Chereads / Another Part Of Me? / Chapter 10 - Part 1.9

Chapter 10 - Part 1.9

Davine terlihat mondar-mandir beberapa meter dari sebuah rumah tua yang sudah terbengkalai. Ia memperhatikan sekitar dengan saksama, memastikan jika tidak ada orang lain selain dirinya di sana. Beberapa hari yang lalu ia telah memesan sebuah handgun melalui salah satu situs di Dark web.

Setelah ia membayar dengan harga yang lumayan tinggi, ia sengaja meminta barang itu di kirim ke alamat rumah kosong itu, guna menjaga rahasia identitasnya. Ia tahu seberapa berbahayanya Dark web.

Setelah memastikan semua aman, Davine mulai mendekati rumah tua itu. Keadaan rumah itu benar-benar berantakan, hanya melihat dari luar saja Davine sudah bisa mengetahuinya. Pagar rumah itu tidak terkunci, Davine mendorongnya perlahan, saking tuanya pagar itu serasa mau roboh hanya karena dorongan pelan darinya, halaman rumah itu dipenuhi dedaunan kering yang berserakan di mana-mana. Davine mempercepat langkahnya, ia tidak ingin ada orang yang tanpa sengaja melihatnya memasuki rumah itu.

Dari luar jendela Davine melihat ada sebuah kotak hitam yang tergeletak di ruang tamu rumah tua itu, dengan segera ia membuka pintu depan rumah tersebut, pintu itu sudah reyot dan lapuk dimakan rayap, tidak terkunci dan hanya tertutup sebagiannya saja. Davine memasuki rumah itu dengan hati-hati, beberapa kali lantai rumah yang terbuat dari kayu itu berderit, ia takut kalau-kalau lantai itu tiba-tiba saja ambruk.

Tanpa pikir panjang Davine membuka kotak hitam itu, benar saja di dalamnya terdapat sebuah handgun yang masih dibungkus dengan aluminium foil. Davine tahu itu dari bentuknya.

Sebuah handgun berjenis semi otomatis, Glock 17, yang pertama kali diproduksi beberapa puluh tahun yang lalu dan masih di produksi hingga saat ini. Senjata itu telah teruji kualitasnya dan banyak digunakan oleh para penegak hukum dan anggota militer diberbagai negara, dan kini berada di genggaman nya, lengkap dengan sejumlah amunisi berukuran 9×19mm, yang siap pakai.

Davine segera menyembunyikan senjata itu di antara ikat pinggangnya, mengaturnya sebaik mungkin agar tidak terlihat, mengantongi dua kotak kecil amunisi di dalam celana jeans yang di kenakan nya.

Untuk warga sipil sepertinya, memiliki sebuah handgun tentu saja adalah tindak pidana. Hanya segelintir orang yang memiliki ijin khusus untuk dapat menggunakannya, seperti anggota Kepolisian, Tentara, Militer, dan Pasukan khusus yang bekerja langsung di bawah perintah negara, juga pengecualian khusus untuk para Atlet dibidang olahraga tembak.

Entah apa yang dipikirkan Davine saat ini hingga ia memutuskan untuk memiliki sebuah handgun dengan cara ilegal.

Setelah mendapatkan kiriman video pembunuhan Merry beberapa hari lalu dari orang misterius di apartemennya, Davine menjadi sangat waswas. Semenjak hari itu keadaannya menjadi semakin paranoid, ia semakin sering mendengar suara-suara yang tidak jelas asalnya, perasaan selalu diawasi setiap waktu, belum lagi atmosfer di sekitarnya serasa sangat mencekam.

Davine meyakini sang serial killer itu sedang memantaunya. Mengapa video itu di kirimkan padanya, siapa sebenarnya sang pembunuh berantai itu, dan apa hubungannya dengan Davine.

Jika benar pembunuh itu memiliki suatu hubungan dengannya, apakah pembunuhan Annie memang sengaja di lakukan sang pembunuh karena Annie memiliki hubungan dengan dirinya, pikir Davine. Ia merasa tidak pernah memiliki masalah dengan orang lain, apa mungkin ia pernah tanpa sengaja menyakiti orang lain yang berujung sebuah dendam padanya. Sayangnya Davine tidak dapat mengingat semua masa lalunya dengan baik, banyak momen yang seakan menghilang dari ingatannya, terkadang ia merasa melewatkan suatu waktu, dan tidak mengingat apa yang terjadi di waktu-waktu tertentu. Sama halnya dengan ingatannya tentang Annie yang saat ini semakin memudar.

Davine sadar seharusnya ia melaporkan tentang pengiriman video oleh orang misterius yang di terimanya beberapa hari yang lalu itu pada pihak kepolisian, Itu pasti akan sangat membantu mereka dalam memecahkan kasus pembunuhan ini. Namun egonya berkata lain, ia tidak bisa mempercayai para Polisi di kotanya, bagi Davine selama ini mereka hanya bermalas-malasan saja. Terbukti dengan bagaimana lambannya mereka memecahkan kasus ini hingga korban-korban lainya terus berjatuhan. Jika mereka lebih tanggap mungkin Annie tidak akan menjadi korban dari sang serial killer itu, pikirnya.

Berkali-kali panggilan dari Siska masuk ke smartphone Davine. Ia tak kunjung mengangkatnya, bukan karena masih kesal atas kejadian sebelumnya, ia takut jika Siska terlihat bersamanya maka bisa saja Siska menjadi target berikutnya dari sang serial Killer itu. Jika dugaannya tentang motif pembunuhan Annie adalah benar, dan bahwa saat ini sang pembunuh berantai itu sedang terus memantaunya. Ia tidak ingin Siska bernasib sama dengan Annie.

Jelas rasa rindu kini terasa di hatinya, bagaimanapun juga keberadaan Siska di sisinya selama ini membuatnya merasa nyaman. Awalnya Davine tidak begitu peduli pada Siska, karena sedari awal Siska lah yang mulai mendekatinya, dan yang pertama kali menyatakan perasaan cinta juga Siska sendiri. Davine yang tidak tega mau tidak mau menerima Siska untuk menjadi kekasihnya, atau malah Davine menerimanya hanya untuk mengisi waktunya saja, ia tidak tau pasti. Namun seiring berjalanya waktu perlahan-lahan Davine mulai terbiasa dengan keberadaan Siska di sisinya, walaupun faktanya sampai saat ini Davine tidak benar-benar tahu apakah perasaannya itu bisa di bilang sebuah cinta, atau hanya perasaan nyaman karena telah terbiasa.

Davine mempercepat langkahnya, ia terlihat setengah berlari menyusuri lorong kampusnya, berusaha menghindari Siska yang sedari tadi sedang mondar-mandir di depan kelasnya. Hal itu sudah di lakukan nya beberapa hari terakhir, wanita itu pantang menyerah, begitu pun juga dengan Davine, sebisa mungkin ia selalu menghindar agar tidak bertemu Siska. Hati dan pikirannya terus beradu, di satu sisi hatinya memaksa untuk kembali bersama kekasihnya itu, namun akal sehatnya mengatakan hal sebaliknya, ia tidak ingin hal buruk yang menimpa Annie terulang kembali.

Setelah cukup jauh dari kampusnya, Davine mulai memperlambat langkahnya, beberapa kali ia memastikan jika Siska tidak melihatnya saat itu, kali ini ia berhasil lolos.

Tanpa di duga langit yang awalnya terlihat sangat cerah hari itu meneteskan rintik air, rintik kecil membasahi bahu Davine, ia segera berlari bersama beberapa warga yang juga tak menduga jika di hari yang sangat cerah itu akan turun hujan. Davine merangkul ranselnya, ia khawatir kalau-kalau laptop yang di bawanya di dalam tas akan kebasahan. Mendapati sebuah toko kecil Davine segera untuk berteduh bersama beberapa warga lainya yang juga memutuskan untuk berteduh di tempat itu. Keadaan sedikit berdesak-desakan, ada sekitar 6 orang yang berteduh di teras kecil toko itu.

15 menit telah berlalu, namun hujan tak kunjung berhenti, 2 orang terlihat menyibukkan diri dengan smartphonenya masing-masing, sedang beberapa 2 orang lainya terlihat asik berbincang satu sama lain, dan 1 lainya hanya berdiri tanpa melakukan apa pun di samping Davine, pria itu mengenakan hoodie yang di tudung kan di kepalanya, kacamata hitam, dan masker. Sekilas mengingatkan Davine pada pria misterius yang di temui nya di TKP pada kasus pembunuhan yang terjadi terakhir kali. Davine sesekali mencuri pandang, ia penasaran dengan wajah pria yang berada di sampingnya itu, namun pria itu selalu melihat ke arah berlawanan darinya, membuat Davine tak dapat melihat wajah pria itu dengan jelas.

Setelah hujan sedikit mereda pria yang berada di samping Davine itu melangkah meninggalkan Davine bersama 4 orang lainya yang masih menunggu hingga hujan itu benar-benar berhenti. Pria itu berjalan santai di tengah hujan yang masih menyisakan gerimis. Pria itu bersenandung kecil, samar Davine bisa mendengar senandungnya, itu terdengar seperti lagu Twinkle Twinkle Little Star. Davine yang menyadari hal itu tentu saja kembali menaruh perhatian padanya, membuatnya semakin penasaran pada pria tersebut, sesaat Davine ingin mengikutinya tiba-tiba saja hujan kembali turun, kali ini bahkan lebih lebat dari sebelumnya, hal itu menghentikan niatan Davine untuk meninggalkan tempat itu. Hujan terus turun dengan lebatnya, sedang pria itu menghilang di tengah tebalnya kabut yang merayap di antara rintik hujan yang membasahi kota itu, menyisakan rasa penasaran yang masih tertanam di otak Davine.