Chereads / Fons Cafe / Chapter 17 - Episode 17

Chapter 17 - Episode 17

"Tumben sekali kau pulang cepat di hari Jumat?" Tanya Steffi. Setelah tinggal dua minggu bersamanya, Steffi tahu kalau Alex sering pulang lebih lama kalau hari Jumat. Selain dia harus membuat rancangan pengajaran seminggu ke depan, Alex juga harus mengikuti rapat guru rutin yang diadakan tiap Jumat.

"Besok ada acara reuni buat para alumni dari sekolah," jawab Alex singkat sambil menyetir.

"Oh... Jam berapa? Kau akan ikut acaranya besok?"

"Tentu saja. Aku harus datang pagi dan bertugas untuk menjaga siswi yang besok ikut ambil bagian sebagai panitianya. Acaranya mulai jam setengah sebelas siang. Kau mau ikut?"

Steffi tersenyum riang. "Tidak. Aku punya acaraku sendiri besok. Mungkin aku akan pergi jam sembilan atau sepuluh, atau bahkan, sebelum kau bangun."

"Ya sudah kalau begitu." Alex mengakhirinya. "Oh ya, jangan lupa kalau kau memiliki hukuman di rumah karena sudah melanggar tata cara makan selama aku tidak ada."

-----

Sabtu pagi itu, Alex bangun lebih telat dari Si Ratu Molor. Ternyata dia memang bangun pagi, dan pergi lebih dulu. Selain itu, Steffi meninggalkan memo di atas meja makan.

Aku pergi dulu.

Aku sudah buatkan club sandwich untuk Tuan Kolot ini, dan perabotan bekas masaknya juga sudah aku cuci. Sampai nanti.

-Steffi

Alex menghargai usaha Steffi untuk membuatkan club sandwich yang penuh dengan isi itu. Dia bisa lihat ada keju, selada, mayonaise, telur dan daging asap disana. Roti putihnya berubah sedikit kecoklatan karena di panggang di atas penggorengan beberapa menit.

Awalnya memang harus Alex akui kalau dia ragu untuk mencicipi masakan yang bukan hasil masakannya sendiri. Tapi untuk menghargai usaha Steffi, dia pun mengambil sepotong club sandwich tersebut dan memakannya.

"Enak..." gumamnya pelan sambil menyunggingkan senyum. "Sepertinya dia memiliki bakat untuk memasak juga."

Selesai makan, Alex segera mandi. Dia sudah janji akan berada di sekolah jam sepuluh pagi dan ikut membereskan gymansium, tempat berlangsungnya reuni nanti.

Walaupun sekolah perempuan dan laki-lakinya dipisah. Tapi untuk gym, hanya ada satu gymnasium yang di pakai untuk berolahraga bila materinya basket atau atletik. Kali ini, gymansium tersebut digunakan untuk acara reuni.

Setibanya di sekolah, pukul 9.53, Alex berjalan menuju gym. Disana sudah ada beberapa siswinya yang sedang memasang stand untuk mata pelajaran fisika.

Oh ya, selain reuni, acara hari ini digunakan sekolah agar para alumni dapat menyumbang dan memberi bantuan kepada tiap-tiap ekskul yang ada di sini. Selain itu, kesempatan ini juga bisa digunakan oleh para alumni yang sudah sukses untuk mencari bibit penerus yang lebih baik.

Tepat pukul setenga sebelas, atau jam sepuluh lewat tiga puluh menit, Alex pergi ke jejeran guru-guru dan mengobrol dengan rekan sesama gurunya.

Para alumni yang berdatangan juga sudah memadati ruangan. Acara tersebut dinyatakan sudah dimulai saat sebuah video di putar di layar putih yang lebar, menghadap ke arah panggung.

The Kenneth School of Social and Science Reunion.

Video itu layaknya dokumenter yang diputar secara hitam putih lalu berangsur-angsur memberikan warna dan terakhir full colour. Ada beberapa cuplikan acara kelulusan yang dilakukan oleh sekolah ini.

Alurnya sama. Yakni sekolah laki-laki lalu ke sekolah perempuannya. Sampai di angkatan yang kesekian, ada cuplikan dari seorang siswa perempuan yang dengan riang dan masih memakai seragam itu, dia memberikan kesannya.

"This school is freakin' me out since the first day I entered! So many things to do yet, I don't have so much time to waste for it. Buat yang masih sekolah, dan betah disini, ya sabar-sabar aja. Dan buat jadi siswi lulusan terbaik nggak susah kok. Buktinya seperti aku! Buat Pak Gunawan, Pak Herman, Bu Resti, Bu Nina dan Pak Kirman, makasih buat hukumannya buat saya ya. Jangan suka marah-marah! Bapak sama Ibu kan juga udah tua, nanti malah tambah tua!! Hahahaha..."

Alex awalnya hanya merasa suara itu adalah suara yang tidak asing baginya. Tapi saat dia melihat ke layar tempat video itu di pasang dan melihat wajah dan nama yang tertera di layar tersebut, dia pun sangat yakin kalau tidak salah orang.

Nadia Stephanie

Best Graduated Student of 23rd Generation.

Alex terkejut melihatnya. Setelah video itu selesai, dia pun melihat Steffi naik ke atas panggung. Disana Steffi berdiri sebagai pembuat dari video tadi. Akhirnya Alex baru sadar kalau saat minggu lalu Steffi bekerja mengedit filmnya, ternyata film pendeknya itu adalah video yang diputar hari ini.

Alex meninggalkan kawasan gurunya dan mendekat ke arah panggung.

"Tuan Kolot?" Seru Steffi sambil menyunggingkan senyum lebarnya. "Seharusnya aku tidak perlu memasukkan wajahku ke dalam video tadi ya?"

"Kau—"

"Steffiiii!!! Videonya sangat bagus!!" Puji Bu Nina. "Sepertinya cita-citamu sudah tercapai ya?"

Steffi tersenyum malu. "Ah tidak Bu. Sekarang saya masih bekerja sebagai astrada. Rasanya saya tidak punya harapan untuk jadi sutradara..."

"Jangan bilang begitu!" Seru Bu Nina. "Alex, kau mengenal Steffi?"

Kali ini Bu Nina melirik Alex yang berada dalam radius dua puluh senti dari tempat Steffi sedang berdiri sekarang. "Ya, bisa dibilang begitu."

"Oh, tapi kurasa ada hal yang kalian berdua sembunyikan," selidik Bu Nina. "Mm... Steffi, sebagai siswi terbaik angkatan 23, aku yakin kau masih jujur seperti dulu. Bisa kau beritahu hubungan seperti apa yang kau miliki dengan guru paling populer di sekolah perempuan Kenneth ini?"

Steffi mulai kikuk. Dia merasa sedang berada di ruang persidangan yang sepi. Padahal gymnasium ini sedan ramai dan dipadati oleh banyak sekali orang-orang.

"Aku dan Tuan—maksudku—Alex... kita ..."

"Steffi adalah istriku, Bu Nina."

-----

Di apartemen Alex, mereka berdua seperti membangun benteng privasi masing-masing. Dimana Steffi kesal karena sekarang semua teman-temannya sudah tahu kalau Steffi sudsh berstatus istri orang. Nyatanya, mana mungkin dia mau menikah dengan orang seperti Alex.

"Best graduated student, huh?" Goda Alex saat keluar dari kamar mandinya. "Kau, lulusan dari sekolah tempatku mengajar? Bagaimana bisa?"

"Berhenti meremehkanku, Tuan Kolot!" Steffi kesal karena Alex tak henti-hentinya bertanya tentang hal yang sama. Yaitu, bagaimana bisa dia menjadi siswa lulusan terbaik di Kenneth? "Aku masuk sekolah sosial di Kenneth. Bu Nina adalah walikelas sekaligus guru ekskul filmku. Aku belajar keras agar diizinkan sekolah film."

"Hasilnya?"

"Kau lihat sendiri kan? Aku menjadi lulusan terbaik. Hanya saja, aku tidak melanjutkan kuliah perfilman."

Alex jadi iba. "Kenapa tidak sekolah perfilman?"

"Mm... Papa melarangku," jawabnya cepat. "Tapi setelah lulus, aku melamar kerja di Gentum sebagai astrada."

"Dan kau mau selamanya jadi astrada?"

Steffi menggeleng cepat. "Aku mau jadi sutradara!!"

Alex tersenyum. "Tekadmu kuat juga. Baiklah, aku akan mendukungmu. Tapi, ada syaratnya.."

"Apa itu?"

"Lakukan hukumanmu!" Seru Alex sambil menunjuk ke arah bak cucian piring yang penuh.

"Baiklah Tuan Kolot!"