"Kakak masih boleh mengusap ini," ucap Lea, menggenggam tangan Ben yang masih berada di pipinya. "Ini," ucapnya kemudian memindahkan posisi tangan Ben pada kepalanya. "Dan juga ini," ucapnya lagi, kini ia menjepit ibu jari dan telunjuk Ben untuk mencubit hidungnya.
Ben terkekeh, ia menunduk, cukup lama. Membuat Lea heran dan melepaskan genggaman tangan Ben.
"Kak Ben?" panggil Lea.
Ben menengadah, melihat Lea kembali.
"Jika minggu depan Vino tidak bersedia menjadi suamimu, aku bersedia menjadi calon suami pengganti untukmu, Lea."
***
"Maaf sekali, tapi demamnya masih belum reda. Mungkin tidak bisa besok. Saya akan pastikan lusa Lea sudah baik-baik saja."
Lesta mengakhiri panggilannya. Perasaannya benar-benar khawatir. Keluarga Vino sepertinya kecewa karena Lea yang sakit karena tidak bisa menjaga kesehatannya dengan baik. Sudah tahu pernikahannya hanya tersisa beberapa hari lagi, ia malah membiarkan tubuhnya diguyur hujan.
Sementara itu, Ben yang juga sedang sakit memaksakan dirinya untuk tetap pergi ke kampus, melalukan perkuliahannya seperti biasa.
"Bukankah kamu demam?" tanya Cheryl, memegangi dahi Ben.
"Ada presentasi hari ini," jawab Ben, menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja.
"Hmmm, sepertinya sakitmu ini bukan karena kehujanan. Tapi karena kamu akan ditinggal nikah oleh Lea," ujar Cheryl mengejeknya.
"Ah, kamu ini … aku kecewa, sakit, terluka itu pasti. Tapi aku tidak bisa menahannya. Lea juga memiliki kehidupannya sendiri," balas Ben, menyangkal ucapan Cheryl.
"Tapi Lea tidak menyukai calon suaminya, bukan?"
"Siapa bilang? Calon suaminya itu Kak Vino, mahasiswa—"
"Kak Vino fakultas teknik?!" tanya Cheryl terlihat sangat terkejut.
"I—iya … sepertinya kamu tahu juga, ya?"
"Siapa yang tidak tahu Kak Vino, Ben … mahasiswa yang memiliki ketampanan paripurna dengan kekayaan sultan. Jadi Kak Vino itu calon suami Lea?!" tanya Cheryl memastikannya.
"I—iya …," jawab Ben ragu.
"Wajar saja jika Lea menerima pernikahannya dengan senang hati," ucap Cheryl, menepuk bahu Ben, seolah meminta Ben untuk tabah dan sabar.
"Huft … aku kecewa pada diriku sendiri," gumam Ben.
"Mengapa demikian?"
"Andai aku tidak menganggapnya sebagai adik selama ini. Mungkin saja aku yang akan menjadi suaminya kelak."
***
Lea sudah bersiap untuk pergi ke sekolah, meski masih terlihat pucat dan tubuhnya juga masih terasa lemas. Namun ini adalah hari terakhir Lea masuk sekolah, sebelum 3 hari lagi acara pernikahannya berlangsung. Lea pergi ke sekolah dengan bus kota, agar ia dapat duduk dengan relaks dan tidak terkena angin langsung. Selama dalam perjalanan Lea juga bisa tertidur agar saat tiba di sekolah ada sedikit energi yang terkumpul.
Setibanya Lea di kelas, ia melihat Ninda dan Radi yang duduk di masing-masing tempat mereka. Tidak biasanya mereka terpencar seperti itu.
"Tumben tidak mengganggu Radi pagi ini," ujar Lea menggoda Ninda.
"Bukan hanya aku dan Radi saja yang sedang tidak bergabung, yang lain juga sedang sibuk sendiri," ucap Ninda.
Lea menoleh ke seisi kelasnya, dimana teman-temannya yang lain juga sibuk sendiri dengan buku mereka. Lea yang tidak masuk sekolah kemarin, tidak tahu apa-apa, apa yang terjadi di kelas.
"Ada tugas yang diberikan oleh guru pengganti. Dia memberi pilihan, ingin tugas yang banyak tapi mudah atau yang sulit tapi sedikit. Kami serentak memilih tugas yang banyak tapi mudah, karena itu tidak akan membuat kami pusing memikirkan jawabannya," ujar Ninda menjelaskan apa yang terjadi di kelas selama Lea tidak masuk sekolah.
"Tapi … sepertinya kalian terlihat pusing," celetuk Lea.
"Bagaimana tidak pusing, tugas yang ia berikan jumlahnya ada 200, Lea," gerutu Ninda.
"Astaga … bagaimana denganku?" tanya Lea bingung dan panik sendiri.
"Kamu tidak perlu khawatir. Kamu kerjakan saja nomor 100-200, karena Radi sudah membantu menyelesaikan 100 soal pertama. Maaf, yaa … aku tidak bisa membantumu, tugasku saja masih kurang 50 lagi," tutur Ninda.
Lea menoleh pada Radi yang sedang sibuk menulis, mengerjakan tugas milik Lea. Lea tersenyum dan berjalan menghampiri Radi.
"Duduk dan kerjakan tugasmu, Lea," perintah Radi.
"Aku duduk bersamamu, ya," ucap Lea, memilih duduk satu meja dengan Radi. "Aku kerjakan dari nomor 100 saja, kan?"
Radi menoleh pada Lea. Menatapnya tanpa ekspresi.
"Lain kali, jangan buat aku khawatir, ya. Ayah bilang kamu sakit karena kehujanan, orang di rumah panik karena pernikahanmu sudah tinggal beberapa hari lagi," ujarnya membicarakan hal yang lain.
Lea tersenyum dan mengangguk. Lea segera mengeluarkan buku tugasnya dan ikut mengerjakan sisa bagiannya yang sudah dikerjakan oleh Radi.
***
Ninda memberikan sepiring siomay pesanan Lea, juga es teh manis yang menjadi minuman andalan Lea.
"Terima kasih, sahabatku …," ucap Lea langsung mengambi sendoknya untuk menyantap siomay tersebut.
"Sama-sama, Lea … oh iya, bagaimana keadaan Kak Ben? Apa dia sudah sembuh?" balas Ninda disertai pertanyaan lainnya.
"Masih sama sepertiku, itu karena Kak Ben sama sekali tidak bed rest. Kemarin ia memaksakan diri untuk tetap kuliah karena ada presentasi, jadi hari ini ia semakin parah sakitnya," jawab Lea, rautnya berubah sendu.
"Kak Ben itu seorang pria, ia pasti lebih cepat pulih darimu. Kamu tidak perlu khawatir," sahut Radi.
"Benar Radi bilang, kamu tidak perlu cemas, ya," timpal Ninda.
"Oh iya, ngomong-ngomong … apa hari ini kamu dan Kak Vino jadi pergi menemui mendiang ayahmu?" tanya Radi.
"Jadi. Aku sudah mengatakannya tadi pagi dan Vino membalasnya 'Ok'. Jadi nanti aku langsung pergi saja ke sana dan bertemu dengannya di sana," jawab Lea.
"Baguslah, aku harap ia menepati janjinya."
"Pasti dong. Vino bukan tipe orang yang suka ingkar."
***
Krik krik
Sudah hampir dua jam Lea duduk di tepi kuburan ayahnya, namun Vino tak kunjung datang. Ia coba untuk menghubunginya, namun tak ada jawaban dari Vino. Lea menekuk lututnya dan memeluk begitu erat. Ia menunduk, sebenarnya sudah tidak tahan menunggu di bawah terik matahari terlalu lama. Tubuhnya masih begitu lemas karena sakit.
Hiks
Terdengar isak Lea yang ditahannya sejak tadi. Ia terluka, jelas sangat kecewa. Vino yang ia banggakan dan ia percaya, nyatanya sama sekali tidak memberi kabar apapun kepadanya. Sementara ia sudah menunggu sejak dua jam lalu.
Lea menangis, ia kecewa. Namun tidak ada yang bisa ia perbuat selain menunggunya. Ingin pergi saja, rasanya sudah tak sanggup lagi. Lea sudah benar-benar sangat lemah dan ingin menjatuhkan tubuhnya untuk direbahkan. Kepalanya sakit lagi, sangat pusing. Ia merasakan hangat pada napasnya. Sepertinya Lea demam lagi. Tangannya yang semula mencengkram pelukan lututnya dengan erat, kini terlepas begitu saja. Tanpa ia sadar, tubuhnya terhempas ke belakang dan pandangan silau seketika menyambar.
"LEA!"