"Sheila. Mau ikut ke kantin gak?" tawar Tania. Dengan cepat aku mengangguk. Kami pun akhirnya pergi ke kantin. Saat asik berjalan menuju ke salah satu tempat penjual makanan, lagi-lagi aku melihat Andre yang tengah mengobrol bersama teman-temannya. Mataku masih terfokus kepada Andre tanpa mengalihkan kemana pun. Hingga tanpa aku sadari, aku menyandung sebuah kaki meja yang tak terlihat oleh mataku. Aku terjatuh di depan banyak orang. Hampir semua orang di kantin menertawaiku. Tania membantu aku untuk berdiri. Dengan malu, ku langkahkan kaki untuk pergi jauh dari kantin dan berhenti di toilet. Betapa bodohnya aku membuat diriku malu sendiri. Aku yakin tadi Andre melihat tingkah konyolku. Ya Tuhan! Malu sekali rasanya. Tania yang kini berada bersama di dalam toilet juga ikut menertawaiku. Ia tertawa puas melihat aku yang menahan malu.
"Haha. Makanya jalan tuh liat-liat, jadi jatuh kan!" ujarnya dengan diiringi tawa. Ku pasang wajah masam sembari membersihkan kakiku yang berdarah akibat terbentuk lantai. Luka di kakiku memang terasa sakit, namun rasa maluku lebih besar daripada rasa sakit ini.
"Ngeliatin apa sih lo? Kocak banget deh!" Lagi-lagi Tania menertawaiku. Ia tak mau menghentikan tawanya.
"Udah dong! Gak lucu tahu!" protesku. Tania merapatkan bibirnya, terlihat jelas ia menahan tawa.
"Maaf deh. Btw udah selesai belum? Ayo kita ke kantin, gua kan belum makan apa-apa nanti keburu bel," kata Tania yang sepertinya tak mempedulikan perasaan maluku.
"Lo aja deh yang ke kantin, gue mau ke kelas aja," balasku.
"Lo gak makan?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala.
"Pasti malu kan? Haha." Tania pergi meninggalkanku sembari tertawa puas. Aku menggertakkan gigiku merasa kesal dengannya.
Setelah ku pastikan darah di kakiku berhenti mengalir, aku memutuskan untuk kembali ke kelas dan berdiam diri di sana. Tak lama, bel masuk pun berbunyi dengan nyaring. Ku lihat di luar sana beberapa guru sudah melewati kelasku untuk mengajar di kelas yang lain. Kemana guru yang akan mengajar di kelasku? Tak ada satu pun guru yang masuk. Dan tak lama salah satu teman sekelasku memberi tau semua teman-temanku bahwa hari ini guru yang mengajar di kelas kami tidak akan masuk yang artinya tak akan ada guru yang mengajar hari ini. Karena tak ada guru, aku pun terpikirkan untuk membuat surat untuk Andre. Aku akan mengungkapkan perasaanku lewat suratku ini. Siapa tau dengan aku mengirim surat ia akan berteman denganku. Ya, siapa tau.
Aku mencoba menyingkirkan perasaan maluku tadi. Ya mungkin saja ia tak melihatnya kan? Aku pun mengambil selembar kertas dan pulpen. Ku tuliskan semua isi hatiku ke dalam surat itu.
Hai, Andre. Aku Sheila dari kelas X-A. Aku menyukaimu sejak aku pertama melihat kamu. Aku gak tau darimana rasa sukaku ini datang, intinya aku menyukai kamu. Mungkin kamu gak kenal aku, tapi aku tau kamu dari teman sekelasmu. Dan aku membuat surat ini pun khusus untukmu. Semoga kamu bisa membalas suratku ini.
Sheila
X-A
Setelah selesai membuat surat, tiba-tiba Tania datang. Ia melihat surat yang ku lipat itu dan menanyakan apa isi dari surat yang ku buat ini. Ku bilang aku mengungkapkan perasaanku kepada Andre lewat surat ini, siapa tau dengan ia membaca surat ini ia akan mengetahui siapa aku. Dengan lancang ia mengambil surat itu dari tanganku. Ya, ia sudah tau siapa Andre dan ia pun tau bagaimana perasaanku terhadap Andre. Sudah berulang-ulang kali ia membantuku untuk dekat dengan Andre.
"Ayo kita kasih!" kata Tania dan berlari keluar.
"JANGAN!!" teriakku dan mengejar Tania. Sayangnya Tania sudah berlari ke lapangan untuk menuju kekelas Andre yang bersebrangan dengan kelasku. Aku mengejar Tania dan menahannya untuk ke kelas Andre. Sungguh! Aku tak berniat untuk memberikan surat itu hari ini, aku hanya ingin menulisnya saja dan menaruh surat itu di tas lalu aku akan memberikannya secara langsung jika aku sudah siap.
"Jangan ih, nanti aja," ujarku. Tania menggeleng.
"Mending kasih aja sekarang. Mumpung dia sekolah kan?" balas Tania. Aku menggeleng. Ia terus menerus mencoba mendekati kelas Andre, aku menarik tangannya dengan kuat untuk menahan dirinya. Huh, menyebalkan\1 Aku pun dengan berpura-pura marah meninggalkan Tania yang tertawa puas di lapangan, aku berjalan ke kelas dengan wajah yang kesal. Rupanya Tania menyusulku.
"Maaf maaf. Aku beneran gak ngasih suratnya kok, nih suratnya," ujar Tania sambil memberikan surat itu padaku. Aku hanya diam saja dan membiarkan dia terus berbicara. Rasakan itu, makanya jangan main-main denganku. Dengan kesal aku pun mengambil surat itu dari tangan Tania.
"Maaf ya? Maaf!" kata Tania. Aku hanya mengangguk pelan. Kami pun kembali ke kelas. Rupanya di sana sudah ada seorang ketua OSIS dan antek-anteknya yang selalu meminta sumbangan. Entah untuk apa sumbangan itu, aku merasa jika mereka menggunakan uangnya untuk biaya eskul mereka yang kekurangan uang. Mereka selalu beralasan iuran OSIS, terkadang iuran untuk anak yatim, terkadang juga iuran untuk teman mereka yang kesulitan. Entahlah aku hanya menebaknya saja.
***
Besoknya aku memberanikan diri untuk mengirim surat ini kepada Andre. Kebetulan Fitri dan Lili akan membantuku. Jam istirahat rupanya memang tepat untuk memberikannya surat. Kini aku, Lili dan Fitri berada di depan ruang guru yang tak jauh dari kelas Andre. Lili memasuki kelas untuk memanggil salah satu teman dekat Andre. Ku lihat Lili tengah mengobrol dengan temannya Andre sambil memberikan suratku padanya. Dan setelah selesai membujuk temannya Andre, ia pun menghampiriku. Temannya Andre pun masuk ke kelas untuk menyampaikan surat itu padanya. Tak butuh waktu lama akhirnya temannya Andre keluar dan membuang sebuah kertas. Apakah kertas itu suratku? Apakah Andre sudah membacanya? Hatiku pun berdegup kencang, entah mengapa hatiku menjadi sakit.
"Sebentar," kata Lili dan menghampiri temannya Andre. Mereka mengobrol cukup lama. Dan akhirnya Lili menghampiriku.
"Andre gak mau baca surat dari loe, dia suruh temannya buat buang surat itu," ujar Lili. Ternyata Andre yang menyuruh temannya itu untuk membuang surat dariku. Ingin rasanya aku menangis, tapi aku mencoba menahannya. Aku hanya tersenyum dan berkata bahwa tidak apa-apa. Aku masih bisa berjuang lebih dari ini. Dan setelah itu, aku pun menangis di rumah. Menangisi betapa bodohnya aku, aku tak menyangka aku akan merasakan hal yang sesakit ini. Tapi, tidak apa-apa. Aku masih dapat berjuang untuk mendapatkan Andre walau ku tau Andre tak mengenalku. Mungkin ia juga tak mau berkenalan denganku. Atau mungkin juga ia sudah memiliki kekasih di luar sana sehingga ia menolak surat dariku. Aku tak tahu pasti alasan apa yang membuat ia tak mau membacanya.
***
Bersambung...
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.