Chereads / Fons Cafe / Chapter 15 - Episode 15

Chapter 15 - Episode 15

Disinilah Steffi berada. Sudah beberapa hari dia tidur di apartemen Alex yang ada di kawasan real estate dan terkenal dengan harganya yang mahal. Bahkan, Steffi bahkan tidak mampu menyicil unit terkecil di apartemen elit ini dengan gajinya sebagai astrada. Yang mengherankan, kenapa Alex, yang hanya guru SMA mampu menyicil apartemen ini dan sekarang sudah lunas.

Apartemen Alex terdiri dari tiga kamar tidur. Satu kamar tidur utama, yang lengkap dengan kamar mandi dalam dan walking closet. Tentu saja itu adalah kamar Alex. Sementara dua kamar tamu lainnya. Yang satu menghadap ke balkon dan yang lainnya ada di depan pintu masuk apartemennya.

Juga, ada satu kamar pembantu yang di alih fungsikan sebagai gudang di dekat dapur. Apartemen Alex memang besar, dan di bandingkan tempat tinggal yang selama ini di kontrak Steffi jelas apartemen ini berkali-kali lipat lebih baik.

Seperti pagi ini, Alex membangunkan Si Putri Molor di kamarnya. Kamar yang dipilih Steffi adalah kamar yang menghadap ke balkon. Ini hari Sabtu, dan sekolah libur. Alex tak habis pikir ada saja anak perawan yang tidur sampai jam sepuluh pagi di akhir minggu!

"Hei, bangun," kata Alex. Tapi Steffi masih meringkuk di dalam selimutnya. Gadis itu sudah melepas gantungan lehernya, dan kini bisa tidur lebih leluasa. "Ini hari Sabtu. Dan kau masih tidur di jam 10 pagi?!"

Steffi memunggungi arah suara Alex. "Justru ini saat yang paling baik untuk bersenang-senang di ranjang dan memanjakan badan untuk tidur sampai sore."

Alex mendengus. Baru kali ini dia melihat ada gadis yang benar-benar semalas ini untuk bangun pagi.

Jujur saja, Alex sudah beberapa kali berkenalan dengan perempuan-perempuan yang mempunyai sifat malas. Tapi untuk yang semalas Steffi baru kali ini dia menghadapinya. Dan hari ini dia mulai jengah.

Dengan satu gerakan cepat, Alex membuka selimut Steffi. "Aku tunggu di meja makan lima menit lagi. Dan kalau kau tidak ada, jangan harap kau mendapatkan makan pagi." Alex meninggalkan Steffi di kamar sendiri.

Perut Steffi keroncongan. Dia mengakui kalau dia lapar. Selama di rumah Alex, dia hanya menumpang hidup dan segalanya sudah di siapkan oleh Alex. Mulai dari makanan, sampai bersih-bersih apartemen. Untuk ukuran laki-laki lajang tanpa kekasih, apartemen Alex adalah apartemen terapih dan bersih yang pernah Steffi lihat. Tidak ada asbak dan puntung rokok. Bahkan tidak ada botol minuman beralkohol di kulkasnya.

Akhirnya dia bergerak mencari slippernya dan bergerak keluar. Harum masakan Alex langsung menyeruak masuk ke dalam indera penciuman Steffi. "Sepertinya masakan ini enak.."

"Tentu saja. Mana mungkin aku membuat masakan yang menjijikan?" Balas Alex. "Duduklah dan makan."

Meja makan persegi untuk empat orang itu sudah terisi dengan dua gelas susu putih, dan dua piring french toast yang dibuat oleh Alex. Selain itu, ada beberapa potong buah yang sudah disiapkan Alex di piring yang lebih kecil.

Steffi duduk berhadapan dengan Alex. "Kau tidak pergi kerja?"

Alex menggeleng. "Ini hari Sabtu. Dan sekolah libur, Putri Molor."

Steffi sudah mulai bisa menggerakan tangan kirinya yang patah, dan Alex melihatnya. "Untuk apa kau membangunkanku di pagi hari seperti ini?"

"Ya Tuhan. Apa kau tak tahu tata krama untuk makan? Apa kau tak pernah di beritahu kalau saat makan dilarang untuk berbicara?"

Steffi tertawa.

"Kenapa kau tertawa?!"

"Kolot sekali dirimu. Ini abad 21 dan kau masih saja kolot dengan melakukan tata krama makan layaknya bangsawan Eropa abad pertengahan."

"Apa yang lucu dengan tata krama yang baik?" Tanya Alex. "Orangtuamu tidak pernah memberitahumu tentan tata krama di atas meja makan memangnya?"

"Tidak.. justru Papa selalu mengomeliku ketika aku makan sambil berdecak, menaruh siku di atas meja, mengobrol saat makan, dan membunyikan suara-suara alat makanku saat makan." Steffi masih tertawa. "Rasanya kau seperti Papa hanya dalam versi yang lebih muda."

"Berhenti mengolokku dan makan."

"Baiklah Tuan Kolot."

-----

Di akhir minggu adalah waktu bagi Alex untuk membeli makanan dan mengisi ulang kulkasnya. Akhirnya kini Alex dan Steffi sedang berada di mall, tepatnya di supermarket untuk membeli isi kulkas mereka.

"Ambil itu!" Seru Alex, menunjuk pada satu kotak susu cair putih untuk di ambil Steffi. Steffi menurut, dan mengambil satu. "Ya ampun, astaga.. Ambil tiga kotak susu Steffi. Kau membutuhkan susu ini untuk membentuk callus kan?"

"Bagaimana kau tahu?" Tanyanya.

"Tentu saja aku tahu. Tanganmu patah, dan kau perlu makanan dan minuman yang tinggi kalsium agar bisa membuat callus baru dan tanganmu dapat kembali seperti dulu."

Dibalik segala hal yang menyebalkan yang dilakukannya, ternyata Alex masih bisa memerhatikan kebutuhannya. Terutama agar tangannya sembuh.

"Aku tidak suka susu," katanya.

"Kau tidak suka susu? Lalu bagaimana kau bisa mendapatkan kalsium? Keju? Coklat?" Tanya Alex. "Ya sudahlah. Aku tidak peduli, tapi kau harus menghabiskan susumu tiap hari, mengerti?"

Steffi manyun, dia jalan begitu saja, dan meninggalkan Alex. Dia juga pergi langsung ke bagian dimana dia bisa melihat-lihat ikan. Alex mengambil beberapa potong ikan salmon dengan warna merah merekah yang menggiurkan.

"Untuk apa itu?"

"Tentu saja untuk dimakan," jawabnya ringan. "Apa kau mau ikan lain?"

"Tapi harga ikan ini mahal, Alex. Lagipula memangnya ini tidak dinamakan pemborosan? Disaat akhir bulan dan kau malah membelanjakan uangmu untuk membeli makanan mahal ini?"

Alex menggeleng. Gadis pendek yang berdiri di depannya ini benar-benar konyol. Biasanya, dia sering menraktir teman-temannya untuk makan daging ikan salmon atau steak. Hal itu sudah biasa dilakukannya karena gajinya memang banyak.

Bukannya sombong. Tapi kenyataan. Untuk keperluan sehari-harinya selama sebulan Alex tidak menghabiskan lebih dari setengah gajinya. Selain itu, Alex yang menghemat pengeluarannya, beberapa tahun terakhir akhirnya dapat membeli apartemen yang sekarang ia tinggali.

"Nanti kau tidak akan bisa makan lagi saat tengah bulan," desis Steffi.

Namun sambil mendorong trolinya, Alex tetap tersenyum. "Kau meremehkan money managementku?"

"Maksudmu?"

"Aku bisa membeli apartemen, dan makanan yang aku sajikan tiap hari selalu memenuhi standar empat sehat lima sempurna," jelasnya. "Aku tahu kau memang malas, dan sering kali membuat orang lain jengah dengan sikapmu. Tapi jangan samakan aku denganmu."

Di bagian perlengkapan mandi, Alex mendapati sosok yang membuatnya menghilangkan senyum yang ada pada wajahnya.

Steffi sadar ada yang sedang mengganggu pandangan Alex. Sehingga ia berhenti ketika Alex berhenti. Pandangannya terhenti pada sosok yang sama dengan arah mata Alex.

Seorang pria paruh baya, mungkin umurnya sekitar awal lima puluhan. Raut wajahnya ramah, dan baik. Entah apa yang membuat Alex mematung beberapa saat sebelum dia akhirnya mendapatkan kesadarannya kembali. "Kau baik-baik saja? Tuan Kolot?"

Alex mengangkat alisnya. sambil berjalan mendekat kepada laki-laki paruh baya itu.

"Mr. Alex!" Serunya. "Senang bertemu denganmu di supermarket."

"Selamat sore, Pak." Alex membungkuk sedikit. "Baiklah, dapat kulihat kalau sepertinya guru terbaik di sekolah saat ini sedang berbelanja dengan istrinya..."

Steffi membungkuk sedikit. "Sore."

Lelaki itu tersenyum. "Kau memiliki istri yang baik," katanya. "Dan kau merupakan suami idaman yang mau menemani istrinya belanja di akhir minggu."

Pertama, dia bukan suamiku. Kedua, aku sedang tidak berbelanja, tapi Alexlah yang belanja dan aku hanya menemaninya saja. Steffi masih memaksakan senyumnya dan matanya mulai tidak nyaman untuk melihat lelaki itu. Dia tidak bisa terlalu lama berpura-pura dan membohongi orang lain.

"Sepertinya kami harus pergi lebih dulu, Pak. Sampai jumpa di hari Senin." Alex dan Steffi membungkuk kecil, dan berlalu. Tak lupa Alex mengambil sabun cair dan shampoonya.

Pikiran Steffi masih menari-nari tentang siapakah orang yang Alex sebut dengan 'Pak' tadi. Sampai di kasir, dan makan malam pun dia masih memikirkannya.

Kali ini, mereka berdua makan malam di restoran. Setelah membayar belanjaan mereka dan menaruhnya di mobil, Alex dan Steffi kembali ke dalam mall dan memilih sebuah restoran khas Italia.

"Ini restoran Italia, Putri Molor," kata Alex mengingatkan, "Dan kau masih memesan nasi dengan ayam khas Napoli? Tak bisakah kau memilih makanan yang lebih menonjolkan di tempat apa kau makan sekarang?"

"Dan kalau maagku kambuh, apa kau juga akan menanggungnya?" Tanya Steffi lagi.

Sambil menunggu, Steffi pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Alex perihal lelaki paruh baya tadi.

"Mm... Tuan Kolot?"

Alex melirik Steffi. "Apa?"

"Mm... Sebenarnya siapa laki-laki yang kau panggil dengan sebutan, 'Pak' tadi?" Tanya Steffi. "Kalau kau tidak mau menjawabnya ya tidak masalah.."

"Kepala Sekolah."

Kali ini Steffi yang melirik langsung ke arah Alex.

"Iya, laki-laki tadi adalah Kepala Sekolah di sekolah tempatku mengajar," jawabnya.

"Pantas saja dia senang melihatmu. Sepertinya kau guru favorit disana?"

"Bisa di bilang begitu. Walaupun mata pelajaran yang kuajarkan bukanlah mata pelajaran favorit semua siswi. Sebaliknya, mereka sangat membenci pelajaran yang kuajarkan."

"Memangnya apa mata pelajaran apa yang kau ajar?"

"Fisika."

Kenangan Steffi akan masa sekolahnya dulu langsung terputar cepat. Siapa yang menyukai pelajaran terkutuk itu? Apalagi pelajaran itu membuat Steffi harus les dengan empat orang guru agar bisa mendapatkan nilai yang baik.

"Kenapa fisika?"

"Akan kuceritakan kapan-kapan," jawab Alex. "Aku tidak ingin mati kelaparan hanya untuk menjelaskan pertanyaanmu barusan." Pesanan mereka berdua datang dan mereka segera memakannya.

"Table manner please!"

Seruan Alex membuat Steffi mendengus sebal. Baru saja Steffi meletakkan sikunya di atas meja.

"Dasar kolot!"