Alex selesai membenahi barang-barangnya. Akhir tahun ajaran di sekolah, pembagian rapot sudah selesai, dan dia sekarang bergegas keluar ruangannya.
Masih segar di ingatan Alex perkataan ayah biologisnya dua hari yang lalu saat dia di panggil oleh Kepala Sekolah ke ruangannya tentang kenyataan bahwa Alex dan Steffi tidak menikah, dan hanya tinggal satu rumah saja.
Selain berbohong, Alex juga sudah melanggar kode etik yang baik sebagai guru. Tinggal bersama perempuan lain, saar dirinya belum menikah. Hal itu memang hal yang tidak sepatutnya dia lakukan sebagai seorang pendidik, apalagi di sekolah yang baik seperti Kenneth.
Siswinya tidak ada yang tahu perihal ini, sehingga Alex tidak perlu repot-repot memberikan salam perpisahan pada siswi-siswinya.
Sampai di lapangan parkir, Alex menaruh barang-barangnya di bagasi belakang mobilnya, dan menutupnya kembali. Alex juga segera membuka pintu bagian kemudinya untuk masuk, ketika ada pelukan dari belakang yang memeluknya.
"Ku mohon jangan pergi, Alex! Aku bodoh, aku salah, aku memang bodoh karena sudah bertanya-tanya soal ibumu!!"
Alex tahu kalau ini pasti orang yang memeluknya adalah Steffi. Alex melepaskan pelukan Steffi, lalu berbalik dan menatap gadis yang masih menundukkan wajahnya. Dengan satu gerakan, Alex mengangkat wajah Steffi, "Hei, jangan menangis."
"Jangan pergi!!!" Seru Steffi. "Aku... aku tidak ingin kau pergi, Alex. Aku mohon..."
"Ayah biologisku, Kepala Sekolah sudah memberitahuku semuanya," kata Alex sambil mengusap pipi basah Steffi. "Aku tahu kalau kau tidak mengatakan apapun tentang ibuku. Jadi, aku pikir aku yang salah, dan aku yang seharusnya minta maaf."
Steffi berhenti menangis. "Apa yang Kepala Sekolah katakan padamu?"
"Mm... cukup banyak..."
-----
Dua hari lalu, Alex di panggil oleh ayahnya untuk bertemu dengannya di kantor kepala sekolah. Alex baru selesai membagikan laporan hasil belajar kelasnya saat itu.
"Alexander Kougami, silakan duduk," kata Kepala Sekolah, menunjuk kepada sofa yang tersedia. "Kau ingin minum apa?"
"Tidak terima kasih," jawab Alex. "Aku harus buru-buru pulang. Jadi apa yang akan Bapak sampaikan kepada saya?"
Kepala Sekolah menunjukkan fotokopi KTP Steffi. "Bisa kau lihat sendiri kalau Steffi berstatus belum kawin. Putri tunggal dari pemilik production house terbesar di Indonesia tidak mungkin akan menutup kabar kalau dirinya sudah menikah."
Alex tersenyum ringan. "Sepertinya kedok yang aku pakai selama ini dengan Steffi akhirnya ketahuan juga," katanya sambil tersenyum meringis. "Aku sudah yakin kalau cepat atau lambat kebusukan ini akan terbongkar... Apa yang akan Bapak lakukan pada saya kalau begitu?"
"Kau jelas sudah melakukan pelanggaran sebagai guru yang mengajar di sekolah putri," jawab Kepala Sekolah, "Selain itu, kau sudah melanggar kode etik sebagai guru, seorang pendidik, tapi kau tinggal bersama wanita yan sama sekali bukan istri atau saudaramu. Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Kau mau kalau siswi-siswimu tahu dan bagaimana kalau mereka mengikuti kelakuan gurunya yang tinggal bersama dengan perempuan?"
Alex hanya bisa tersenyum pahit mendengar ayahnya mengatakan hal seperti itu. "Lebih baik melakukan kesalahan yang jelas telihat oleh orang lain, daripada melakukan kesalahan yang diam-diam, dan semua orang menganggap kalau tidak ada kesalahan kepadanya."
"Maksudmu?" Tanya Kepala Sekolah sambil mengerutkan keningnya.
"Walaupun aku tinggal bersamanya, dan semua orang tahu itu, tapi aku tidak pernah melakukan perbuatan amoral kepadanya," jelas Alex, "Bagaimana dengan Bapak sendiri? Apa Bapak ingat dengan kelakuan yang Bapak lakukan pada Shafira Ananda dua puluh lima tahun yang lalu?"
Seketika, mata Kepala Sekolah melebar mendengar nama siswinya itu di sebut.
"Kenapa? Kenapa Anda diam saja, Kepala Sekolah yang saya hormati? Apa Anda tkdaj bisa menjawab apa yang Anda sudah lakukan kepadanya?"
"Ba—bagaimana kau bisa mengenalnya? Bagaimana kau bisa mengenal Shafira?"
"Siapa yang peduli bagaimana aku bisa tahu kebejatan yang telah kau lakukan kepada siswi kelas 2 SMA yang sedang mabuk di dalam sebuah hotel? Nyatanya, Anda adalah seorang laki-laki yang tidak punya hati nurani, dan tidak pantas di sebut sebagai seorang pendidik!!!"
Seruan Alex membuat Kepala Sekolah benar-benar terkejut.
"ANDA TIDAK PERNAH TAHU KALAU IBUKU MENDERITA SELAMA AKHIR MASA SMANYA?!" seruan Alex meninggi, "ANDA TIDAK TAHU KALAU IBUKU MENGANDUNG ANAKMU?!"
Seketika semuanya jadi jelas. Kepala Sekolah pun menundukkan kepalanya. Emosi Alex yang meledak-ledak itu membuatnya masih syok. Setelah beberapa saat berlalu, dan nafas Alex mulai teratur, Kepala Sekolah mulai menjawab pertanyaannya.
"Seperti yang aku sudah katakan pada Steffi beberapa hari lalu. Aku masih muda dan egois. Aku hanya memikirkan kesenangan untuk diriku sendiri dan bagaimana caranya memuaskan nafsuku," jawab Kepala Sekolah. "Steffi tidak menyakan apapun tentang Shafira. Tapi, aku yang mulai bercerita dengannya. Jujur saat itu aku ingin sekali bertanggung jawab dengan perbuatan yang aku lakukan. Tapi, karena Shafira mengusirku, dan tidak ingin melihatku lagi, jadi aku menurutinya. Lagi pula saat itu aku akan melanjutkan S2-ku keluar negeri."
"Dan kau tidak mencarinya saat kembali?"
"Aku sudah berusaha mencarinya kemana-mana tapi orang-orang bilang dia sudah pindah," jawabnya lagi. "Alex, aku sungguh menyesal, Nak."
Alex merasakan tangan Kepala Sekolah menepuk-nepuk punggungnya yang bergetar.
"Aku bukanlah ayah yang baik. Dan aku bisa mengerti kalau kau sangat membenciku," lanjutnya, "Bagaimanapun, aku senang sekali bisa mengetahui kalau aku memiliki anak sepertimu."
Alex menghapus air matanya yang menetes dan membasahi pipinya. "Aku memang membencimu. Tapi kau tetaplah ayahku," balasnya. Kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya. "Ini surat pengunduran diriku."
-----
Steffi tertawa di akhir cerita Alex. "Ahahahaha!!!"
"Kenapa kau malah menertawakanku?" Tanya Alex kesal, "Ada yang salah dengan ceritaku?"
"Tidak. Hanya ingin tertawa saja," balasnya. "Setidaknya kau dan ayahmu sudah berbaikan. Jadi, kau tidak akan pergi kan? Iyakan?"
Alex menggeleng sambil tersenyum. "Sayangnya aku harus tetap pergi," kata Alex.
"Kenapa? Memangnya kau tidak sayang padaku?"
"Aku harus melanjutkan S2 ke luar negeri, Steffi. Lagi pula aku ingin menjadi dosen, jadi sepertinya aku memang harus melanjutkan studiku." Kedua bola mata Steffi meredupkan cahayanya, "Ayahmu, Genta Rudi Handoko, juga mengizinkanmu untuk ikut bersamaku. Dia bahkan memukulku karena sudah mempermainkannya dengan berbohong soal hubungan pura-pura kita." Alex menunjukkan bekas pukulan Rudi yang sudah samar-samar mulai hilang dari wajahnya.
"Astaga!! Kenapa ayahku bisa memukulmu?"
"Tentu saja! Bagaimana bisa seorang anak dari pemilik Production House terbesar dan sutradara legendaris Indonesia hanya berakhir menjadi astrada? Dan parahnya lagi dicampakkan oleh pacarnya yang dulu?"
"Hei! Bagaimana kau tahu tentang ayahku dan production house itu?" Tanyanya lagi.
"Aku tahu darimana itu tidak penting," kata Alex. Dia melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh Steffi dan memeluknya erat. "Yang terpenting sekarang, aku senang karena sudah tahu semuanya, dan kita tidak perlu melanjutkan kebohongan bodoh ini, Putri Molor."
"Astaga! Masih saja kau harus memanggilku dengan sebutan itu, Tuan Kolot?!"
"Kau memang tukang molor. Oh, soal kolot, aku sudah berubah sejak kau membawa sifat makanmu yang buruk itu," balas Alex.
"Menyebalkan! Aku membencu!"
"Matamu takkan berbohong. Kau jelas menyukaiku."
"Tidak, aku mencintaimu, Alexander!" Balas Steffi.
"Aku juga," kata Alex. "Sebaikanya kita pulang, perutku lapar."
"Baiklah.. kita bisa ke Fons untuk makan, dan merayakan ini."
"Kalau itu maumu, aku menurut saja," kata Alex lalu mereka masuk ke dalam mobil dan pergi.