Point of View On
Keadaan tubuhnya yang semakin mengkhawatirkan membuat Revi mencemaskanku. Ia membawa aku ke UKS dan guru kesehatan segera memeriksaku, ia bilang bahwa keadaanku sudah sangat parah. Aku harus segera berobat ke rumah sakit, namun aku tak ingin pergi ke sana, aku sudah bosan mencium bau obat-obatan. Namun dengan terpaksa, guru kesehatan memberi tahukan hal ini kepada Temmy yang berada di luar ruang UKS. Suara mereka terdengar jelas hingga ke dalam ruangan ini. Apa yang mereka ucapkan dapat aku dengar.
Aku dibawa ke rumah sakit oleh Temmy, Kak Afdhal dan Revi. Di dalam mobil, Revi seperti berbicara padaku. Tapi aku tidak mendengarnya begitu jelas. Ada apa dengan telingaku ini? Apakah penyakit ini sudah menyebar hingga telingaku? Oh Tuhan ku mohon jangan biarkan penyakit ini terus menggerogoti tubuhku. Sesampainya di rumah sakit, Temmy membopongku, ia membawaku ke ruang UGD. Sangat terasa bau obat yang menyengat. Ya Tuhan aku sudah bosan dengan bau obat-obatan seperti ini. Aku ingin sembuh. Ku lihat seorang dokter memeriksa diriku. Tak lama ia menyuruh seorang suster menancapkan jarum infus di tangan kananku. Sudah bosan aku merasakan tusukan jarum seperti ini. Rasanya aku ingin menariknya dan ku tancapkan di tangan dokter itu.
Setelah jarum infus terpasang dengan benar, dokter itu memeriksaku lagi. Setelahnya, tanpa berbicara, ia pergi meninggalkanku. Ia pergi keluar. Ku lihat dari kaca, dokter itu berbicara dengan Temmy. Aku tidak tahu mereka membicarakan apa. Tapi menurutku, mereka membicarakanku karena Temmy terus menerus melihat ke arahku. 10 menit berlalu, sepertinya mereka sudah selesai bicara. Temmy pergi, ia tidak masuk ke ruang UGD ini. Kenapa ia tidak masuk ke ruang UGD ini? Apa dia tidak ingin mengetahui keadaanku? Apa dia tidak ingin menjumpaiku? Atau saja mungkin ia ada urusan yang tidak bisa ia tinggalkan. Ya sudahlah lupakan saja, aku tidak bisa berpikir terlalu keras. Kepalaku selalu sakit jika memikirkan suatu hal yang sangat ingin aku ketahui. Beberapa menit kemudian, para suster dan dokter menyuruhku untuk bersiap karena aku akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Separah apa sih penyakitku sampai aku harus dirawat? Aku pun bertanya kepada dokter, tapi dokter hanya menjawab aku akan baik-baik saja. Aku hanya diam dan menuruti kemauan para suster dan dokter itu.
Setelah beberapa alat medis terlepas dari tubuhku dan hanya tertinggal infusan, ranjang tempat aku berbaring saat ini perlahan di dorong oleh beberapa suster. Keluar dari ruang UGD, sekilas aku melihat Ayah dan Ibuku. Mereka ada bersama Temmy dan mungkin temannya Temmy. Dan aku pun melihat Revi yang berlari ke arahku, tiba-tiba saja ia memelukku dan menangis. Kenapa dia? Apa dia mengkhawatirkan keadaanku? Atau dia sudah tahu penyakitku? Astaga jangan sampai Revi tau penyakitku ini. Aku tak ingin melihat ia menangis seperti ini. Aku tidak tega melihatnya. Tiba-tiba saja seorang suster memotong pembicaraanku dengan Revi dan aku pun segera di bawa ke ruang rawat inapku. Aku tidak melihat raut wajah Revi saat aku sudah dibawa oleh beberapa suster itu.
Aku dibawa ke lantai empat. Ku lihat di sana ada beberapa orang yang mungkin sedang menjenguk kerabatnya. Aku ditempatkan di sebuah kamar yang berada di ujung lorong lantai 4. Ketika seorang suster mulai membuka pintu kamar itu, lagi-lagi tercium bau obat-obatan yang sangat menyengat. Penciumanku mulai terganggu dengan bau obat-obatan itu. Perlahan mereka membawaku masuk dan memindahkan tubuhku ke ranjang yang lebih besar dari sebelumnya. Kembali lagi alat-alat medis dipasangkan di sekujur tubuhku, namun kali ini lebih banyak daripada sebelumnya. Ah rasa-rasanya alat-alat ini akan menjadi temanku selama di rumah keduaku ini. Sebenarnya aku sangat enggan untuk menyebut tempat ini sebagai rumah kedua, aku lebih suka jika tempat ini kupanggil rumah terkutuk. Aku benar-benar sudah bosan dengan bau obatan-obatan dan melihat benda-benda berbentuk aneh yang terus menerus dipasangkan di tubuhku. Karena benda-benda ini, aku jadi susah untuk menggerakkan tubuhku.
Tanpa aku sadari Temmy dan temannya juga Revi bersama mereka tengah berdiri di ambang pintu ruang inapku ini. Mereka hanya memperhatikan para suster yang tengah memasang alat-alat medis ini di tubuhku. Setelah semua alat terpasang, barulah mereka masuk ke ruang ini dan mendekati ranjang yang ku tiduri ini. Aku melihat Revi yang masih menangis.
"Udah jangan nangis," ucapku pelan. Sunngguh, aku tak tahan melihatnya menangis seperti itu. Ingin aku menghapus air matanya, namun tak mungkin, kedua tanganku sangat kaku. Entah apa yang terjadi, rasanya sedikit sulit untuk menggerakannya.
"Gimana gue gak nangis liat keadaan lo yang kayak gini? Lo tuh sahabat paling kejam tau gak? Lo punya penyakit separah ini dan lo gak bilang sama gue. Gue ini dianggap apa sama lo?" tanya Revi dalam tangisnya. Ia menangis begitu keras dan isakannya terdengar jelas kemana-mana.
"Ya ampun Vi, gue cuma gak mau kalau lo…."
"Halah bilang aja lo emang gak anggap gue sahabat lo. Lo emang jahat Imel!" marah Revi dan pergi meninggalkan ruang inapku. Aku menatap kepergiaan Revi dengan sedih. Temmy dan Afdhal yang melihat kejadian itu hanya saling perpandangan saja. Keadaan pun menjadi hening. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Ingin rasanya aku mengejar Revi dan meminta maaf padanya, namun apalah dayaku yang sudah tak bisa bergerak ini. Seluruh tubuhku kaku karena benda-benda medis ini. Ingin sekali aku mencabut semua ini, tapi aku takut jika keadaanku yang sudah lemah ini semakin bertambah lemah. Aku tak ingin itu terjadi. Sungguh, aku sudah tak kuat lagi.
Sudah sejak lama aku ingin memberitahukan penyakitku kepada Revi, namun aku masih bimbang dan ragu. Aku sangat takut ia terlalu mencemaskanku. Aku tak ingin ia melewatkan masa mudanya demi merawatku yang penyakitan ini. Aku tahu, ia sangat menyayangiku dan begitupun aku sangat menyayanginya. Aku juga tahu ia tak ingin aku terlihat lemah seperti ini, aku pun tak ingin memperlihatkan kelemahanku di depannya. Namun aku tak bisa berbuat banyak ketika penyakitku ini kambuh. Aku sudah tak bisa menutupi penyakit ini dari Revi. Saat ini ia sangat marah kepadaku, namun aku yakin ia akan kembali dan menemaniku di rumah sakit ini. Aku berjanji, setelah ia kembali aku akan menceritakan apa yang aku rasakan dengan penyakitku ini. Aku akan membiarkan dia merawatku, aku tahu dia adalah wanita yang sangat menyayangiku, bahkan rasa sayangnya melebihi rasa sayang orang tuaku. Mungkin, hehe.
Point of View Off
***
Bersambung...
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.