Malamnya, Rhea dan Carlos menghabiskan waktu untuk makan pecel lele. Konyol memang, melihat dua orang ini turun dari mobil mewah, dan memilih untuk makan di tendaan.
"Sambel terasi, lalapan, dan lele goreng garing ya?" Komentar Carlos, sembari memakan makanan yang dipesannya. Carlos memilih ayam goreng untuk makan.
"Yup. Dan kau pasti tahu pastinya kalau aku memiliki selera makan yang tinggi saat melihat lele goreng di depan mataku bukan?" Balasnya. Rhea menyocol lelenya dengan sambal terasinya. Lalu memakannya dengan nikmat.
Sementara Carlos melihatnya melihatnya dengan senyum merekah, tertawa melihat nafsu makan Rhea yang hebat. "Kau perempuan yang unik."
"Unik? Memangnya kenapa?"
"Mana ada perempuan dengan wajah secantikmu, turun dari mobil mewah, dengan lelaki tampan—sepertiku—lalu makan di tenda pecel lele seperti ini?"
Rhea tertawa, "Narsis! Siapa juga yang bilang kalau kau tampan?"
"Banyak. Orang-orang media, artis, dan bahkan, media cetak luar negeri juga sering melansir berita tentangku. Selain tentang prestasi penghargaan naskah terbaik yang aku dapat, mereka juga sering sekali menulis berita tentang ketampananku."
"Cih! Bukan ketampananmu! Tapi daftar pacarmu yang kau kencani," cibir Rhea.
Carlos akui kalau yang dikatakan Rhea memang benar. Tapi, media yang menulis jurnal tentang ketampanannya juga sangat banyak. Maklum, terkadang Carlos memang sering masuk dalam frame pengambilan scene.
Deretan artis pendatang baru, sampai presenter, penyanyi dan bahkan kru filmnya juga sering menjadi teman kencannya.
"Darimana kau mengatakan hal semacam itu?" Tanya Carlos penasaran. Dia sudah menyelesaikan makannya dan kini meminum teh hangat. "Kau kan sudah jarang bertemu denganku sejak kau lulus kuliah."
Rhea memicingkan matanya. "Ya, aku tahu kalau filmmu memang rata-rata adalah produksi dalam negeri semua. Hanya saja, kau juga sering ikut dalam project film luar negeri bukan? Aku juga dengar kalau kau sempat menghadiri Grammy Awards di Amerika dan European Film Awards."
"Apa kau juga termasuk penggemarku?" Tanya Carlos.
"Hah.. yang benar saja?! Jangan mimpi!!" Tawa renyah Rhea keluar begitu saja.
"Perempuan memang suka begitu," balas Carlos, "Selalu bilang tidak, padahal kenyataannya iya."
"Hanya Alex yang memiliki pesona menawan dan tak tertandingi oleh siapapun!" Rhea menenggak gelas tehnya. "Ayo antar aku pulang. Hari ini biar aku yang traktir."
Rhea mengeluarkan dompetnya dan mencari selembar lima puluh ribuan, namun tangan Carlos dengan cepat menahannya. "Seorang wanita tidak sepatutnya membayar makanan pada kencan pertama."
"Jadi ini kencan?" Tanyanya balik sambil mengukir senyum indah di wajahnya. "Ini hanya makan malam biasa."
"Tempatnya biasa. Tapi ketika bersama seorang wanita cantik sepertimu, akan menjadi luar biasa."
-----
Hari berikutnya, Carlos mendapat telepon dari production housenya lagi. Dan kali ini, dia benar-benar didesak. Padahal, naskah jadinya di laptop masih nol.
"Ayolah, Nu, masa tidak bisa di perpanjang lagi waktunya?"
"Sutradaranya ngamuk, Los. Andai bisa, sudah aku lakukan dari kemarin. Masalahnya, kau sudah tahu sendiri kalau deadlinenya dari awal memang bulan ini. Tapi kau minta di perpanjang. Jadi paling lambat dua bulan lagi!"
"Tapi Nu..."
"Selesaikan, atau mundur!"
"Tapi Nu—" sambungan teleponnya dimatikan, "Nu! Nurul! Halo?! Nurull!!"
Rhea baru selesai mandi pagi. Dia keluar dengan pakaian santainya. "Kenapa Los? Ada masalah?"
Carlos menutup ponselnya, "Nurul, dia orang PH. Katanya aku harus menyelesaikan naskahnya dalam dua bulan lagi. Tapi aku rasa tidak akan bisa aku melakukannya."
"Kau ada aku," jawab Rhea, "Ceritanya tentang pasangan suami istri yang masih hangat-hangatnya dan diterpa masalahkan? Itu hal mudah."
"Ayolah, Rhe, ini bukan masalah mudah seperti yang kau pikirkan."
Rhea jadi bingung. "Kau sudah bilang akan menikahiku di depan ayahku. Jadi, aku harap kau juga melakukan hal yang sama di depan orangtuamu, Carlos Takamasa!"
"Kau yakin ingin bertemu orangtuaku?"
"Bukankah itu memang hal yang seharusnya dilakukan oleh calon menantu pada calon mertuanya?" Tanya Rhea.
"Baiklah, baiklah. Kita ke rumahku sekarang."
"Rumahmu?"
"Rumah orangtuaku adalah rumah yang kubeli atas namaku."
"Baiklah, baiklah. Aku menurut saja." Rhea tersenyum lalu mengapit tangan Carlos yang bebas.
-----
Di rumah lain Carlos yang besar dan megah itu, memang terasa hangat, namun dingin. Dingin, karena tidak adanya komunikasi dan kasih sayang dari anggota keluarga yang satu dengan lainnya.
Bahkan, Carlos sendiri sudah lupa kapan terakhir kali dia memeluk ibunya, dan mengatakan bangga bisa menjadi anak ayahnya, dan memiliki ayah seperti ayahnya.
"Jadi, kalian berdua memutuskan untuk menikah?" Tanya Pedro, ayah Carlos yang sedang menghisap cerutunya. "Ku pikir kau tidak akan menikah selamanya, Nak?"
"Aku tidak akan menjadi sepertimu." Ucapan dingin Carlos membuat ketegangan di sela-sela pembicaraan ini semakin kuat.
Apalagi Rhea yang berusaha harus kuat untuk duduk di sebelah Carlos dan berpura-pura seperti ini. Sementara Yuni, ibunda Carlos hanya menatap Carlos tajam tiap kali anaknya mengatakan hal yang seharusnya tidak diucapkan dengan kalimat yang tidak sepantasnya dikatakan seorang anak pada ayahnya.
"Aku menikahi ibumu, dan aku setia padanya--"
"Apa yang kau ketahui tentang kesetiaan memangnya?!" Balasnya dengan nada suara meninggi. "Yang kau tahu hanya bagaimana mendapatkan perempuan, menidurinya, dan kemudian mencampakkannya!"
"Apa bedanya denganmu?" Balas Pedro. Lelaki paruh baya itu mematikan cerutunya lalu menyesap kopi hitamnya. "Kau sendiri bergonta-ganti perempuan, dan aku sering sekali melihat beritamu di TV, koran dan bahkan di internet! Apa kau tidak malu dengan kelakuanmu sendiri? Naasnya lagi, hanya dari media massa saja yang aku ketahui, di luar itu, aku tidak pernah tahu selingkuhanmu."
"Kau tidak tahu apa-apa tentang kehidupanku, Sanchez. Lebih baik kau tutup saja mulut kotormu itu!"
"Jaga ucapanmu! Kau dan aku ini ayah dan anak. Tidak ada bedanya antara kita berdua. Kau juga melakukan hal yang sama denganku bukan?!"
"Setidaknya aku belum memiliki istri dan anak! Lihatlah dirimu sendiri, Pak Tua!"
"Ibumu tahu kalau aku memang seperti ini, dan dia memakluminya."
"Maklum katamu?!" Jerit Carlos, "Kau tak tahu apa yang dilakukannya tiap malam kau pulang dalam keadaan mabuk, dan berjudi ditemani wanita-wanita jalang itu bukan?! Ibuku menangis! Dan kau pikir aku tidak tahu berapa banyak wanita simpanan yang kau punya sekarang? Dan berapa banyak anak haram yang kau miliki?"
PLAAAAK!
Tamparan tersebut terkena pas di pipi kiri Carlos, dan segera memerah.
"Carlos, sudah cukup!" Bisik Rhea sambil memegangi bahu kanan Carlos, agar tidak membalas tamparan ayahnya itu.
"Nona Cantik, lebih baik kau tinggali saja lelaki brengsek seperti dia," kata Pedro, "Atau lebih baik kau menjadi wanitaku saja--"
Carlos merasakan telinganya sangat panas mendengar ucapan itu, dan segera memotongnya. "Dia bukanlah wanita seperti jalang-jalangmu!"
"SUDAH CUKUP!!" Jerit Yuni, "Pedro, Carlos! Cukup!"
Pedro meninggalkan mereka semua. Sementara Carlos langsung memeluk ibunya yang sudah berlinangan air mata. "Kenapa Ibu masih saja tahan bersamanya?"
Yuni hanya menangis, dan menggelengkan kepalanya, "Ibu memang tidak pernah tahan dengan sikap Ayahmu, Carlos. Namun, melihatnya, membuat Ibu teringat akan janji Ibu di altar saat menikah dulu."
Rhea melihat keadaan haru Ibu dan anak itu, dan hatinya pun seakan hancur.
"Ibu sudah gagal menjadi Ibu yang baik untukmu. Ibu gagal mendidik anak Ibu—"
"Tidak Bu! Ini semua salahku. Aku yang melakukan semua kesalahan ini. Aku memang bukan anak yang baik. Tapi aku berjanji akan berhenti dan menjadi lelaki yang baik saat aku memutuskan untuk menikah."
Yuni menyeka semua air mata yang mengalir dari matanya dan yang sudah mengering di pipinya.
"Apa gadis cantik ini adalah calon yang kau bawa?" Tanya Yuni.
Carlos tersenyum, walau berat dia menganggukkan kepalanya, dan begitu pula dengan Rhea yang mengangguk.
"Ibu doakan yang terbaik untuk kalian berdua," katanya tulus dengan senyum terpaksa.