Laptop sudah... Kamera sudah... Aplikasi edit sudah... Headphone sudah... dan, chocolate oat sudah!
"Baiklah! Kita mulai bekerja dari sekarang!" Seru Steffi dengan semangat yang menggebu-gebu dalam dirinya. Steffi mulai proses pemindahan gambar-gambar dari kameranya yang kemudian di gabungkan menjadi stop motion.
Dia mulai membuat filmnya dari jam dua belas siang, sesudah selesai makan siang dan menjemur pakaian yang di cucinya. Steffi sempat menghabiskan oat cokelatnya dan membuat oat cokelat lagi agar dia bisa memakannya sambil membuat film.
-----
"Jadi, untuk alat lab yang satu ini, kalian tidak perlu meniupnya untuk mematikan apinya," kata Alex, menerangkan kepada siswi-siswi SMP. Seharusnya, dia berada rumah sekarang. Bukannya di gedung SMP dan mengajar materi fisika SMP untuk kelas 7.
Siswi SMP itu seperti terkesima dengan cara mengajar yang di lakukan oleh Alex. Dia bisa mengajar dengan baik dan membuat semua siswi SMP itu mengangguk berkali-kali saat memperkenalkan barang-barang yang akan sering mereka temui jika mereka berada di dalam laboratorium.
Siswi SMP itu makin terpesona dengan Alex saat dia menutup api yang menyala di atas sumbu spiritus dengan tutupannya.
"Jangan lupa untuk membawa hasil percobaan kalian tentang materi kemarin. You guys still remember the topic right?"
"YESSSS!!!"
"Then, what is it about?"
"Density!!"
"Great. Pack your bag and get ready to hear the bell."
Alex menutup pelajarannya dan kembali ke ruangannya di gedung sains SMA. Dia melihat kalau ada beberapa foto di mading depan laboratorium fisika. Dia menikmati foto-foto yang terpajang disana.
Dia masuk ke dalam ruang guru, duduk di kursinya. Dan memeriksa ulangan fisika siswi kelas tiga yang dilakukan tiga hari lalu. Alex hanya tertawa ringan sesekali ketika melihat lembar jawaban siswinya di bagian esai.
Memang soal yang diberikan Alex untuk bagian esainya sedikit lebih sulit dari biasanya. Tapi dia tidak habis pikir kalau siswinya bisa menulis hal semacam ini.
Mr. Alex, saya tahu kalau saya memang bodoh. Tapi jujur saja, kalau saya memang tidak bisa mengerti fisika sama sekali... jadi saya bolehkan meminta perbaikan, Sir?
Baiklah, mungkin itu masih biasa di dapati Alex. Tapi tak jarang juga ada yang menulis semacam.. surat cinta dan mengungkapkan perasaannya kepada Alex.
Sir Alex, wajah tampanmu memang selalu membuatku sulit untuk bisa berkonsentrasi saat belajar fisika. Ya Tuhan, kenapa bisa ada guru setampan Mister untuk pelajaran yang terkutuk ini??
Alex tertawa. Dan dia membalasnya.
Keep studying and one day you'll understand how fun it is to study this subject :)
Pintu ruang guru itu terbuka. Sosok kepala sekolah itu berjalan mendekati Alex dan berhenti di belakang Alex.
"Kau belum pulang Alex?"
Alex menoleh ke belakang. "Oh, Pak Kepala Sekolah? Anda sendiri belum pulang?"
Kepala Sekolah menggelengkan kepalanya. "Apa istrimu tidak menunggumu di rumah?" Tanyanya. "Aku yakin istrimu sudah memasak makan malam untukmu, dan menunggumu pulang agar kalian berdua bisa menyantapnya bersama."
Perkataan Kepala Sekolah malah membuat Alex tersenyum. Dimana Alex bukannya terharu dengan ucapan Kepala Sekolah yang seolah memuji istrinya itu. Sebaliknya, Alex malah geli memikirkan apa yang sedang dilakukan perempuan tukang molor itu di apartemennya. Namun, bayangan akan Steffi yang sedang memasak pun juga muncul. Siapa yang tahu kalau Steffi sudah memasak dan menyediakan makan malam untuknya.
"Kau tidak merindukan istrimu itu?" Tanya Kepala Sekolah lagi.
Merindukan Si Tukang Molor?! Alex ingin sekali tertawa saat mendengar kata "merindukan" yang diucapkan oleh Kepala Sekolah seolah membuat Alex ingin tertawa.
Selama ini hal yang mereka berdua lakukan di rumahnya bersama-sama hanyalah bertengkar karena melanggar tata cara makan, berebut remote TV karena Alex mau menonton National Geographic sementara Steffi mau menonton film box office di HBO. Selain itu, Alex selalu berkomentar kalau pakaian yang di setrika Steffi masih berantakan, dan kusut. Atau Steffi yang mengomel jika dia harus meminum segelas susu di pagi hari saat sarapan dan malam, sebelum sikat gigi.
"Saya baru selesai mengoreksi ulangan. Sebentar lagi saya akan pulang setelah membereskan barang-barang saya," jawab Alex. Alex segera membereskan barang-barangnya. "Saya pulang dulu ya, Pak."
"Sampaikan salamku untuk istrimu," kata Kepala Sekolah dengan cepat lalu memberikan seulas senyum hangatnya.
-----
Sampai di apartemennya, Alex mendapati pemandangan yang indah. Bagaimana tidak? Alex melihat Steffi yang duduk di depan laptopnya, memakai headphone dan kacamata full frame.
Steffi bahkan tidak sadar ketika Alex pulang dan masuk ke dalam apartemennya. Mungkin beberapa minggu lalu Alex akan mengomeli kelakuan Steffi yang malas seperti ini. Duduk di depan layar laptop dan memakai headphone besar seperti orang tuli.
Tapi sekarang Alex sudah biasa dengan pemandangannya itu. Selain itu, Alex juga bisa maklum kenapa Steffi akan menghabiskan waktu yang cukup lama. Selain video dokumenter yang diputar saat reuni sekolah kemarin, Alex juga sempat menonton beberapa video yang dibuat Steffi sewaktu libur atau dia sedang bersantai.
Harus Alex akui kalau video yang dieditnya memang bagus. Entah aplikasi macam apa yang digunakannya, tapi Alex suka dengan hasil editan Steffi dan beberapa videonya juga bagus.
"Sudah selesai mengeditnya?" Tanya Alex saat Steffi membuka headphone yang di pakainya. "Kau bahkan tidak mendengar ketika aku mengatakan 'aku pulang!' Saat masuk tadi."
Steffi terkejut. "Astaga! Apa kau mengucapkannya? Maaf aku tidak mendengarnya!!"
"Sudahlah, kau memang asyik dengan dunia filmmu itu. Aku juga hanya bercanda. Aku melihatmu serius dengan laptopmu, jadi aku tidak mengucapkan apa-apa saat pulang," jelas Alex. "Oh ya, kau sudah makan malam?"
"Belum. Aku hanya menghabiskan tiga gelas oat cokelat selama mengedit tadi," kata Steffi. Steffi menutup laptopnya, membenahi headphonenya dan mengambil gelas kotor yang dipakainya untuk membuat oat cokelat tadi.
Tangan Alex menahan langkah Steffi yang mau menaruh gelasnya di bak cuci piring. "Apa lagi kali ini?" Tanya Steffi, seolah sudah hafal dengan kelakuan Alex.
"Mm... Galak sekali," balas Alex. Sebelah tangannya yang lain kini memegang pergelangan tangan Steffi yang lainnya. "Sejak kapan kau pakai kacamata?"
"Apa pedulimu memangnya?"
"Tidak ada. Hanya saja kau aneh saat memakai kacamata itu," gumam Alex.
"Aku memang pakai kacamata untuk bertahan lama di depan laptop," jelasnya. "Bisakah kau melepas tanganmu ini? Aku mau menaruh gelas ini ke tempat cuci."
Alex melepaskan tangannya. "Aku mandi dulu, setelah itu kita makan bersama."
Steffi mengangguk. Dia pun juga mandi di kamar mandi luar. Seperti biasanya juga, Steffi keluar dengan celana pendek, dan kaos oblongnya.
"Urakan sekali," komentar Alex.
"Baguslah. Dengan begitu tidak akan ada yang mau denganku," kata Steffi, kemudian mendekat ke arah Alex. Dia tidak duduk di kursi, namun Alex memberikannya sekotak bento. "Bento?"
Alex mengangguk. "Aku tidak masak hari ini. Jadi, kita makan bento saja ya?"
"Baiklah..."
"Dan aku beri kau kebebasan untuk makan di sofa hari ini," kata Alex.
Entah setan apa yang sudah merasuki pikiran Alex hari ini. Tapi apapun itu, Steffi berterimakasih pada Tuhan atas kebaikan Alex yang sudah mengizinkannya untuk lepas dari tata cara makan hari ini.
"Tumben sekali kau memberikan kemerdekaan bagiku hari ini?" Tanya Steffi yang mulai membuka bentonya dan berdoa sebelum makan. "Kau ingin menjadi malaikat?"
"Hei, aku hanya bersikap baik. Apa itu salah?" Pertanyaannya di sahut gelengan Steffi. "Oh ya, omong-omong, kau bisa membantuku untuk membuat video pelajaran?"
Steffi mengangguk. "Pelajaran apa?"
"Fisika."
Kali ini Steffi lesu. "Kenapa harus pelajaran terkutuk itu?! Dari semua pelajaran—"
"Aku guru fisika, Putri Molor."
Kali ini Steffi diam. Dia hanya fokus pada makanannya, tapi dia juga menjawab tawaran Alex. "Tentang apa?"
"Mm... Penyerbukan tanaman?"
Steffi menutup bentonya yang sudah habis, mengalihkan pandangannya kepada Alex dan mentap pria bermata tajam itu dengan mata sayunya.
"Hei, aku tidak sebodoh itu, Tuan Genius!!!"
"Ahahaha.. baiklah, baiklah," kata Alex. "Berat jenis massa. Mudahkan?"
"Mm... itu materi yang air, minyak, susu kental manis di tuang dalam satu wadah lalu dari situ bisa kelihatan cairan mana yang punya jenis massa yang paling berat atau ringankan?"
"Exactly!" Jawab Alex sambil memetik jarinya.
"Ngomong-ngomong, dari semua mata pelajaran yang ada, kenapa kau memilih fisika?"
"Bukannya aku sudah menceritakannya padamu?"
Steffi menggeleng. "Kau bilang akan cerita kapan-kapan."
"Ya sudah, kalau begitu kapan-kapan saja aku ceritanya," balas Alex.
Alex bangkit berdiri lalu mengambil bekas kotak bento mereka, tapi kali ini Steffi menarik bajunya dari belakang, sehingga Alex tidak bisa jalan.
"Hei, aku mau buang sampah!"
"Ihhh! Tapi kau bilang kau janji untuk memberitahuku!!!" Steffi merengek layaknya bocah yang tidak dibelikan permen favoritnya. Alex berhasil melepaskan tarikan tangan Steffi dari bajunya dan membuang kotak bento itu ke tempat sampah.
Lalu dia kembali mendekat pada Steffi. Gadis itu menunduk ke bawah, sehingga Alex menaruh dua telapak tangannya di atas pundak Steffi dan gadis itu mendongak.
"Sepenting itukah?"
Steffi dengan polosnya mengangguk.
"Baiklah. Kita duduk, dan sambil kau menghabiskan susumu aku akan ceritakan kenapa fisika."
Alex kembali ke dapur, mengambil susu dingin di kulkasnya, kemudian duduk di sebelah Steffi.
"Jadi, aku memiliki Ibu dan Nenek yang hebat. Kau sudah lihat sendiri fotonya di kamarku saat bersih-bersih. Aku bercita-cita menjadi astronot ketika kecil, dan Ibu selalu mendukungku. Sejak Ibu meninggal saat aku kelas 2 SMP, aku pun hanya tinggal bersama Nenek dan mulai mengerjakan semuanya sendiri."
Steffi menaruh gelas susunya yang sudah habis, lalu bersandar lagi.
"Waktu kelas 3 SMA, aku sadar kalau gigiku ada celah kecil, dan mataku silinder. Jelas kalau aku mengambil ilmu astronomi, aku tidak akan pernah bisa menjadi astronot seperti keinginanku. Makanya aku memilih untuk menjadi guru. Kau tanya kenapa fisika? Karena fisika menyebalkan, dan seperti yang kau bilang, fisika hanya untuk orang yang pintar saja," jelas Alex.
"Seharusnya kau bisa jadi yang lebih dari sekedar guru SMA dengan wajah tampanmu, kau bisa menjadi model atau bintang iklan." Steffi menguap dan mulai memejamkan matanya.
Alex tersenyum. "Kau tidak bertanya tentang ayahku?"
Steffi sudah terlelap dalam mimpinya. Alex yang sadar kalai Steffi mulai mendengkur itu tersenyum.
Dasar tukang molor. Selalu saja tidur.
Hari ini, Alex tidak membiarkan Steffi tidur di sofa. Lalu Alex menggendong Steffi ke kamarnya. "Dasar Biang Onar, Tukang Molor!"