"Oh iya, ngomong-ngomong … apa hari ini kamu dan Kak Vino jadi pergi menemui mendiang ayahmu?" tanya Radi.
"Jadi. Aku sudah mengatakannya tadi pagi dan Vino membalasnya 'Ok'. Jadi nanti aku langsung pergi saja ke sana dan bertemu dengannya di sana," jawab Lea.
"Baguslah, aku harap ia menepati janjinya."
"Pasti dong. Vino bukan tipe orang yang suka ingkar."
***
Radi terbangun dari tidur siangnya. Ia melihat cuaca di luar sangat terik dan membuatnya enggan keluar dari kamarnya yang sejuk karena AC. Namun rasa haus yang melanda membuatnya memilih untuk keluar kamar dan berencana mengambil botol minuman yang akan ia isi dengan es batu.
Saat kakinya baru saja melangkah keluar dari kamarnya, ia melihat Vino yang hendak masuk ke kamar, seperti baru saja pulang.
"Sudah perginya?" tanya Radi.
"Pergi? Pergi kemana?" tanya Vino. "Aku lelah sekali. Aku ingin tidur dan bangunkan saat makan malam, ya!"
Blam!
Pintu kamar Vino ditutup dan Radi segera menghampiri kamar Vino, mengetuk dan meneriaki Vino.
"Kak, kamu memiliki janji dengan Lea, bukan? Kak … Kak Vino!"
"…."
Radi tidak mendapatkan balasan apapun dari Vino. Dengan menahan rasa kesal dan panik, Radi memilih untuk kembali ke kamar, bukan untuk melanjutkan tidur siangnya, melainkan mengambil kunci mobil dan menyambar jaket miliknya. Ia pergi dari rumah untuk menemui Lea yang kemungkinan masih berada di kuburan saat ini.
Perasaan tidak enak yang Radi rasakan sejak tadi pagi ternyata membawa pertanda kalau Lea dan Vino tidak benar-benar bertemu hari ini.
"Vino sialan! Dia jadi membuatku panik seperti ini!" gerutunya sembari menyetir, dimana kini ia sedang dalam perjalanan menuju ke area pemakaman umum, dimana ayah Lea disemayamkan di sana.
Mobil Radi menepi di area parkirnya dan ia segera masuk ke area pemakaman tersebut, mencari blok kuburan ayah Lea dan bergegas menuju ke sana.
Benar saja, terlihat seseorang yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya dengan tas ransel di punggung yang sudah tak asing lagi baginya.
"LEA!" seru Radi ketika melihat tubuh Lea yang hampir terjengkang ke arah belakang.
Tubuh Radi menutupi wajah Lea dari teriknya sinar matahari yang membuat Lea silau. Lea membuka matanya dan mengerjap. Ia tersenyum.
"Radi …," gumam Lea.
Radi membantu Lea untuk kembali duduk dan ia menyandarkan Lea pada dadanya, menopang dengan memberinya pelukan.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Radi.
Lea mengangguk, tangannya meraih kepala Radi dan mengusapnya pelan.
"Terima kasih, calon adik ipar," ucap Lea, ia masih sempat bercanda.
"Ayo kita selesaikan ini semua dan pulang," pinta Radi.
"Calon suamiku—"
"Aku akan menggantikannya. Anggap saja aku adalah Vino," sela Radi, tidak ingin membuat Lea kecewa lagi karena keinginan terakhir sebelum ia menikah tidak dapa terpenuhi.
Lea mengangguk, meski sebenarnya ragu.
Lea menegakkan posisi duduknya dan mengusap pelan nisan milik sang ayah.
"Ayah, Lea kembali datang. Masih bersama Radi, teman baru Lea. Tapi kali ini Radi datang bukan untuk Lea perkenalkan sebagai teman, tetapi sebagai calon suami Lea, sekaligus meminta izin dan restu kepada ayah," tutur Lea memulainya.
Radi memandang sendu Lea yang kini terlihat sedang tersenyum. Rasanya Lea seperti sangat tulus mengatakan hal tersebut.
"Ayah," ucap Radi, seperti menyapa.
Lea menoleh dan kemudian tersenyum.
"Maaf sudah membuat anakmu menunggu lama di bawah terik matahari seperti ini. Maaf karena telah mengecewakan kalian di hari ini. Tapi kedatangan saya kali ini, ingin meminta izin dan restu dengan tulus. Bahwasanya saya mencintai Lea dan ingin meminangnya. Izinkan sayang untuk menjaga Lea dengan segena kemampuan dan sepenuh hati. Janji dalam hati maupun lisan, saya akan berusaha untuk tidak pernah membuat kecewa dan menyakiti Lea."
Deg
Seperti ada kilat yang menyambar Lea. Rasa haru tak mampu dibendungnya. Air mata yang sudah mengumpul dipelupuk matanya mulai berjatuhan.
'Meminta restu padanya yang tidak akan memberikan jawaban adalah hal yang sangat luar biasa. Kamu melakukannya dan membuatku seperti jatuh pada lubang yang dipenuhi oleh cinta dan kasih sayang, karena merasakan tulus atas apa yang telah kamu katakan,' batin Lea, ia kagum pada sahabatnya itu.
Radi menoleh pada Lea dan tersenyum. Tangan Radi menyentuh pipi Lea dan mengusapnya dengan sangat lembut. Seperti ada magnet yang berbeda kubu, perlahan keduanya mendekat hingga jarak di antaranya menjadi sangat dekat.
Mata yang semula menatap kini dipejamkan oleh keduanya. Perasaan mereka menyatu tatkala bibir Lea dan Radi telah bersentuhan, menjadi sebuah ciuman pertama bagi keduanya.
Tiba-tiba saja Lea membuka matanya dengan sangat lebar dan mendorong dada Radi.
"Kita ini apa-apaan?!" gerutunya bertanya pada dirinya sendiri.
"Lea—"
"Minta maaf!" perintah Lea.
"Lea—"
"Cepat minta maaf!"
"Aku minta maaf. Maafkan aku …."
***
Brak brak brak!!!
"Kak Vino!" seru Radi sembari menggebrak pintu kamar Vino agar segera dibuka oleh sang kakak.
"Kak—"
Cklek
"Ada apa kau ribut seperti ini, Radi?! Ini sudah malam dan aku sudah makan malam!" gerutu Vino yang tidak terima kalau adik tirinya itu mengganggu.
"Kenapa Kakak ingkar pada Lea?!" tanya Radi.
"Ingkar?"
"Pura-pura tidak tahu dan merasa bersalah?"
"Ingkar kenapa? Aku tidak salah apapun padanya!" elak Vino merasa tidak bersalah.
"Kakak memiliki janji untuk pergi ke kuburan ayah Lea, kan?" tanya Radi, mengingatkannya.
"Hah?! Astaga! Aku melupakannya!"
"Bajingan!"
"Kau bicara apa?"
"Minta maaf padanya sekarang juga!" perintah Radi.
"Radi, ini sudah malam dan—"
"Minta maaf!!!"
***
Saat Radi masih berada di kuburan bersama Lea ….
"Lea—"
"Cepat minta maaf!"
"Aku minta maaf. Maafkan aku …."
Lea melihat Radi dengan tatapan sendu. Kemudian bibirnya melengkung membentuk bulan sabit. Ia tersenyum pada Radi.
"Tidak marah lagi, kan?" tanya Radi khawatir.
"Bagaimana aku bisa marah padamu, yang sudah meminta restu pada ayahku untuk menikahiku," jawab Lea terkekeh.
"Kamu … hmmm, aku antar kamu pulang, ya …."
Lea tersenyum dan mengangguk.
Radi membantu Lea untuk berdiri, kemudian mereka jalan keluar dari area pemakaman tersebut dengan tangan yang saling bergandengan, lagi-lagi tanpa keduanya sadari kalau tangan mereka kini seolah enggan untuk dilepas. Hingga tiba mereka di mobil Radi dan Lea melepasnya begitu saja karena hendak masuk ke dalam mobil.
Radi yang menyadarinya melirik pada tangannya yang kini sudah tidak berada dalam genggaman tangan Lea. Ia tersenyum dan kemudian segera menyusul masuk ke dalam mobil, dibagian kemudi.
Radi bukan hanya sekadar mengantar Lea saja, ia juga memilih untuk tetap berada di rumah Lea karena Lesta yang memintanya untuk singgah, hingga malam dimana mereka melakukan makan malam bersama.