Dion dan Ega jelas tidak bodoh, mereka tumbuh dewasa bersama dan bahkan kebohongan sekecil apapun akan dengan mudah mereka temukan. Termasuk saat mereka berbohong satu sama lain karena satu orang wanita. Hal yang membuat keinginan mereka untuk mendekati Emma semakin tumbuh menjalar. Mereka hidup bersama sejak saat masih kecil dan semua orang selalu memberi mereka label positif terhadap hubungan persaudaraan mereka walau sebenarnya tidak pernah sesempurna itu. Mereka selalu menunjukkan bagaimana idelanya hubungan mereka sebagai saudara tapi tidak ada yang pernah mengetahui alasan dibaliknya.
Ibu Dion dan Ega adalah seorang dosen di Jepang yang memang begitu tegas pada keduanya. Pagi hari mereka harus sekolah hingga sore juga masih harus melakukan les hingga malam. Mereka hampir tidak pernah bergaul dengan teman-teman sebaya hingga hanya satu sama lain yang terpaksa mereka andalkan. Mereka selalu dibandingkan bahkan sejak mereka kecil oleh ibu mereka sendiri. Seperti saat Ega gagal menyelesaikan salah satu ujian matematikanya dan sang ibu membandingkannya dengan Dion yang berhasil dan memang selalu unggul dalam hal tersebut. Sedangkan Dion pun juga dituntut menjadi laki-laki yang bertanggungjawab diusianya yang muda dan ibunya selalu berhasil membandingkannya dengan Ega yang memang lebih aktif berorganisasi dan memiliki posisi penting disana.
Apalagi sang ibu selalu mencemooh mereka karena mereka keturunan dewa tapi nampak seperti manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan.
"Kalian ini manusia setengah dewa. Tidak bisakah sedikit saja menjadi lebih berguna?" Ucap sang ibu kala itu.
"Coba kalian temukan saja ayah dewa kalian itu dan minta padanya untuk memberi kalian manfaat." Ucapan lain sang ibu.
"Aku sudah banyak berharap pada kalian tapi kalian hanya bisa mengecewakanku saja!" Ucap si ibu.
Semua perkataan sang ibu memang selalu sukses menimbulkan luka pada mereka. Letih karena tekanan itu selalu datang tapi bagaimanapun mereka tetap menyayanginya hingga akhir. Mereka sadar di bawah semua itu, ibu mereka hanya wanita yang terluka karena pria yang hidup dengannya selama dua tahun itu adalah dewa yang mendadak hilang tepat setelah dia melahirkan anak mereka yang kedua, Ega. Hanya sebuah surat yang menemani dan itu membuat ibu Dion dan Ega harus berjuang sekuat tenaga bekerja sendiri untuk keduanya.
Semua perlakuan ibu mereka itulah yang membuat keduanya nampak dekat tapi sebenarnya berseteru didalam. Perasaan marah dan cemburu saat melihat saudara mereka meraih sebuah kesuksesan selalu berhasil terbalut oleh ucapan bangga dan penuh senyum yang palsu. Setelah pindah ke Malghavan di usia Dion yang ke dua puluh tahun, mereka memang sangat dekat karena sosok ibu mereka sudah tidak lagi ada. Tapi ternyata setelah sekian lama, satu pemicu yaitu Emma muncul.
Ega berada di kamarnya dan menatap lagi nomor ponsel Emma dan memutuskan segera menyimpannya. Sedangkan lembaran tisu itu disobek dan dibuangnya saja ke luar jendela agar tak menimbulkan bukti. Sayang memang Dion terlalu mabuk dan melewatkan semuanya. Kali ini Ega tak ingin mundur demi sang kakak yag dia tahu pasti juga menyukai Emma. Hingga Orfe memasuki kamarnya,
"Ada apa dengan wajahmu?" Tanya Orfe.
"Aku? Memangnya kenapa dengan wajahku?" Tanya Ega balik.
"Terlalu jelas disana terlihat kau bertekad akan melakukan sesuatu. Tapi aku tidak tahu apa." Ucap Orfe.
"Hahaha. Kau selalu bisa membaca raut wajah. Kau bisa jaga rahasia?" Tanya Ega.
"Apa itu?" Orfe nampak bersemangat dan mendekatkan tubuhnya ke Ega yang sedang duduk di pinggiran jendela kamarnya.
"Ada seorang gadis," Ucapan Ega langsung terhenti.
"Apa? Gadis? Kau tahu kan itu salah satu pantangan terbesar bagi kita. Kita tidak boleh jatuh cinta!" Ucap Orfe mengingatkan.
"Y-ya itu memang benar. Tapi kita tidak pernah tahu apa alasannya kan. Dewa hanya melarang tapi tidak pernah membeberkan alasannya. Kita hanya menyukai seseorang? Apakah itu sebuah dosa besar? Tidak kan?" Ucap Ega mencoba mengutarakan perasaannya.
"Ya itu memang benar juga. Tapi kan lebih baik menuruti apa kata dewa. Mereka pasti punya alasan untuk itu." Ucap Orfe lagi.
"Argh kau ini. Lebih baik aku tadi bicara dengan tembok saja. Setidaknya mereka tidak akan membantahku." Ucap Ega sinis.
"Baiklah baiklah. Jadi siapa gadis ini?" Tanya Orfe penasaran.
"Hm, namanya Emma. Dia seorang balerina yang kutemui di bawah sana saat menyelesaikan sebuah kasus. Dia gadis baik juga tidak memiliki orang tua." Cerita Ega.
"Ya sudah kalau begitu. Aku rasa itu tidak masalah selama hubungan kalian baik-baik saja. Lebih baik lagi misal kalau kalian berpisah semua dilakukan juga dengan baik." Saran Orfe.
"Hahaha. Kau ini. Aku bahkan belum memulai apa-apa dengannya tapi sudah membicarakan pisah. Kau bicara seperti sudah berpengalaman saja. Padahal?" Ucap Ega.
"Hahaha. Aku hanya mencoba meminimalisir akibat." Ucap Orfe.
"Tapi, memang ada satu hal yang akan menghalangi semuanya dan membuat ini menjadi berat." Lanjut Orfe lagi.
"Apa itu?" Tanya Vante singkat.
"Sebenarnya, Dion juga menyukai gadis itu." Ucap Ega santai.
"Apa? Kan kan kan, jadi itu kenapa wajahmu seperti itu tadi. Aku tidak bisa mendukung siapapun disini. Kalian semua saudaraku, bagaimana aku bisa mendukung salah satu." Ucap Orfe.
"Ini bukan pertandingan bola. Aku tidak akan memintamu mendukung siapapun. Hanya selalu ada ketika aku butuh brcerita." Ucap Ega lagi.
"Owh astaga. Tolong seseorang keluarkan aku dari situasi ini segera." Ucap Orfe berakting memohon.
"Aish berlebihan." Goda Ega.
"Ya sudah lah aku harus kembali ke kamarku." Pamit Ega.
Sedangkan di kamar lainnya Dion mulai terjaga dari mabuknya. Sejujurnya dia tidak semabuk itu ya walau memang mabuk. Maksudnya dia memang tampak tidak sadarkan diri tapi dia tahu Ega sudah bergerak lebih cepat dengan meminta nomor telepon Emma saat di bar tadi. Tapi memang dirinya terlalu lemah untuk mengatakan sesuatu juga berdiri. Jadi dia hanya berpasrah saja saat Ega membopong dirinya dan mengingat benar perkataan Ega saat itu.
"Kak, kali ini, bisakah kau mengalah padaku? Aku tahu kau mencintai Emma tapi aku juga. Jadi bisakah kali ini kau mengalah untuk adikmu ini?" Tanya Ega pada Dion yang tentu tidak merespon.
Dion memikirkan kembali sosok Emma yang terus berkelebat dalam pikirannya. Walau pertama yang muncul dalam ingatannya adalah malu karena gadis itu harus melihatnya dalam kondisi mabuk. Tapi lalu dia memikirkan kembali kalimat Ega.
Aku sudah terlalu sering mengalah untukmu. Kau bahkan meminta nomor Emma di belakangku dan pasti berniat menyimpannya untuk dirimu sendiri. Aku sudah sangat mengenal kamu Ega dan maaf kali ini aku tidak ingin mengalah. Simpan saja nomornya karena aku akan memintanya sendiri untuk diriku sendiri.