"Gimana kalau kita cari mereka di mall, siapa tau mereka masih ada di sana," usul Saufika.
"Gak mungkin mereka masih di sana Ka, ini udah jam satu malam. Mana mungkin mereka ngabisin waktu sampai selarut ini," timpalku. Saufika pun mengangguk dan mengajakku pulang. Malam itu pun aku tak mendapatkan apapun. Bahkan aku tak bertemu dengan Albert, padahal aku sangat merindukannya. Jujur, sebenarnya aku tak mempercayai ucapan Saufika, namun ia adalah sahabatku. Mungkin saja ucapannya itu benar dan mungkin saja ucapannya itu salah. Aku tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Biarlah Tuhan yang menunjukkannya nanti.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk pergi ke sekolah dan menjalani hari-hariku di sekolah seperti biasanya. Sampai saat ini, Albert masih belum bisa ku hubungi, nomernya selalu saja sibuk. Entah apa yang ia lakukan di luaran sana, aku menjadi cemas kepadanya. Ketika ku tengah melamun di sebuah kursi taman yang tak jauh dari kantin sekolahku, tiba-tiba saja seorang gadis yang tak ku kenal menghampiri. Kemudian ia memberikan sebuah undangan yang cukup mewah. Aku benar-benar terkejut dengan apa yang kulihat. Saat ini aku hanya bisa menangis dan memandangi benda yang ku pegang. Sebuah undangan berwarna coklat dengan nama Albert dan nama seorang gadis yang tak ku kenal. Ini adalah undangan pertunangan mereka. Aku tak menyangka jika Albert akan melakukan hal seperti ini. Tuhan, kenapa dia melakukan ini? Apa yang salah dariku? Hal buruk apa yang ku perbuat hingga ia melakukan hal kejam seperti? Dan apa yang harus aku lakukan? Oh Tuhan, kenapa Kau membuat hidupku seperti ini? Sungguh, aku tak sanggup untuk terus menatap undangan yang cukup mewah ini. Aku pun memutuskan untuk merobek undangan itu dan membuangnya.
Aku memutuskan untuk izin kepada guruku dengan alasan tak enak badan, padahal aku ingin pergi ke rumah Albert dan mencari tahu siapa calon tunangannya itu. Namun setelah aku sampai di depan rumahnya, aku terkejut saat melihat Albert yang tengah bermesraan dengan seorang wanita yang posisi tubuhnya membelakangiku. Sehingga aku tak dapat melihat dengan jelas wajah dari si wanita itu. Ingin rasanya aku menghampiri mereka, namun aku takut jika Albert akan marah. Tetapi bagaimanapun yang merasakan sakit hati adalah aku, seharusnya aku tak perlu takut jika ia marah. Jujur, saat ini aku belum memiliki keberanian untuk menghampiri mereka berdua. Aku hanya bisa berdiri sembari memandangi pemandangan yang membuat dadaku terasa sesak. Namun tiba-tiba saja mata Albert mengarah padaku, aku terkejut bukan main dan tiba-tiba saja ia menghampiriku. Tubuhku mulai bergemetar, air mataku pun mulai menggenang di kelopak mataku. Aku ingin menangis, tapi aku terus berusaha untuk menahan air mataku agar tak terjatuh di depan orang yang kucintai ini.
"Bella!" ucapnya pelan. Aku hanya tersenyum tipis membalas ucapannya. Ya Tuhan, aku sudah tak kuat lagi, aku pun menghancurkan bendungan di mataku ini. Iya, aku mulai menangis. Aku rasa Albert terkejut dengan tangisanku ini. Ia memelukku dengan erat dan mengucapkan kata maaf. Namun dengan cepat, aku mendorongnya hingga ia terjatuh. Calon tunangan Albert yang sedari tadi memperhatikan kami pun mulai mendekati kami dan tanpa berbicara ia pergi membawa Albert. Tanpa perlawanan, Albert hanya pasrah saat wanita itu menariknya untuk masuk ke dalam rumah.
Aku merasa kesal dengan diriku yang tak berguna ini. Aku pergi ke rumah Albert bukan hanya untuk melihat calon tunangannya saja, aku juga ingin meluapkan semua kekesalanku terhadap Albert yang tak memberitahukanku tentang tunangannya itu. Apalagi sampai saat ini, aku dan dia masih menjalin suatu hubungan. Bagaimana aku tidak kesal jika sudah seperti ini? Aku kembali ke rumahku dengan semua kekesalan ini. Perasaan kesal yang terpendam ini membuatku tersiksa.
Keesokan harinya aku pergi menemui Albert di taman. Sebelumnya ia sudah ku hubungi dan untung saja ia mau menemuiku. Kebetulan taman yang ku maksud sangatlah dekat dengan rumahku, aku pun memutuskan untuk berjalan kaki saja. Sesampainya di sana, aku tak menyangka jika Albert sudah sampai lebih dulu. Ia terduduk di kursi taman dengan seorang wanita di sampingnya. Aku mencoba untuk tetap tenang dan menghampirinya perlahan. Mereka menyambut kedatanganku dengan cukup ramah. Dan tak lama, Albert memperkenalkanku dengan calon tunangannya itu.
Terpaksa aku harus berjabat tangan dengan calon tunangan Albert. Aku pun mengajak Albert untuk berbicara empat mata, tanpa calon tunangannya. Albert dan si cewek itu setuju dengan permintaanku.
"Kenapa kamu gak bilang sama aku dari awal, Al? Aku gak bisa menerima ini semua," kataku mulai terisak. Albert yang berdiri di hadapanku hanya terdiam.
"Kamu jahat. Aku benci sama kamu!" Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Namun ia mengejar dan mencengkeram pergelangan tanganku.
"Maafkan aku, Bella. Ini adalah jalan terbaik untuk hubungan kita!" balas Albert.
"Jalan terbaik apa? Kamu malah bikin aku sakit hati, tau gak? Apalagi pas kemarin kamu ninggalin aku demi calon tunangan kamu itu. Hati aku benar-benar sakit, Al. Kamu gak akan bisa nyembuhin sakit hati aku. Aku udah terlanjur benci sama kamu," ucapku sembari terus menangis.
"Dan satu lagi, kita putus!" lanjutku.
"Aku gak bermaksud buat nyakitin hati kamu, Bell. Tolong maafkan aku, Bell!" Ia hendak memelukku, aku pun mendorong tubuhnya dengan kasar lalu aku berlari sejauh mungkin. Aku rasa ia tidak mengikutiku karena aku mendengar dengan jelas jika seorang wanita tengah mencegahnya untuk mengejarku. Aku sudah tidak peduli lagi dengannya. Aku terus berlari menuju rumahku dan saat sampai rumah, aku langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Lalu aku menangis dan menjerit sejadinya di sana. Orang tuaku yang mendengar suara tangis dan jeritanku pun terus mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Aku rasa mereka khawatir denganku. Namun aku tak peduli. Saat ini aku hanya bisa menangisi apa yang telah terjadi di hidupku. Kenapa semua terjadi begitu saja? Kenapa Tuhan bersikap tak adil kepadaku? Kenapa harus gadis itu yang menikah dengan Albert? Kenapa tidak aku saja? Kenapa Tuhan? Kenapa?
Aku tahu, Tuhan tak akan menjawab semua pertanyaanku. Aku juga tahu jika Tuhan memiliki alasan atas takdir hidupku ini. Namun bagaimana pun, aku tak akan bisa melupakan Albert. Dia cinta pertamaku, dia lelaki idamanku, mana mungkin ada lelaki yang menyerupainya. Jika memang dia harus menikah dengan wanita itu, aku siap untuk menunggunya. Aku siap jika sewaktu-waktu dia menginginkanku untuk menjadi istri keduanya atau pun menggantikan istrinya nanti. Aku siap dengan segala resiko yang akan mengancamku suatu hari nanti. Aku yakin, Albert akan membantuku di setiap masalah yang nantinya akan menghalangi cinta kita. Aku percaya jika Albert masih mencintaiku dan akan selalu mencintaiku. Hanya waktu sajalah yang mungkin belum mengizinkan kita untuk bersama. Biarlah semua kenangan yang telah terjadi di hidupku dan hidupnya menjadi sebuah pelajaran untuk hubungan kami ke depannya, jika memang Tuhan mengizinkan. Semua yang telah aku lalui bersama Albert akan selalu menjadi kenangan hidupku.
SELESAI!!!
***
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.