Apakah kalian pernah merasakan kesepian di dalam keramaian? Jika jawabannya ya, kalian adalah orang yang sama sepertiku. Ya, aku ini adalah seorang gadis yang selalu kesepian. Aku selalu sendiri dan sering sekali menyendiri. Bukannya aku tak mau mencari teman, hanya saja aku ini tidak terlalu suka kebisingan dan sangat sulit untuk bersosialisasi. Teman-teman sekelasku sering sekali membicarakan hal yang tak penting dan membuatku risih dengan hal itu. Apalagi, mereka sering berteriak dan membuat kupingku sakit. Ingin rasanya aku membunuh mereka, namun mereka tak bersalah. Sampai saat ini, aku hanya bisa berdiam diri disudut ruang kelasku dan memperhatikan mereka semua.
Tiba-tiba saja mataku tertuju pada seorang gadis bernama Agnez. Ia terlihat tengah memaksa temannya untuk meminjamkannya buku tugas. Nampaknya Agnez belum mengerjakan tugas sekolah yang sudah diberikan guru. Ia begitu memaksa temannya untuk memberikan bukunya. Agnez terus membentak temannya itu. Dengan terpaksa, ia memberikan buku tugasnya kepada Agnez. Agnez terlihat senang, lalu ia pergi meninggalkan temannya.
Perlakuan Agnez yang semena-mena itu membuatku kesal. Apakah ia tidak bisa meminjam buku temannya itu dengan cara yang lebih baik? Ah, sudahlah. Itu urusan mereka. Aku tidak ingin ikut campur dan tidak ingin terlibat bersama mereka. Namun, kenapa setiap kali Agnez melakukan hal itu, aku selalu kesal dan ingin menegurnya? Apakah mungkin aku terbawa dengan ketakutan dan kesedihan yang dirasakan oleh orang yang telah dibentak oleh Agnez? Apa aku harus menegurnya dan menyuruhnya untuk berhenti membentaki temannya? Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.
Rasa tak tega terus menyelimutiku. Bukan hanya Agnez saja yang melakukan hal itu, teman-teman sekelasku yang lain pun hampir menyerupai Agnez. Namun sikap mereka tak sama seperti Agnez, mereka malah lebih kejam dari Agnez. Mereka membully dan memalaki orang-orang lemah sepertiku. Pernah suatu hari saat jam pelajaran berlangsung dan kebetulan hari itu sedang tak ada guru, seorang lelaki yang berteman dengan Agnez mendatangiku dan memalakiku. Awalnya aku diam dan menghiraukannya. Namun, karena ia terus meminta-minta uangku, aku pun memberikan sedikit uangku untuknya. Mungkin saja saat itu ekonomi keluarganya sedang berkurang. Tapi lama kelamaan, mereka terus memalakiku dan semakin lama malah semakin menjadi. Mereka meminta uang lebih besar dari yang biasa aku berikan.
"Dinda, mana uangnya?" pinta lelaki bernama Kelvin itu. Aku pun memberikan sedikit uangku.
"Apaan nih? Masa cuma segini? Gue minta yang lebih banyak lagi, Din!"
"Cuma itu yang aku punya," kataku berbohong.
"Jangan bohong, Din. Lo kan anak orang kaya, masa cuma uang sedikit aja gak punya."
"Harusnya kamu bersyukur aku bisa ngasih kamu uang, kalau nggak, kamu mau makan apa? Aku tahu kok, keluarga kamu lagi kekurangan ekonomi kan? Makanya kamu minta sana sini," balasku tanpa ragu. Kulihat raut wajahnya mulai kesal. Nampaknya ia tak menerima apa yang tadi kuucapkan.
"Gak usah marah, Vin. Emang kenyataannya begitu kan?" tanyaku. Ia terlihat semakin marah. Raut wajahnya begitu jelas terlihat jika saat ini ia tengah menahan amarahnya.
"Tau apa lo tentang gue?" tanyanya.
"Hhhmm, nama kamu Kelvin dan keluarga kamu kekurangan ekonomi. Iya kan?" jawabku apa adanya. Ia malah terlihat semakin kesal setelah mendengar jawabanku. Mengapa ia marah? Apa jawaban dan ucapanku salah?
"Sini lo!" Tiba-tiba saja ia menarik kerah bajuku dan mendorongku begitu keras hingga aku terjatuh ke lantai. Semua orang memandang kami, mereka terlihat heran dengan kejadian ini.
"Apaan sih ih!" Aku pun mencoba untuk berdiri. Namun, Kelvin malah mendorongku dan membuatku terjatuh untuk kedua kalinya. Aku pun mulai terbawa suasana, perlakuannya itu membuatku kesal.
"Maksud kamu apa?" tanyaku dengan sedikit membentak.
"Ada apa ini?" tanya Agnez yang tiba-tiba saja datang.
"Dia ngehina gue!" jawab Kelvin sembari menunjukku.
"Lo berani ngehina temen gue?" tanya Agnez kepadaku. Aku pun mulai bingung. Menghina? Siapa yang menghinanya? Aku kan hanya berbicara dengan apa yang ku lihat.
"Asal lo tau ya? Orangtua dia ini kerja di luar negeri dan gajinya lebih besar dari gaji orang tua lo. Jadi lo gak usah deh ngehina-hina dia, dasar bocah culun!" hina Agnez. Aku sedikit terkejut dengan ucapannya. Apa iya orang tua Kelvin bekerja di luar negeri? Tapi mengapa ia terus memalaki seluruh anak di kelas ini? Karena takut, aku pun hanya bisa terdiam dan tertunduk menatap lantai yang kupijak. Tiba-tiba saja, Agnez mendorongku hingga punggungku menyentuh tembok dan Agnez juga mencengkeram daguku.
"Kalau orang ngomong, jawab, jangan diam aja!" bentaknya tepat di depan wajahku. Aku melirik ke arah kiri dan kanan, semua orang menatap kami. Mereka terlihat tengah berbisik-bisik. Aku merasa, saat ini mereka tengah membicarakanku. Aku masih terdiam dan tak berani untuk menjawab pertanyaan Agnez.
"Kalau lo ngehina teman gue lagi, habis lo!" ancamnya dan ia pun pergi bersama teman-temannya. Aku masih terdiam dan menunduk takut. Ingin sekali aku melawannya, namun ketakutanku sangatlah besar. Aku takut jika aku melawannya, hal ini akan berlanjut hingga ke ruang guru. Aku tak mau itu terjadi.
Aku memutuskan untuk pergi dari kelasku dan berdiam diri di kantin. Aku tak perduli dengan tatapan sinis teman-teman sekelasku itu. Tak ada satupun dari mereka yang menolongku. Mereka benar-benar tak perduli dengan keadaanku tadi, mereka hanya asik menontoni. Aku benar-benar tak menyangka akan satu kelas dengan anak-anak yang seperti mereka.
Keesokan harinya, ketika aku sedang berjalan di koridor sekolah, lagi-lagi Kelvin mendatangiku dan memalakiku. Aku menolak dan mengatakan hal yang sama kepadanya seperti yang kemarin aku katakan, ia kembali marah dan mendorongku. Namun kali ini dorongannya lebih keras hingga kepalaku terbentur ke dinding sekolah. Aku merasakan sakit kepala yang luar biasa, aku memegangi kepalaku dan tanganku memegang sesuatu yang basah di sekitar rambutku. Saat aku melihat tanganku, darah segar menempel di sana. Astaga, kepalaku berdarah, kepalaku pun mulai terasa pusing, pandanganku mulai tak jelas dan aku pun tak sadarkan diri.
Perlahan aku mendengar suara beberapa orang yang terus memanggil-manggil namaku, aku mulai membuka mataku dengan sangat perlahan. Aku melihat beberapa orang tengah menatapku sembari terus menyebut namaku. Aku juga melihat air mata mereka yang terus mengalir dari kelopak mata mereka. Mereka adalah keluarga besarku. Ada apa ini? Kenapa mereka menangis? Aku pun langsung membuka mataku dengan lebar. Mereka semua masih menangis dan menatapku.
"Kalian kenapa?" tanyaku dengan suara parau. Mereka diam, tak ada yang menjawab pertanyaanku. Aku pun mencoba untuk terduduk di ranjang ini. Ah, aku baru tersadar jika saat ini aku tengah berada di rumah sakit. Alat-alat medis begitu jelas terlihat berada di sebelah kanan dan kiri ranjang ini. Namun mengapa aku tak bisa mencium bau obat-obatan? Apa hidungku ini sedang bermasalah? Ah entahlah.
"Ada apa sih?" tanyaku lagi. Mereka tak menjawab pertanyaan keduaku dan mereka terus menangis. Mereka itu kenapa? Kenapa mereka menangis? Kenapa mereka tak menjawab pertanyaanku? Apa ada yang salah dari diriku? Ibuku yang sedari tadi berada di sebelahku begitu terlihat terpukul. Tangisannya membuatku ingin ikut menangis. Perlahan aku mengangkat tanganku untuk memegang pipi ibu, namun aku sangat terkejut saat tanganku ini tak bisa memegang pipinya. Ada apa ini, Tuhan? Mengapa aku tak bisa memegang ibu? Aku terus mencoba untuk memegang ibu, namun tanganku benar-benar tak bisa menyentuh tubuhnya.
Aku pun memutuskan untuk turun dari ranjang dan aku terperanjat kaget saat melihat tubuhku yang begitu pucat di atas ranjang yang baru saja ku tiduri. Dan yang lebih membuatku terkejut lagi adalah kepalaku yang tak tertutupi oleh rambut. Yaa kepalaku botak dan terlihat jelas bekas jahitan di sana. Apa aku sudah mati? Apa aku hanya bermimpi? Tuhan tolong sadarkan aku. Tolong beri aku petunjuk. Tanpa aku sadari, seorang lelaki sedang berdiri di ambang pintu ruangan ini. Ia menatap sedih tubuhku yang terbujur kaku di atas ranjang. Astaga, aku baru teringat, dia adalah Kelvin. Dia yang mendorongku hingga aku kepala terbentur keras dan kepalaku mengeluarkan banyak darah. Dia yang telah membuatku seperti ini. Yaa, aku sadar, aku memang sudah tak bernafas lagi. Aku sudah mati.
SELESAI!!!
***
[ CERITA INI HANYA FIKSI BELAKA. JIKA ADA KESAMAAN TOKOH, TEMPAT, KEJADIAN ATAU CERITA, ITU ADALAH KEBETULAN SEMATA DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN ]
Please, jangan lupa vote & comment. Karena vote & comment anda semua berarti untuk saya.