Gila.
Itu saja yang bisa dikatakan oleh Rhea dalam hatinya. Carlos memang tipikal lelaki metroseksual yang pandai menentukan fashion bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk perempuan.
Mungkin Carlos sudah memiliki salon harusnya sekarang, jika dia tidak menjadi penulis naskah.
Carlos benar-benar cerewet sekali selama berada di salon. Padahal yang di gunting, yang di cat dan di lakukan vermak adalah Rhea, tapi dia yang selalu mendikte setiap hal yang dilakukan si Hairdressernya.
"Jangan! Dia akan terlihat gemuk, dan hal itu akan membuatnya jelek saat di foto media. Buat saja rambutnya di layer, dan berikan poni ke kanan, agar membuatnya lebih elegan!"
"Astaga! Bukan begitu!! Ya sudah, di keriting saja!"
Dan masih banyak komentar lainnya yang dikatakan Carlos.
"Los, ini sudah empat jam ya! Dan kenapa sih memangnya kalau di potong biasa saja?!"
"That's one of the reason, Rhe. Itu salah satu alasan dia pilih Claire. Kau, wanita tomboy yang selalu membawa mobil balap, di banding Claire, model yang akan merawat tubuhnya selalu. Jelas Dennis memilih Claire!"
Rhea akui, memang dia semua orang sudah mengakui kecantikan alaminya, namun sebagai wanita dia juga tidak pernah melakukan usaha lain, untuk menarik perhatian kekasihnya. Karena bagi Rhea, lelaki yang sudah mencintai pasangannya tidak akan menuntut apapun. Namun naas, kejadiannya beda saat dia berpacaran dengan Dennis Vorontsov.
Mereka bertemu di Barcelona saat menonton pertandingan bola. Dan bertemu lagi di Italia saat melakukan technical meeting pertandingan. Dennis, yang seorang atlet tenis itu mengakui dirinya sudah tertarik dengan Rhea sejak pertama bertemu dengannya di Barcelona. Sejak TM itupun Dennis, di sela-sela latihannya yang padat selalu menyempatkan diri menghubungi Rhea yang tinggal di Marseille, bagian Perancis selatan.
Semuanya berubah saat Dennis benar-benar datang ke kehidupan Rhea dan menemuinya ke Marseille. Tak jarang juga Rhea berkunjung ke Rybinsk hingga media pun memberikan berita kalau mereka sudah menjalin hubungan sampai beberapa tahun terakhir.
Nyatanya, long distant relationship yang mereka berdua jalani tidak sesukses ekspektasi mereka. Sehingga hubungan mereka berdua tiba-tiba harus berakhir tanpa kejelasan dan Dennis memilih Claire.
Jadi untuk apa sebenarnya perasaan tulus yang dimiliki Rhea pada Dennis? Untuk apa dia menjadi orang yang benar-benar berusaha memperjuangkan hal yang gila seperti ini?
Dan omongan Carlos ada benarnya. Beberapa bulan terakhir sebelum Claire merusak hubungannya dengan Dennis, seringkali Dennis meminta Rhea untuk berdandan, merias dirinya dan membuatnya lebih terlihat menarik tepatnya. Namun, Rhea tetap tidak mengindahkannya dan berakhirlah semua cerita cinta mereka demikian.
"Baiklah. Aku menyerah," kata Rhea pasrah, "Setelah ini, setelah dari salon kemana lagi kita akan pergi?"
"Shopping!"
Bisa Rhea lihat dari manik matanya kalau Carlos sangat menyenangi aktivitas berikutnya. Entah kemana Carlos akan membawa Rhea pergi mencari... Rhea sendiri juga tak yakin apa yang mereka berdua akan cari selama shopping nanti. Mungkin sepatu? Baju? Asesoris? Atau apapun itu, yang pasti Rhea pasrah seperti nada bicaranya tadi.
"Aku tidak bawa uang lagi, Carlos."
"Aku yang bayar semuanya. Kau hanya perlu menurut saja."
"Baiklah."
-----
Alexander K.
So, that's your new hair-do?
Well, to be honest, your hair look incredibly perfect. And, what about your outfit?
Rhea Andrina
Sebuah gaun merah marun, dan sepatu hak berwarna hitam dengan desain sederhana elegan.
Alexander K.
Looks perfect for you.
Rhea Andrina
*sigh*
Heh, jadi kapan kau mau memberitahu alasanmu menolakku?!
Alexander K.
Not right now. Perhaps when you're back 'kay?
Rhea Andrina
What so ever.
Okelah. Aku harus siap-siap dulu.
Alexander K.
See you soon dear!
Rhea Andrina
Yups! Sampaikan salamku untuk Steffi ya.
Alexander K.
Of course!
Rhea tersenyum dan menekan layar lockscreen ponselnya. Dia segera mandi, dan tak lupa untuk memakai gaun merah marun yang sudah di siapkan Carlos.
Seakan-akan ini semua sudah di skenario, Rhea merasa atmosfer berbeda saat akan keluar dari kamarnya. Dia tahu Carlos sudah menunggunya di ruang tamu. Dia pun menarik nafas dalam-dalam dan membuka pintunya perlahan.
Tampaklah seorang lelaki dengan setelan jas desainer ternama sedang mengisap rokok.
Rhea berdeham untuk membuyarkan Carlos. "I'm done."
"Looks perfectly suit on you." Carlos menaruh puntung rokoknya di dalam asbak dan menekannya dengan jarinya seakan sudah terbiasa, dia melakukannya dengan santai. Dia mendekati Rhea, dan menyelipkan beberapa helai rambut halus Rhea di belakang daun telinganya. Setelah itu, Rhea tersenyum. "So beautiful."
Carlos mendekatkan bibirnya, hendak mendaratkan sebuah ciuman di bibir Rhea, namun Rhea memalingkan wajahnya. "Hate that smell."
Carlos langsung paham. Rhea tidak suka bau rokok, "Kau tidak suka bau rokok bukan? Baiklah, aku berhenti merokok sekarang."
Rhea tersenyum lagi.
"Shall we go now?"
Rhea mengangguk.
-----
Di sebuah hotel yang mewah, di Seminyak, Carlos dan Rhea turun dari Maserati merah Carlos, yang sudah di parkir di posisi yang menunjukkan tulisan 'VIP.'
Rhea terbelalak melihatnya. "Memangnya kita memiliki tiket masuk untuk press conferencenya?"
"Apa yang seorang Carlos Takamasa tidak bisa miliki huh?" Detik berikutnya Rhea menggandeng lengan Carlos dan menyebarkan senyum bahagia di sekitar wajahnya. "Ayo masuk."
Saat masuk di dalam ballroom tempat berlangsungnya konferensi pers itu Rhea terkesiap melihat Carlos yang dapat dengan mudahnya mengobrol dengan tiap orang di dalam sana. Rhea pun juga mengkuti ritme Carlos yang demikian. Nyatanya, dia memang mudah bergaul kan?
"Gung Ai?" Panggil Carlos tak yakin saat mendapati seorang perempuang bertubuh ramping, memakai sebuah kebaya putih yang pas di badannya, rambutnya pun di konde ke habis, namun dia terlihat sangat cantik. Sepertinya dia baru kembali dari Pura, karena masih memakai selendang berwarna kuning di pinggangnya.
"Carlos?" Seakan menyadari panggilan tadi, Gung Ai langung tersenyum dan menoleh ke Carlos. Tak lupa juga melakukan pelukan akrabnya. "Sudah lama sekali tidak bertemu! Kau datang kesini dapat tiket dari mana?"
"Bli Gede. Biasalah kau tahu sendiri kalau Bli paling hebat mencari hal semacam ini."
Gung Ai pun tersenyum, lalu melirik Rhea, "Pacar barumu lagi?" Rhea hanya tersenyum. "Sepertinya aku sering melihatmu. Tapi.. dimana ya.."
"Ajik--ayahmu kan sering menonton F1, dengan Cokorda Raka? Pastinya mereka aku tahu betul saat main ke Puri mereka sering sekali menyeruakkan nama Escoffier, yang selama ini mereka kira laki-laki ternyata perempuan."
"Astaga! Jadi ini Escoffier?" Seru Gung Ai. "Cokorda Raka selalu kesal jika aku hendak menonton acara lain, selain F1 ketika sedang tayang."
Rhea tidak bisa bersikap seperti sikapnya yang sebelumnya ke orang-orang tadi saat berhadapan dengan Gung Ai.
"Anak Agung Ayu Nengah Sagung Ai Swastika. Panggil Gung Ai saja, seperti Carlos."
Pelajaran Sosiologi Rhea dulu tidak cukup buruk. Buktinya dia bisa menebak bahwa Ai, merupakan keturunan Puri atau Kerajaan di Bali. Nama Anak Agung Ayu yang di sandangnya merupakan penanda bahwa dia bukan anak dari selir raja, melainkan anak sah permaisuri. Sedangkan Cokorda Raka, Rhea yakin bahwa dia merupakan anak pertama laki-laki dalam keluarganya sehingga bisa menyandang Cokorda itu, karena Cokorda berarti sandangan untuk anak raja yang meneruskan Puri.
"Rhea Andrina Escoffier," balasnya. "Senang sekali bisa mendengar cerita tentang Ajik dan Cokorda..."
"Raka. Dia adik laki-lakiku. Anak emas kesayangan Ajik," jelas Gung Ai. "Aku harus ke sana dulu ya, kita ngobrol lagi nanti. Mm, Los, mainlah sekali-kali ke Puri, ajak pula Rhea, agar Ajik dan Cokorda senang."
"Bisa di atur nanti, Ai."
"Baiklah sampai nanti!"
Rhea tersenyum mengawasi kepergian Gung Ai. "Gede jegeg--cantik sekali."
"Bisa bahasa Bali?"
"Aku tinggal di Bali, Los. Sempat tinggal disini cukup lama kau ingat?"
Carlos mengangguk.
"Gung Ai itu siapamu?"
"Gung Ai itu penyelamatku saat Nyepi beberapa tahun lalu. Aku keluar dari villaku, dan aku lupa bahwa hari itu adalah Nyepi. Jadi polisi menangkapku, dan sesuai aturan aku harus di tahan seminggu. Tapi Gung Ai yang saat itu baru pulang dari Singapura, lapor ke polisi kalau dia hendak ke Puri," jelasnya, "Gung Ai yang melihatku di kantor polisi itupun langsung mengarang cerita kalau aku ini sahabatnya, dan polisi-polisi itupun menghormati Gung Ai sebagai keturunan Puri, sehingga aku dilepaskan, dan ikut ke Puri dengan Gung Ai."
"Lalu?"
"Mm.... karena sudah melanggar kaidah Nyepi, akhirnya aku disuruh menjadi semacam abdi dalemnya Puri. Setidaknya lebih baik menjadi tahanan di Puri daripada di tahan di Kantor Polisi kan?"
"Dasar konyol."
"Hei, hikmahnya aku jadi kenal Gung Ai, Cokorda Raka, dan Ajik mereka berdua yang benar-benar baik."
"Baiklah, kita lebih baik mengambil tempat duduk disana. Sebelum kehabisan tempat dan kita harus berdiri selama konferensi."
Carlos mengangguk, dan menurut.