Chereads / Another Part Of Me? / Chapter 11 - Part 1.10

Chapter 11 - Part 1.10

Warga menyambut penuh euforia oleh dicabut nya jam malam yang di berlakukan. Pihak pemerintah tak punya pilihan lain, desakan dari warga dan pemilik usaha yang beroperasi di jam-jam tersebut, membuat pemerintah mau tidak mau mengabulkan permohonan mereka. Tidak adanya korban yang bertambah membuat warga menyimpulkan jika pembunuhan berantai itu mungkin telah berakhir. Tapi mereka salah besar.

Pos-pos jaga masih tetap beroperasi. Hari pertama dicabut nya jam malam benar-benar menjadi ajang untuk melepaskan stres bagi mereka para penikmat hiburan malam.

Beberapa klub malam dibanjiri para pengunjung setelah hampir sebulan lebih tidak beroperasi. Suasana sunyi kini tak terasa lagi di kota itu, terlihat beberapa warga masih asyik nongkrong di emperan jalan walau jam telah menunjukkan pukul 02.10 a.m.

Di sebuah Klub malam yang terletak di tengah kota. Tawa lepas terlihat di wajah mereka, beberapa anak muda memanfaatkan malam itu dengan meminum minuman keras, beberapa terhanyut dalam kelap kelip lampu diskotek dan dentuman musik yang dimainkan sang Disjoki, sampai sebuah keributan terjadi di luar Klub malam tersebut.

Kali ini seorang pria berusia sekitar 30 tahun ditemukan tewas di tempat, dengan luka tembak di bagian atas pelipis kanan nya, tepat ketika ia baru saja keluar dari pintu Klub malam tersebut. Pihak Diskotek dengan sigap segera menghubungi Polisi, hanya selang beberapa menit datanglah dua orang Polisi yang saat itu ditugaskan menjaga pos terdekat untuk mengamankan situasi. Para pengunjung ramai berhamburan keluar dari Klub malam tersebut, pihak Diskotek dengan segera menutup tempat hiburan malam tersebut.

Hanna yang baru saja di hubungi oleh Sersan Hendrik segera menuju TKP guna menyelidiki kasus tersebut, butuh waktu 15 menit untuknya sampai tempat itu, sedang Sersan Hendrik sudah lebih dulu berada di TKP.

Sampai di tempat Hanna langsung di sambut Sersan Hendrik yang saat itu lengkap menggunakan seragam dinasnya.

"Kau harus melihat korban!" ujar Hendrik, sembari membawa Hanna ke tempat mayat sang korban berada.

Hanna yang diberi ijin khusus di perbolehkan memasuki area yang telah terpasang police line. Beberapa tim forensik dari pihak kepolisian telah berada di sana, Hanna menghampiri sang mayat dan melihat luka tembak di kepalanya dengan seksama tanpa menyentuhnya, memperhatikan sekelilingnya, mengeluarkan note nya kemudian menuliskan keadaan di sekitar TKP di dalam note tersebut.

"Itu luka dari sebuah handgun!" tukas Hanna.

"Aku sangat yakin!" tambahnya.

Sersan Hendrik mengangguk paham, sedang Hanna terlihat menerawang bangunan-bangunan yang terdapat di dekat area klub malam tersebut, terutama yang searah dengan jalur luka tembak yang diterima sang korban.

"Jika benar itu luka dari sebuah handgun, seharusnya sang pelaku melakukannya tidak jauh dari sini!" tukas Hendrik.

"Ya, kau benar. Jarak tembak akurat dari sebuah hundgun seharusnya tidak lebih dari 50 meter, dan jarak tembak maksimalnya kurang lebih 400 meter!" timpal Hanna.

"Kita harus memastikannya terlebih dahulu, besok hasil forensik akan keluar!" tegas Hendrik.

Hanna mengangguk paham.

"Kau bisa meninggalkan tempat ini terlebih dahulu, aku masih ada tugas untuk menyisir area kota dan menertibkan warga-warga yang masih berkeliaran di kota ini," jelas Hendrik.

"Besok aku akan segera menghubungimu saat hasil forensik itu keluar."

"Akan tidak aman bagimu berkeliaran di tengah malam saat ini, kau juga harus berhati-hati, kita tidak tahu siapa target dari sang pembunuh itu berikutnya!" lanjutnya, wajahnya terlihat kesal.

"Baiklah aku mengerti!" jawab Hanna.

Terdengar suara sirene ambulans memecah malam yang seketika menjadi hening itu. Hanna di antar pulang oleh Sersan Hendrik dengan mobil patrolinya, sedang Sersan Hendrik kembali melanjutkan tugasnya untuk menertibkan warga yang masih berkeliaran di kota itu.

Semua euforia warga malam itu berakhir menjadi mimpi buruk yang tidak di duga-duga. Pembunuhan di tempat umum itu menyisakan teror bagi mereka yang berada di kota itu. Seakan-akan mereka tak di biarkan untuk menjalani kehidupan mereka dengan tenang oleh sang pelaku.

19 Januari, surat kabar setempat mengangkat kasus pembunuhan di malam tersebut. Diketahui korban bernama Josep, seorang karyawan yang bekerja di salah satu perusahaan di kota tersebut, merupakan seorang pendatang yang tinggal sendiri di sebuah rumah kontrakan yang berada tidak begitu jauh dari tempat kejadian. Setelah di lakukan autopsi, saat ini mayat korban telah di kirimkan kepada pihak keluarga yang bersangkutan, tulis surat kabar itu.

Kejadian itu menjadi perbincangan hangat oleh warga kota. Mereka bertanya-tanya apakah jam malam akan kembali diberlakukan. Untuk sementara pemerintah telah memberikan larangan pada warga untuk tidak keluar pada malam hari, selagi menunggu hasil keputusan yang valid mengenai keberlangsungan jam malam di kota itu, apakah akan kembali diberlakukan atau tidak. Pemerintah kota sedang melakukan rapat mengenai hal itu. Kali ini para warga hanya bisa diam dan tidak membantah perintah tersebut.

******

11.00 a.m. Davine terbangun dari tidurnya, kepalanya benar-benar sakit, itu hampir seperti di pukul dengan benda yang cukup keras. Hal ini baru pertama kali di rasakan nya, ia baru saja bermimpi yang disertai keadaan seperti terserang sleep paralysis. Ia merasakan rasa sesak seperti tertindih oleh sesuatu di dadanya yang juga disertai kelumpuhan sesaat di seluruh tubuhnya. Ia tidak begitu mengingat seluruh mimpinya, hanya beberapa bagian yang seperti terpotong yang masih melekat di ingatannya.

Davine berjalan memasuki lobby sebuah motel, pandangannya hanya mampu menjangkau sekitar 1 sampai 2 meter ke depan, membuatnya tidak dapat mengenali tempat itu dengan baik, namun dari tatanan meja yang berada tepat setelah ia memasuki tempat itu, ia yakin jika itu adalah sebuah lobby yang terdapat pada sebuah motel kecil. Terlihat samar seorang pria tua berada di balik meja resepsionis, Davine hanya terus berjalan, ia merasa melewati seseorang lagi yang berada di lobby itu, namun ia tidak dapat melihatnya dengan jelas, pandanganya sangat sempit, hingga tiba-tiba saja entah bagaimana ia sudah berada di sebuah ruangan dengan handgun berada tepat di tangannya. Davine mengangkat handgun itu menarik pelatuknya perlahan, sebelum akhirnya ia terbangun dari mimpinya, yang saat itu sudah dengan keadaan seperti terserang sleep paralysis.

Setelah beberapa saat dalam keadaan itu, akhirnya Davine dapat kembali mengerakkan tubuhnya, dengan perlahan mengatur pernafasannya agar kembali normal. Davine berjalan susah payah menuju wastafelnya dengan keadaan kepala yang masih sangat sakit. Betapa kagetnya ia mendapati hidungnya telah mengeluarkan darah yang ia sendiri tidak tahu kapan hal itu terjadi, "Sial, apa aku terbentur sesuatu selagi tidur?" makinya kesal.

Davine segera menyeka wajahnya, membersihkan noda darah yang keluar dari hidungnya yang terasa mulai mengering, setelah di rasa cukup, ia mengeringkan wajahnya dengan handuk kecil yang tergantung tidak jauh dari wastafel itu, memastikan sakit di kepalanya telah hilang Davine pun meninggalkan kamar mandinya, ia berniat untuk membeli sarapan.

Davine keluar dari kamarnya, di depan pintu tergeletak koran harian langganannya, ia memungut koran itu dan pergi menuju mini market yang terdapat tidak jauh dari apartemennya. Di tengah perjalanan, iseng ia membuka koran yang saat itu masih terlipat dua, kaget bukan kepala, Davine mendapati berita yang dimuat pada halaman pertama koran tersebut, "Penembakan di sebuah klub malam, teror serial killer masih berlanjut?" tulis koran itu sebagai berita utamanya.

Setelah membeli beberapa potong roti dan sedikit camilan Davine bergegas kembali ke kamarnya, berita pada koran itu sangat membuatnya penasaran.

Dalam kamar ia segera membaca berita itu dengan saksama, kasus penembakan di tempat umum yang menewaskan seorang pria berumur 30 tahun dengan luka tembak tepat di kepala. Sesaat Davine teringat akan mimpinya semalam, ia membuka laci meja yang sedang diduduki nya dengan gemetar, mengambil sebuah handgun yang di simpannya di sana, dengan hati-hati mengeluarkan magazine yang menjadi tempat amunisi senjata tersebut, mengeluarkan isinya dan menghitungnya perlahan.

Jantungnya mulai berdegup kencang, sedang keringat dingin mulai menetes dari pelipisnya. Masih ragu Davine sekali lagi menghitung peluru yang telah di keluarkan nya dari magazine itu, "Tidak mungkin!" ujarnya dengan bibir yang gemetar. Peluru itu kurang satu buah, sedang Davine berani bersumpah jika ia belum pernah memakai senjata itu sekalipun.