Chereads / Fons Cafe / Chapter 18 - Episode 18

Chapter 18 - Episode 18

Steffi membersihkan piring bekas makan paginya bersama Alex dan mencuci pakaian. Seperti yang dikatakan Alex, hukumannya berlanjut sama dua hari. Dan ini adalah hari terakhirnya. Steffi bersyukur, karena walaupun Alex adalah orang muda yang kolot, dia masih memiliki mesin cuci yang berfungsi dengan baik.

Selain itu, Steffi juga harus menyapu dan mengepel seluruh sudut rumah. Oh ya, Steffi juga harus memasak sarapan dan makan malam. Kemarin malam, Alex sempat memuji sedikit masakan yang dibuat oleh Steffi. Walaupun kurang bumbu, setidaknya wangi yang dikeluarkan oleh masakannya sangat menambah hawa lapar Alex.

Dan hari ini, Steffi memrapihkan meja kerja Alex. Ya, meja kerja Alex yang berada di dalam kamar pribadinya Alex, yang selama ini belum pernah Steffi masuki ke dalamnya.

Pertama, Steffi membersihnya kamar mandi Alex yang--sepertinya memang sengaja—sangat berantakan. Ada banyak sekali plastik dan sampah. Berikutnya, dia mulai merapihkan baju-baju Alex di walking closetnya. Kebanyakan dari lemarinya itu dipenuhi dengan setelan jas, kemeja putih, celana bahan hitam dan dasi.

Sangat... kaku sekali! Batin Steffi.

Selanjutnya dia membenahi daerah disekeliling TV flat Alex yang menggantung, lalu merapihkan dan mengganti sprei Alex.

Heran, padahal dia hanya tidur sendiri. Tapi kenapa ukuran ranjangnya harus king size?! Atau jangan-jangan dia sering membawa pacarnya kemari?

Padahal di apartemennya ini, Alex tinggal sendirian. Hanya saja, setiap kamarnya diisi dengan ranjang ukuran king atau queen size.

Selesai mengganti sprei Alex, Steffi melanjutkannya dengan meja kerja Alex. Sambil merapihkan mejanya, Steffi melihat sebuah cincin yang dimasukkan kedalam kalung di depan sebuah foto.

Foto itu seperti foto yang sudah cukup lama, dan di dalamnya terlihat seorang wanita sedang menggendong anak laki-laki berusia sekitar tiga tahun. Di samping foto itu masih ada beberapa foto lainnya yang serupa. Dimana Steffi yakin kalau foto tersebut adalah foto Alex sewaktu dia masih kecil.

Setelah beberapa jejeran foto, Steffi baru menyadari kalau foto wanita tersebut tidak ada lagi. Dan Alex pun hanya berfoto dengan nenek, yang sepertinya adalah neneknya. Bahkan sampai Alex lulus kuliah, yang berada di dalam fotonya adalah nenek itu, bukan wanita yang tadi.

Steffi pun meraih kalung yang di lihatnya tadi. "Shafira?" Bisiknya membaca nama di dalam cincin itu. "Nama pacarnya dia? Apa dia patah hati karena pacarnya meninggalkannya dan membiarkan cincin ini seperti ini saja? Tapi kalau iya, dimana punyanya?"

Steffi masih melihat cincin sederhana itu. Saat tiba-tiba Alex masuk ke dalam sana. Steffi buru-buru menaruh cincin itu lagi, dan bergegas membersihkan meja Alex lagi yang masih berantakan sedikit.

"Lumayan..." kata Alex sambil tersenyum. "Kerjamu cepat juga untuk ukuran perempuan yang biasa malas-malasan, dan dengan keadaan tangan yang baru sembuh dari frakturnya."

Steffi menantang wajah tampanbAlex tersebut dan menatapnya dengan nyali api yang sudah di redamnya selama dua hari kemarin. "Memangnya tidak bisakah kau memberikan ucapan 'terima kasih' atau setidaknya 'wah, kerjamu baik sekali.' Memangnya kau pikir aku ini anak manja yang hanya bisa makan dan tidur saja?!"

"Tentu tidak. Tapi kau memang terlihat seperti itu," komentarnya. Steffi segera keluar dari kamar Alex begitu dia selesai membereskan meja Alex. Dengan satu gerakan cepat, Alex langsung menarik tangan Steffi. "Jam berapa sekarang?"

Steffi menaikkan alisnya.

"Aku tanya, jam berapa sekarang Putri Molor?!"

Steffi melihat ke arah jam digital yang ada disebelah tempat tidur Alex. "Jam setengah empat sore..."

"Tugas hukumanmu sudah selesai?"

"Mm... Tinggal mengangkat jemuran, menyetrikanya, lalu memasak makan malam. Memangnya kena--"

"Angkat saja jemurannya dan setrika besok saja. Setelah itu kau mandi dan kita akan pergi."

Kali ini Steffi mengerutkan keningnya. "Pergi?"

"Ya. Tak usah banyak tanya. Lakukan saja seperti yang kuminta."

"Baiklah Tuan Kolot."

-----

Steffi sudah selesai mandi. Dia memakai celana jins, dan kaos yang baru dibelinya minggu lalu kemudian keluar dari kamarnya.

"Baju apa yang kau pakai itu?!"

"Memangnya ada yang salah dengan pakaian yang ku pakai ini?"

"Memang tidak, ya setidaknya kau memakai baju dan celana untuk menutupi tubuhmu. Tapi aku minta kau untuk menggantinya."

"Tidak mau."

"Ganti," kata Alex.

Steffi menggeleng.

Alex masuk ke kamar Steffi dan mendapati sebuah gaun selutut, berwarna coklat yang sederhana dan manis. Lalu dia membawa pakaian itu keluar dan menyuruh Steffi untuk memakainya. "Pakai itu."

Steffi melongok melihat gaun itu. Terakhir kali dia memakai baju itu adalah saat pemutaran perdana film yang dibuatnya bersama krunya. Dan krunya itu tentu saja ada Rex di dalamnya.

"Tidak. Aku bilang aku tidak mau, Kolot."

"Kau pilih mengganti bajumu sendiri atau aku yang menggantinya?"

Kali ini Steffi melotot lalu mengambil gaun yang di pilih Alex tadi. Sambil mengomel, dia memakai baju itu dan melihat cerminan dirinya di cermin kamarnya.

Begitu Steffi keluar dari dalam kamarnya, Alex menarik dua sudut bibirnya dan membentuk senyuman terbaiknya. "Kalau dari tadi begini kan kita tidak akan terlambat. Mengerti?"

Steffi berkomat-kamit tak jelas mengekor Alex.

"Pakai sandal dulu. Sepatumu ada di mobilku."

Steffi tidak menyangka kalau Alex membelikannya sepatu hak tinggi. Maksudnya, dia tahu kalau dia tidak tinggi, tapi memakai hak sampai 8 cm bukanlah hal yang disukainya.

"Sebenarnya kita mau kemana, Tuan Kolot?"

"Kita sampai."

Steffi tahu kalau mereka berjalan menuju cluster perumahan sederhana yang berada lumayan jauh dari apartemen Alex. Tapi untuk apa dirinya dan Alex memakai pakaian serapih ini dan datang ke rumah sederhana ini?

"Tunggu dulu, apa kita tidak salah kostum?"

"Memangnya kenapa?" Tanya Alex. "Kau hanya perlu menurut, dan ikuti aku."

Alex mengetuk pintu rumah itu.

"Astaga, kalian berdua datang lama sekali?" Tanya Tatsuya saat membukakan pintu untuk mereka berdua. "Masuklah, Gaby ada di kamarnya dengan Clement."

"Clement?" Walaupun pelan, tapi telinga tajam dari Alex mampu mendengarnya.

"Usahakan untuk menggunakan frekuensi lebih rendah lain kali kalau kau tidak ingin terdengar. Dan, kalau kau bertanya siapa Clement, dia anak Tatsuya dan Gaby yang baru berusia tiga bulan."

Di dalam rumah Tatsuya, ternyata memang sudah seperti pesta. Ada balon, dan pita dimana-mana. Sebenarnya, Alex malas datang, tapi mengingat dia sudah menganggap Tatsuya sebagai saudaranya sendiri, akhirnya dia datang walaupun terpaksa.

Alex ingat waktu Tatsuya bercerita saat Gaby mengalami pendarahan dan harus bedrest selama satu bulan penuh sebelum anaknya lahir secara caesar.

"Lihat kan? Tidak mungkin Alex datang sendirian dan membiarkan saudaraku meraung di apartemen dinginnya itu," seru Kris. "Dan sepertinya kalian berdua akan kalah taruhan..."

Alex mendengus sebal. "Ya Tuhan! Apa kalian melakukan taruhan bodoh lain lagi?"

"Tentu saja tidak, Pak Guru!" seru Carlos. "Taruhan merupakan dosa yang jahat."

"Kuharap kalian mengatakan yang sebenarnya," gumam Alex. "Hei, Putri Molor, bisakah kau mengambilkan sup puding almond buatan Gaby yang enak itu?"

Steffi memutar bola matanya. "Aku yakin kau punya tangan dan kakimu sendiri untuk mengambilnya."

"Aku punya calon istri yang dapat mengambilkannya untukku. Jadi untuk apa repot-repot?" Tanyanya ringan.

"Terserah kau saja. Aku tidak akan mengambilnya untukmu!"

Kris, Carlos, David dan Leo terkekeh geli. "Astaga, seorang guru terbaik dan tampan harus di bentak oleh calon istrinya sendiri!"

"Diam kau!" Kata Alex, dengan mata dinginnya kepada David.

"Aku yakin kalian berdua selalu menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama-sama bukan?" Tanya Leo. "Dan sepertinya kalian tidak pernah bosan melakukan itu."

Semuanya melirik Alex dengan tatapan penuh. Mereka berharap kalau Alex akan mengatakan hal yang mereka semua pikirkan.

"Kalian semua ini kenapa sebenarnya?!" Seru Alex.

"Sudahlah, tidak perlu terlalu di pikirkan, Lex." Kris tersenyum dan beranjak ke arah Steffi yang sedang mencoba menggendong Clement.

Steffi memang anak terakhir di keluarganya, dan tidak memiliki adik lain. Steffi pun juga tidak pernah menggendong bayi. Selama ini dia selalu menggendong kamera dan tripod standnya kemanapun.

"Kau terlihat cantik dengan gaunmu, apalagi saat kau menggendong bayi," komentar Kris.

"Onii Kris--kakak Kris!! Jangan katakan hal seperti itu!"

"Ya, aku tahu kau memang tidak pernah suka anak kecil. Kau tidak suka beres-beres, dan kau tidak suka di bilang cantik atau memakai pakaian feminim," jelas Kris. "Tapi kurasa kau akan mulai menyukai anak kecil segera setelah kau menikah."

"Menikah dengan siapa?"

"Orang yang tinggal bersamamu sekarang?"

"Jangan harap aku sudi menikah dengan orang kolot di abad 21 ini sepertinya!"

"Kau tidak tahu kapan kau akan menyukainya, dan mulai jatuh cinta padanya."

Kris mengenal Steffi sudah lama. Kris juga tahu kalau Steffi adalah anak perempuan yang selalu menurut kepads orangtuanya, terlebih ayahnya. Steffi selalu mengidolakan ayahnya dan selalu menyukai film-film yang sudah di sutradarai oleh ayahnya.

Oleh sebab itu, Steffi menurut saja saat ayahnya menyuruhnya masuk ke Kenneth School dulu. Bahkan Steffi pun rela menghabiskan akhir minggunya hanya untuk duduk, belajar dan menghabiskan hobinya yakni, membuat film diam-diam saat dia memiliki waktu lowong.

Begitu lulus, Steffi juga menurut saat di suruh untuk sekolah komunikasi di luar negeri, hanya dengan harapan agar Rudi mau memberikan izinnya kepada Steffi untuk boleh belajar perfilman setelahnya. Tapi sampai detik ini, Steffi masih dilarang, dan dia pun berakhir menjadi astrada.

"Kau pintar, Stef. Aku sendiri iri dengan kepintaran intelektual yang kau punya," kata Kris.

"Sudahlah, Kris. Aku benci mendengarnya."

Dari posisi duduknya, Alex hanya bisa menduga-duga apa yang sebenarnya dikatakan oleh Kris dan Steffi.

Jujur saja, dia penasaran dengan obrolan mereka.