Chereads / Fons Cafe / Chapter 14 - Episode 14

Chapter 14 - Episode 14

Kris memberikan privasi khusus kepada Pamannya untuk berbicara dengan Steffi dan Alex di kantornya, lantai dua Fons. Sementara Ira, ibunda Steffi duduk bersama Kris. Dan mengobrol.

"Kenapa Bibi tidak ikut dengan Paman untuk mengobrol?"

"Bibi rasa Bibi tidak perlu ada disana untuk mendengarkan penjelasan baik dari Steffi maupun kekasihnya itu," ujar Ira. "Rudi tahu betul dengan sikap dan watak putrinya. Dia juga pasti bisa menilai dengan tepat seperti apa calon suami yang baik untuk anak kesayangannya itu."

Kris hanya meringis ngeri. Selama mengenal Pamannya, yakni Rudi, Kris tahu betul kalau Rudi adalah sosok yang keras, dan kolot, yang sangat mencintai keluarganya. Terlebih dengan anak perempuannya. Walaupun memiliki anak laki-laki hebat dan berbakat seperti Steven, Rudi selalu memerhatikan keperluan Steffi jauh melebihi apapun.

Semoga kalian berdua selamat dari Paman, bisik Kris dalam doanya.

-----

"Sudah berapa lama kalian kenal satu sama lain?" Tanya Rudi.

Satu minggu!!! Seru Steffi dalam hati.

"Kurang lebih satu setengah tahun terakhir, Om."

Rudi mengangguk. "Kalian berdua sudah melakukan apa saja selama ini?"

Apa? Aku baru mengenalnya seminggu, Pa! Tidak mungkin aku melakukan hal gila dengannya!!

"Kami tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Layaknya orang yang sedang merajut hubungan, kami berdua sering makan, berjalan-jalan dan menginap."

"Satu kamar?"

"Tentu saja. Tapi kami tidak melakukan hal yang seharusnya tidak kami lakukan sebelum menikah, Om."

Steffi terkejut mendengar jawaban Alex.

"Kenapa kau terkejut seperti itu, Steffi?" Tanya Rudi. "Apa kalian berbohong?"

Steffi menggeleng cepat. "Tidak Pa. Tidak sama sekali!" Rudi pun mengangguk.

"Baiklah, Alexander.."

"Alex saja, Om," sanggah Alex.

"Baiklah, Alex, aku tahu kau dan Steffi berpacaran. Ya, dan aku yakin betul kalau kalian sudah mengenal baik satu sama lain khususnya."

Steffi memejamkan matanya. Astaga... aku tidak sanggup lagi membohongi Papa.. "Sebenarnya Pa.."

Rudi mengalihkan pandangannya ke Steffi.

"Aku harus jujur.."

"Jujur? Untuk apa?"

Steffi menarik nafas dalam-dalam. "Sebenarnya aku dan Alex..."

"Kami berdua sebenarnya takut apabila tidak mendapatkan restu dari Om dan Tante, dikarenakan aku hanya seorang guru SMA, dan yatim piatu."

Steffi tidak berkomentar apapun lagi. Dia terkejut karena Alex mengatakan itu. Bukan, bukan karena dia spontan mengatakannya, tapi karena Steffi sendiri barubl tahu kalau laki-laki tampan bak model dengan tinggi 180 cm ini merupakan seorang guru SMA dan tinggal sendirian?

Raut wajah Rudi seketika berubah begitu mendengar penuturan Alex. "Aku pun tak memiliki apa-apa ketika melamar istriku. Ah, dan akupun yatim piatu."

Steffi baru tahu kenyataan kalau ternyata Papanya sudah menjadi yatim piatu dari sebelum menikahi Mamanya. Padahal dia kira Papanya masih memiliki orangtua kala menikahi Mamanya.

"Dimana kau kerja?"

"Kenneth School of Social and Science."

Rudi tahu betul sekolah tersebut. Sekolah itu merupakan salah satu sekolah tertua di sini. Sekolah tersebut awalnya berfokus pada ilmu-ilmu sosial, namun sejak beberapa tahun lalu sudah ada jurusan sainsnya.

"Di sekolah perempuan atau laki-lakinya?"

Kenneth School terdiri dari empat bangunan utama yang dipisahkan. Dua gedung yang berada di sebelah timur merupakan gedung untuk siswa laki-laki dan sebelah barat untuk siswi perempuan. Dari empat bangunan utama tersebut di bagi menjadi dua jurusan. Gedung pertama merupakan gedung untuk pelajar sosial dan gedung kedua untuk pelajar sains.

"Sekolah perempuan."

"Kenapa perempuan? Apa kau ingin melakukan suatu hal yang dapat menarik perhatian anak-anak perempuan disana dengan wajah tampanmu itu?" Tuding Rudi sambil bertanya dengan tatapan tajamnya yang serius.

"Tidak. Tentu saja aku pada awalnya berniat untuk mengajar di sekolah laki-lakinya. Namun, mengajar di sekolah perempuan lebih menantang bagiku. Sehingga aku mengajukan permintaan untuk mengajar di sekolah tersebut."

Rudi menghargai keoptimisan dan ambisi yang dimiliki oleh Alex.

"Baiklah, aku tidak perlu meragukan lagi kemampuan otak yang kau miliki. Menjadi seorang guru di sekolah terbaik di kota ini, aku yakin kau sudah memiliki kredibilitas yang baik untuk menjadi suami anakku yang menggemaskan ini."

Alex tersenyum. Dia meletakkan sebelah tangannya di pundak Steffi dan berkata. "Tentu saja. Aku sangat mencintainya dengan segenap hatiku, Papa."

Kini giliran Rudi yang tersenyum lebar. "Tentu saja Nak. Kau akan segera menjadi bagian dari keluarga kami."

-----

Sementara di luar, Tatsuya, Carlos, David, Leo dan Kris menantikan kapan sobatnya itu akan segera keluar. Faktanya, sudah hampir dua jam mereka di dalam ruang kerja Kris, dan membuat mereka semua cemas.

"Kris, kau tidak perlu secemas itu," kata Ira untuk menenangkannya."

Kris mengangguk. Tak lama setelahnya, Rudi turun dari lantai dua diikut oleh Alex dan Steffi.

"Baiklah. Kita akan membicarakan masalah berikutnya lagi nanti untuk pernikahan kalian berdua," kata Rudi sambil menepuk-nepuk pundak Alex dengan bangga. "Dan, tolong jaga putriku. Sampai berapa lama tangannya akan seperti itu?"

"Dokter bilang kemungkinan bulan depan sudah bisa di lepas," karangnya. Dia sendiri tidak tahu apa-apa.

"Oke, kita akan bertemu lagi," kata Rudi. "Aku dan ibumu akan pulang ke rumah. Baik-baiklah dengan Alex ya, Steffi!" Katanya pada putri bungsunya itu.

"Ah? Iya, pasti Pa."

"Kami pulang dulu ya," kata Ira.

Lalu kedua orangtua Steffi pun keluar dari Fons. Steffi mengembuskan nafas leganya, walaupun dia masih takut, setidaknya kini bisa sedikit rileks. Berjam-jam ada di ruangan Kris membuat tubuhnya dingin dan kaku.

"Sandiwara yang hebat," ujar Carlos. "Sepertinya aku bisa membuat ini menjadi ide ceritaku berikutnya."

"Coba saja kalau kau berani," kata Alex. "Akan kubunuh kau hidup-hidup!"

"HAHAHAHA!!" Tawa mereka pecah. "Hei Alex, kau bisa lebih sedikit menghangat kepada istrimu bukan?"

Alex melirik Steffi yang berdiri disebelahnya. "Sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini. Tapi, kau tahu? Aku bekerja di Kenneth School, di sekolah perempuannya, dan salah satu syaratnya adalah seorang guru laki-laki harus sudah menikah apabila bekerja di sekolah perempuan."

Steffi mengerutkan dahinya. "Kenapa kau bekerja disana kalau begitu? Bukannya kau bisa bekerja di sekolah laki-lakinya yang memiliki syarat lebih ringan?"

"Seperti yang aku bilang tadi. Aku ingin tantangan."

"Itu urusanmu!"

"Aku yakin kau juga membutuhkan tawaranku ini bukan? Setidaknya kita sudah mengatakan akan menikah di depan orangtuamu."

"Gila.." desis Steffi. "Kau.... kau orang paling gila yang pernah kutemui."

"Apa bedanya denganmu yang meraung-raung meminta tolong kepada salah seorang sahabatku disini untuk membantumu beberapa jam lalu?!" Balas Alex.

Steffi bungkam. Ya, memang dia seperti orang gila yang sudah gila dan lupa daratan. Kalau dipikir-pikir, memang mereka berdua sama-sama berada dalam situasi yang sulit.

"Jadi bagaimana Nona?" Tanya Alex.

"Ya sudah! Baiklah! Aku terima tawaranmu."

"Ada satu syarat yang harus kau penuhi."

"Apalagi?!"

"Tinggal satu rumah denganku," kats Alex dengan seringaian menggodanya.

"Tidak!!!" Jerit Steffi. "Tidak akan aku serahkan tubuhku--"

David, Carlos dan Leo terkekeh geli. "Dia menganggap kau akan menidurinya dan melakukan sesuatu kepadamu, Alex," kata Carlos di sela-sela tawanya.

"Aku tidak akan tertarik pada gadis sepertimu. Kau paham?"

Mata sayunya Steffi melebar dan segera dari situ, Steffi menyatakan perang kepada Alex. Tidak akan seumur hidupku aku menyukai laki-laki menyebalkan dan menyusahkan sepertimu!

Seringaian nakal Alex masih menghiasi wajahnya. Oh ya? Apa kau akan tahan denganku? Dan segala hal yang menawan dalam diriku?

Kris menggaruk lehernya. "Hm... Alex, Steffi, ku harap kalian akan baik-baik saja selama tinggal satu rumah nantinya..."

"Tentu saja, aku akan baik-baik saja," balas Steffi lantang. "Aku tidak akan tergoda dengan laki-laki sepertinya!!!"