berbeda dari cara sang pelaku mengeksekusi korban lainya. Menurut hasil visum Annie ditemukan telah mengalami beberapa penganiayaan seperti, memar di wajah, dan beberapa tindak kekerasan lainya pada lengan dan kakinya. Hal itu menjadi tanda tanya besar bagi Hanna. Mengapa hanya Annie yang ditemukan dibunuh dengan cara berbeda, apakah pelaku pembunuhan pada Annie adalah orang yang berbeda pula? Namun di satu sisi kasus terbunuhnya Annie berada di tengah-tengah kasus pembunuhan berantai yang terjadi, hal itu juga menguatkan jika Annie termasuk dalam rangkaian pembunuhan berantai tersebut.
Hanna telah menggaris bawahi kasus Annie pada note nya. Ia akan memberikan perhatian khusus untuk kasus tersebut.
Menurut janji sekitar 30 menit lagi Hanna akan bertemu dengan Sersan Hendrik untuk memberikan laporan dari analisa yang telah di dapatnya. Mereka akan bertemu di sebuah kafe yang terdapat di tengah kota, perjalanan menuju ke tempat itu hanya memakan waktu sekitar 15 menit dari kediaman Siska.
Hanna iseng membuka kamar Siska tanpa mengetuknya, Siska terlihat hanya berbaring malas di kasurnya.
"Hey, bukankah kau sedang libur?"
"Mengapa kau tidak pergi ke suatu tempat, aku lihat kau hanya mengurung diri di kamarmu sejak kemarin!" tegur Hanna.
Siska hanya mengacuhkannya, mood nya sedang jelek.
"Apa kau punya masalah?" tanya Hanna.
"Tidak, aku baik-baik saja!" jawab Siska dengan lesu.
"Kau tidak baik-baik saja, aku tahu."
"Apa ini soal pacarmu?" tembak Hanna.
Siska mengangguk dengan bibir yang sengaja sedikit di majukan nya.
"Kau tahu, sudah beberapa hari ini dia benar-benar tidak menghubungiku sama sekali!" jawab Siska, ia mengacak-acak rambutnya.
"Apa dia masih marah karena masalah kemarin?" tanya Hanna lagi.
"Ya, itu tidak seperti dia yang biasanya!" jawab Siska.
"Akhir-akhir ini aku pikir Davine mulai berubah."
"Aku rasa itu semenjak kematian Annie!" keluh Siska.
"Annie?" Hanna sedikit terkejut.
"Maksudmu, Annie, yang merupakan salah satu korban dari pembunuhan berantai di kota ini?" tanya Hanna.
"Ya, Annie adalah sahabat Davine!" tegas Siska.
Pembicaraan mereka terhenti oleh sebuah panggilan pada smartphone Hanna.
"Halo, Sersan," jawab Hanna pada panggilan itu, sembari meninggalkan kamar Siska.
"Hai, Hanna, kau tak perlu memanggilku Sersan, cukup Hendrik saja!" ujar Pria itu.
"Kita bertemu sesuai janji ya!" lanjutnya.
"Baik Pak Hendrik, saya akan segera ke lokasi!" Jawab Hanna.
"Mungkin saya akan sedikit telat!" tambahnya.
"Baiklah, itu tidak masalah, kita punya banyak waktu."
"Dan bisakah kau memanggilku dengan namaku saja, kata Pak, membuatku merasa sangat tua!" gurau pria itu dengan sedikit tertawa.
"Bagaimana dengan Kak Hendrik!" usul Hanna.
"Itu kedengaran lebih baik!" jawab pria itu masih dengan tawanya.
Hanna secepat kilat pergi meninggalkan rumah Siska, ia tidak ingin Sersan Hendrik menunggu terlalu lama.
Terlihat Sersan Hendrik telah menunggu di sebuah meja di sudut ruangan di dalam kafe tersebut. Pria itu tidak menggunakan seragamnya, ia hanya memakai sebuah kaos berwarna hitam dengan jaket kulit berwarna cokelat, lengkap dengan kacamata hitam, dan secangkir cappuccino yang menemaninya. Hanna dengan segera menghampiri pria itu.
"Maaf Kak, apa kau sudah lama menunggu?" tanya Hanna.
"Hey, santai saja, aku cukup menikmati tempat ini," jawab Hendrik.
"Duduklah!" perintah Hendrik, sembari menyodorkan buku menu kafe tersebut.
Hanna segera duduk, tidak butuh waktu lama baginya untuk menentukan pilihannya dari daftar menu itu.
"Permisi!" Hanna melambaikan tangannya pada seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.
"Saya pesan secangkir mochaccino!" pintanya pada pelayan tersebut.
Hendrik tidak langsung mengajak Hanna untuk membicarakan keperluan mereka, Pria itu memberikan sedikit waktu agar Hanna sedikit lebih tenang, ia tahu jika Hanna terburu-buru saat menuju ke tempat itu dari nafasnya yang masih sedikit tidak beraturan.
Setelah beberapa saat pesanan Hanna telah tiba dan Hanna juga mulai terlihat lebih tenang, Hendrik pun memulai pembicaraannya.
"Apa kau mendapatkan sesuatu?" tanya Hendrik, sembari mengisap rokok mild yang sedari tadi di pegangannya.
"Ya, aku menemukan sesuatu yang cukup penting!" jawab Hanna, sembari menyeruput mochaccino nya.
Hanna pun menjelaskan semua yang telah di dapatnya sampai saat ini dari hasil pengamatan data forensik yang diterimanya.
"Jadi menurutmu sang pelaku bukanlah seorang amatir?" Hendrik mengangguk-anggukan kepalanya tanda menyetujui pendapat Hanna.
"Ya, seorang amatir tidak mungkin melakukan hal seperti itu!" jawab Hanna.
"Sang pelaku solah-olah memang dilatih untuk melakukan pembunuhan dengan cara yang maksimal!" tambah Hanna.
"Kau benar, hanya orang-orang terampil yang tahu titik-titik vital pada manusia!" timpal Hendrik.
"Namun ada satu kasus yang menjadi perhatianku!"
"Annie!" tukas Hanna.
"Jadi semua korban bisa disimpulkan di bunuh dengan pola yang sama, kecuali Annie!" lurus Hendrik.
"Ya, aku pikir begitu!" jawab Hanna membenarkan hal itu.
"Lalu apa yang kau butuh kan untuk lebih mendalami kasus ini lebih lanjut?" tanya Hendrik.
"Aku ingin data pribadi lengkap korban, orang-orang terdekatnya, dan yang berinteraksi langsung dengan korban sebelum kematiannya!" pinta Hanna.
"Baiklah, pihak kami sudah mengumpulkan data-data tersebut dalam penyidikan kematian Annie, aku akan secepatnya mengirimkannya padamu!" jawab Hendrik, kali ini sembari membakar sebatang rokok yang baru di keluarkan nya.
"Apa menurutmu kasus ini sama halnya dengan kasus-kasus pembunuhan berantai pada umumnya?" tanya Hendrik.
"Sebenarnya ada satu hal lagi yang mengganjal dalam kasus ini," jawab Hanna.
"Dalam pembunuhan berantai seharusnya ada kecenderungan atau penyimpangan yang di tunjukan oleh sang pelaku," lanjut Hanna.
"Dalam beberapa kasus, wajarnya mereka melakukan hal itu untuk sebuah kepuasan dalam penyimpangan seksual, seperti, Pedofilia, Nekrotisme, fetisisme, dan Sadisme seksual," terang Hanna.
"Mereka cenderung terobsesi akan sesuatu hal yang tidak wajar, seorang Psikopat biasanya akan menyiksa korbannya sebelum benar-benar membunuhnya, mereka juga cenderung melakukan sesuatu yang identik pada mayat korban, seperti memutilasi mereka dan terkadang menyimpan atau bahkan memakan bagian-bagian tertentu dari sang mayat, hal itu dilakukan sebagai tanda pencapaian bagi dirinya sendiri. Namun dalam kasus kali ini hal seperti itu tidak terjadi!" jelas Hanna.
"Untuk sekarang, mungkin ini hanya sekedar intuisi ku semata, aku rasa ada maksud lain di balik semua pembunuhan yang terjadi sampai saat ini, aku yakin pembunuhan ini bukan sekedar kasus serial killer biasa!" tegas Hanna.
"Maksudmu?" tanya Hendrik.
"Menurut Kakak, siapa yang dirugikan dalam keadaan seperti ini?" Hanna balik bertanya.
Seketika raut wajah Hendrik berubah, ia mulai memahami maksud perkataan Hanna.