Semakin hari, Steffi makin penasaran dengan ayahnya Alex, yang tidak lain dan bukan adalah kepala sekolah tempat Alex mengajar. Hal tersebut membuat Steffi berpikir panjang semenjak mereka berdua pulang dari Bandung. Sejujurnya, sejak pulang dari Bandung, mereka berdua memang jadi lebih dekat, dan lebih jarang bertengkar.
Alex juga sempat menemani Steffi ke dokter untuk operasi membuka pan yang di pasang dokter saat tulang Steffi patah beberapa waktu lalu.
"Aku mulai class meeting hari ini," kata Alex. "Kuharap bisa mendapat bekal makan siang dari Nadia Stephanie."
Steffi yang pagi itu baru keluar dari balkonnya. Dia baru menghirup udara pagi yang segar, sementara Alex sudah memakai baju olahraganya dan membawa ranselnya.
"Guru di Kenneth selalu diberikan jatah makan siang kalau ada acara-acara seperti ini," balas Steffi. "Kau pikir aku tidak tahu tentang hal itu?"
Alex tertawa. "Tentu saja aku tahu, kau kan lulusan dari sekolah itu kan?" Balasnya, "Aku pergi dulu ya. Tapi aku tetap mengharapkan makanan buatanmu untuk makan siang nanti." Alex mengecup kening Steffi lalu berjalan keluar.
Cih! Sudah berani mencium keningku?! Baiklah, lihat apa yang akan kubuat untukmu, Tuan Kolot!
-----
"Makan siang untuk Alex?" Tanya David. "Sepertinya kalian berdua makin akrab saja. Apa Alex sudah menyatakan perasaannya padamu?"
"Astaga... jangan berpikir yang macam-macam David," balas Steffi sambil melanjutkan kegiatan masak memasaknya bersama Kris. "Sepertinya ini sudah matang.."
Kris mengangguk. Selanjutnya, mereka mengangkat makanan yang dimasak itu untuk ditaruh di kotak makan.
"Masak apa sebenarnya kalian?" Tanya David.
"Mm... makanan ringan?" Balas Steffi sambil bergurau.
"Selera humormu buruk sekali, Nona," komentar David. "Kau sebut ayam kung pao, dengan nasi dan dan buncis tumis asam pedas itu sebagai makanan ringan?"
"Hahaha.. aku hanya bercanda, David!" Balas Steffi lagi. "Apa kau tidak ada jadwal on air hari ini?" David menggeleng ringan. "Baguslah.. kalau begitu aku bisa memintamu untuk menemaniku mengantar makanan ini."
"Wowowo... Tunggu sebentar Nona Muda, kau memiliki Kris disini yang menganggur. Jadi kenapa harus aku?" Tanya David keberatan.
"Aku yang memintanya, apa kau mau protes?" Timpal Kris.
David tak punya pilihan lain. Lagi pula kalau dia menolak, pasti Kris akan memberinya ceramah non stop karena sudah melakukan perempuan secara tidak sopan.
"Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Cepat naik ke mobilku," kata David. "Ah ya, aku ingin satu porsi Fons nacho dan spesial ramen ekstra miso saat aku kembali kemari."
Kris mengangguk.
-----
Tepat pukul dua belas, Steffi sampai di gedung Kenneth School. Dia mendapati Alex sedang beristirahat di tenda guru. Seolah sadar akan kedatangan Steffi, Alex bangun dari tempatnya duduk lalu mendekat ke arah Steffi.
"Wah, memang istri yang baik," pujinya tulus, "Kau membawakan apa untukku?"
"Kau bisa langsung melihatnya saat makan nanti," jawab Steffi. Alex mengangguk.
"Kau punya ide dimana kita bisa makan ini dengan tenang?" Tanya Alex. "Tidak enak sepertinya jika aku makan di depan rekan-rekanku sendirian."
"Ikut aku kalau begitu," kata Steffi. Di jalan menuju tempat yang Steffi maksud, mereka bertemu dengan Kepala Sekolah.
"Wah, Alex dan..."
"Steffi," jawab Alex cepat.
"Ya Steffi. Kalian sangat harmonis sekali," kata Kepala Sekolah. "Kalian masih seperti orang berpacaran, walaupun sudah menikah."
"Kami permisi dulu untuk makan ya, Pak," kata Alex tanpa basa-basi, tapi dia masih bisa memberikan senyum kepada atasannya itu, baru pergi. Steffi menuruti Alex lalu mereka berdua naik ke atas, hingga sampai di atas atap sekolah. "Ini tempat bolos pelajaranmu sewaktu SMA dulu?"
Steffi mendengus. "Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu?"
"Sepertinya kau sudah sangat hapal dengan tempat ini," balas Alex. Dia segera mengambil tempat duduk di lantai, lalu membuka kotak makannya. Sementara Steffi lari kesana-kemari.
"Aku memang suka bolos pelajaran kewarganegaraan, matematika, sosiologi dan geografi." Steffi mengakuinya. Dia jadi ingat lagi guru-gurunya dulu.
Pak Kirman, guru kewarganegaraan yang suka menarik rok Steffi karena terlalu pendek, makanya Steffi sering bolos. Pak Herman, guru sosiologi paling membosankan yang lebih sering bergosip dikelas, makanya Steffi bolos. Sementara Bu Resti, guru geografi yang membuatnya bosan dengan tugas-tugasnya dan Pak Gunawan, guru matematika yang kalau membuat soal tidak dipikir lebih dulu.
Tak heran kalau guru-guru itu sering sekali mengomeli Steffi selama tiga tahun sekolah di Kenneth.
"Kenapa kau mau menjadi sutradara ngomong-ngomong?" Tanya Alex disela-sela kunyahan makanannya.
"Kau sedang makan, Alex. Itu dilarang tata krama makan untuk bicara sambil makan dengan mulut penuh!"
"Pengecualian hari ini," jawabnya lagi. Steffi mengangguk, dia menikmati semilir angin dari atas atap Kenneth School. "Hei, kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Stef!?"
"Apa?"
"Kenapa kau mau menjadi sutradara?" Tanya Alex lagi.
"Oh... itu. Mm.. itu karena Steven, kakakku memilih untuk menjadi sutradara, seperti ayahku," jawab Steffi, "Steven selalu menjadi pusat perhatian orang-orang disekitarnya karena membawa kamera kemanapun. Aku juga ingin sepertinya, tapi aku lebih sering merusak kamera dari pada merawatnya, jadi Papa melarang aku untuk masuk perfilman.
"Disini, aku bertemu dengan Bu Nina. Beliau walikelasku yang terbaik, dan Beliau tahu kalau aku ingin sekali jadi sutradara. Jadi Bu Nina sering meminjamkan kameranya untuk aku pakai."
"Kau suka film apa?"
"Mm... bukannya sadis, tapi aku selalu suka film dengan film yang mengusung tema holocaust atau perang dunia kedua."
"Berat sekali. Aku pikir kau suka film dengan tema-tema yang romantis," timpal Alex.
"Aku suka sejarah kau tahu? Dan aku menyukai dua tema film itu karena penuh dengan kejadian sejarah di masa lalu," jawabnya, "Kau sendiri suka film yang seperti apa?"
Alex berpikir sejenak. "Film dokumenter."
Steffi memukul lengan Alex dan menatapnya meledek.
"Lho kenapa?"
"Itu genre yang berbeda.."
"Tapi bagus," tambahnya.
"Suka-sukamu sajalah," kata Steffi.
-----
Selesai makan siang ditemani Steffi, Alex kembali ke lapangan. "Aku akan ikut lomba lari, dan kau harus ikut untuk melihatku berlari. Saat aku mendapat urutan pertama, aku akan memelukmu dan menciummu."
"Yang benar saja?" Seru Steffi, "Mana mungkin kau mendapat urutan pertama, Sir Alex? Hahahaha.."
"Baiklah aku akan memeluk, mencium dan menggendongmu untuk lari lagi satu putaran."
"Terserah kau saja. Tapi aku yakin kau tidak akan mendapat juara itu."
Alex menyeringai, dan mengecup kening Steffi selama beberapa detik. "Watch and see!"
Jadilah akhirnya Alex mulai berada di posisinya, lalu ketika pistol di tembakkan, dia mulai berlari. Dari lima pelari yang ada, di awal putaran saja Alex sudah berada di posisi keempat, dan tertinggal beberapa meter. Setelah putaran kedua, Alex menambah kecepatan larinya sehingga berada di posisi ketiga.
Saat putaran terakhir, Alex berhasil mendalui pelari kedua. Hanya beda beberapa detik saja ketika Alex menambah lagi kekuatannya untuk mengejar posisi pertama dan melewati garis finish.
Secepat kilat Alex segera lari menuju Steffi, mencium bibirnya cepat, dan membuat Steffi membulatkan matanya. Setelahnya, Alex membawa Steffi ke dalam pelukannya dan menggendongnya ala putri, lalu dia berlari satu putaran lagi sambil menggendong Steffi.
"Alexxx!!!" Pekik Steffi.
"Aku menyukaimu, Bodoh," ucap Alex yang masih berlari sambil sambil menggendongnya dan teraenyum. Steffi masih terkejut dengan pernyataan Alex tapi akhirnya dia membalas senyuman Alex dan berkata, "Aku juga."