"O-oh ayahnya Nadia. Hehe," ujarku gugup dan berpura-pura senang bertemu dengannya. Aslinya, aku sangat kesal karena orang ini ikut campur.
"Sa-saya enggak ngajarin Nadia balapan om. Awalnya saya gak tau ka-"
"Alasan. Kau kira saya tidak tau hah? Setiap Nadia keluar rumah, bodyguard saya selalu mengikutinya secara diam-diam. Dia melaporkan bahwa kau sudah mengajaknya untuk balapan," ucapnya. Seakan tersambar petir, tubuhku seketika bergemetar. Jantungku berdegup dengan cepat dan tubuhku kaku. Bahkan mulutku pun sepertinya enggan untuk berbicara. Rasanya seperti ada yang menahannya.
"Bu-bukan seperti itu, om. Say-"
"Saya tidak perlu alasan apapun. Jika kau ingin selamat dari polisi, jauhi anak saya dan ubah kembali dia seperti dulu. Saya tidak suka dia berpakaian seperti itu. Seperti jalang saja."
Mendengar ucapannya itu membuat aku diam menunduk.
"PUTUSKAN DIA!" Bentaknya membuatku terkejut. Lalu ia kembali melanjutkan ucapannya, "Lupakan dia dan jauhi dia."
"Tapi om aku mencintai anak om lebih dari apapun. Aku ak-"
"Apa? Kau akan apa? Menjaganya sepenuh hatimu, hm? Kau sama saja seperti seorang bajingan. Ku bilang, jika kau ingin selamat, maka jauhi dia, lupakan dia, dan putuskan hubunganmu dengannya. Pikirkan pilihanmu, Alva. Aku akan menunggumu besok. Jika kau tidak bisa merubah anakku seperti semula, maka aku akan mempenjarakanmu. Camkan itu!" ancamnya, lalu pergi begitu saja. Aku terduduk di trotoar jalanan. Apa maksud dari semua ini? Apakah aku tak dapat restu dari orang tuanya hanya karena aku telah mengajak anak mereka untuk balapan? Cih, tentu saja. Aku ini bodoh. Seharusnya aku tak menjerumuskan anak orang untuk menjadi sepertiku. Baiklah. Aku akan memutuskannya demi kebaikanku dan demi kebaikan Nadia, aku akan mengubah Nadia seperti dulu lagi dan setelah itu meninggalkannya.
Setelah balapan selesai, aku mengantarkan Nadia pulang. Tapi di perjalanan, aku sengaja memberhentikan mobilku. Aku harus memberitau Nadia secepat mungkin sebelum besok aku masuk penjara. Ya, siapa tau.
"Nadia. Aku mohon kamu berhenti balapan," ucapku tanpa menatapnya.
"Kenapa?"
"Ya, aku gak suka aja kamu kayak gitu. Ditambah cara pakaian kamu, aku gak suka banget. Udah kayak jalang!" jawabku asal. Aku tak dapat melihat ekspresinya, aku tak sanggup. Aku tidak ingin melihat wajahnya sedihnya.
"Oke. Aku akan kembali kayak Nadia dulu. Tapi apa kamu gak akan malu kalau pacaran sama aku?" tanyanya. Aku menggeleng.
"Gak. Aku malahan suka kamu yang dulu," jawabku. Aku pun menoleh dan menatapnya. Ia tersenyum padaku begitu manis.
"Dan kamu janji kan mau berhenti balapan?" tanyaku.
"Tapi kamu juga harus berhenti balapan. Kalau kamu berhenti, aku juga akan berhenti."
Sial, hal seperti inilah yang membuatku kesulitan untuk memilih. Bagiku balapan adalah hobiku. Jika aku tidak balapan maka aku tak akan mendapatkan kesenangan. Tapi, ah sudahlah. Lebih baik aku berhenti balapan daripada aku harus masuk penjara.
"Ya, aku juga akan berhenti!" kataku meyakinakannya. Lalu Nadia pun memelukku dengan senang. Aku membalas pelukannya.
"Dan kita akhiri hubungan ini!" bisikku. Aku merasa bahwa pelukan Nadia mulai melonggar. Aku pun melepaskan pelukanku dan menatap Nadia. Ekspresinya sangat-sangat terkejut. Ia menatapku dengan tatapan tak percaya.
"Ke-kenapa?" tanyanya dengan nada suara yang bergetar. Aku terdiam. Ya, entah mengapa hatiku rasanya sangat sakit. Tanganku pun sedikit bergemetar. Sial, sial, sial. Kenapa hatiku menjadi sangat sakit seperti ini? Kenapa? Rasanya seperti ada yang menusuk hatiku. Aku kembali mengangkat kepalaku dan menatap Nadia yang sudah meneteskan air mata.
"Kamu bisa jelasin kenapa kamu pengen kita putus?" Aku kembali memejamkan mataku dan kembali menghela nafas setelah mendengar pertanyaannya itu.
"Gue gak suka sama loe dan gue hanya berpura-pura cinta sama loe. Sebenernya gue cuma memanfaatkan loe agar gue dapet mobil dalam balapan itu. Puas?" balasku. Maafkan aku, Nadia. Aku terpaksa berbohong. Jujur saja, aku benar-benar mencintai dirinya. Aku tidak berbohong. Aku sangat mencintainya. Jika aku tidak mencintainya, mana mungkin hatiku merasakan rasa sakit yang teramat ini.
"Sebenernya gue nyuruh loe buat balapan adalah agar gue dapet mobil. Cuma itu," kataku. Lalu aku pun mencoba untuk memasang wajah menyeringaiku.
"Nah, sekarang kita putus ya? Silahkan loe keluar. Gue mau jemput pacar gue. Oh ya, makasih buat kerja kerasnya buat dapetin mobil-mobil itu." Ku lihat ia hanya dapat menatapku tanpa bersuara.
"Bohong!" ucapnya dengan suara yang bergetar. Ia tampak tak mempercayai ucapanku tadi.
"Bohong apanya? Gue serius. Gue pengen putus sama loe."
"Kamu bohong, Alva!"
"Terserah loe! Sekarang pergi sana, gue udah gak butuh loe!" usiku, ia hanya diam sembari menatapku dengan wajah sedih. Tiba-tiba saja ia memelukku. Aku cukup terkejut. Sialan, anak ini malah membuat hatiku semakin sakit. Aku semakin sulit untuk melepaskannya.
"Ayah tau segalanya kan? Dia menyuruh kamu untuk putus sama aku kan karena balapan itu?"
DEG
Sial. Ia malah mengetahui hal itu. Bagaimana ini?
"Cih, apaan sih? Jangan so-"
"Aku tau. Tadi aku melihatnya."
Aku terdiam. Rasanya tubuhku begitu lemas. Ternyata ia sudah mengetahui hal itu, lalu apa yang harus ku lakukan sekarang? Jika aku tidak putus dengannya, maka aku akan dipenjara oleh ayahnya. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku, aku juga tidak ingin membuat kedua orang tuaku kecewa.
"Aku ngerti gimana perasaan kamu, Alva. Kalau semua ini demi kebaikan kita. Aku rela putus sama kamu," ucap Nadia. Aku melepaskan pelukanku dan langsung menatapnya. Ia berbicara semudah itu?
"Jangan salah paham dulu. Aku putus sama kamu bukan berarti aku berpaling. Aku masih mencintaimu lebih dari apapun dan aku gak mau kamu dipenjara. Maka dari itu kita harus ambil langkah yang terbaik," lanjutnya. Aku hanya mengangguk pelan. Aku sudah tak dapat mencerna kata-kata Nadia lagi. Kepalaku sudah tidak bisa berpikir. Aku sudah benar-benar pasrah. Saat ini yang bisa ku lakukan hanyalah menggenggam tangan Nadia untuk terakhir kalinya. Sungguh menyakitkan, tapi mau bagaimana lagi? Semua ini demi kebaikan kami berdua.
Cinta tak direstui, mungkin itu yang tengah kami hadapi. Ayah Nadia tidak membiarkanku menjalin hubungan dengan putrinya, ia tau bahwa aku telah membuat putrinya menjadi anak yang tidak benar. Ya, semua ini memang salahku. Seharusnya aku tidak mengajak Nadia untuk balapan, seharusnya aku melarang Nadia bergaul dengan teman-temanku dan seharusnya aku tidak bertemu Nadia. Jika hal itu tidak terjadi, mungkin kini aku dan Nadia tengah berkencan di suatu tempat. Sayangnya hal tersebut tidak akan pernah terjadi, kesalahan yang ku buat sudah fatal dan tidak bisa diperbaiki lagi. Jika aku memohon kepada ayah Nadia, mungkin akan terasa percuma. Jawaban yang ayah Nadia berikan waktu itu sudah membuktikan bahwa ia tak mengizinkanku bersama dengan putrinya. Semua itu sudah jelas dimataku. Jika memang begitu, kini aku memutuskan bahwa aku akan melupakan Nadia untuk selamanya.
***
Bersambung...
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.