Langkah Ayu berjalan keluar kamar ku, kuhentikan segera. "Enak aja kamu!" bentakku padanya. Aku menarik tubuhnya yang kecil lalu menghempaskannya ke atas ranjang.
"Mbok Mu sudah pergi." kataku menanggalkan pakaian ku. "Main Yuk!" kataku lalu mendekatinya tubuhnya yang menyingkir karena terkejut. Dia tidak menyangka aku menghentikannya.
Ayu kuatir ibunya datang kembali. "Ayu takut si mbok, Wan!" ujarnya menutupi payudaranya menyilangkan kaki menghindari diriku menatapnya penuh nafsu.
Dia menundukan wajahnya memandangku penuh kuatir.
"Yu, kamu makin cantik disitu." kataku mendekapnya. Aku tahu dia pasti akan melawan, Ayu akan meronta-ronta menolak aku. Maka sambil mendekapnya yang kini merengkuh dengan tangan di dadanya, ku singkap kakinya yang terus berusaha merapat. Ku buka selangkangannya selebar yang dia bisa ikuti; lalu ku tahan dengan tanganku.
Tubuhnya bergetar-getar saat aku mulai membuka memeknya dengan mendorong kontolku masuk perlahan-lahan.
"Wan! Tolong Wan. Nanti Mbok datang." ujarnya penuh kecemasan tapi aku sudah tidak perduli. Aku masih mencoba masuk kedalam lubang kecilnya. Lubangnya seperti tertutup rapat menolak kehadiran penisku.
"Susah banget Yu!" kataku memilih turun ke selangkangannya untuk ku jilati. "Wan! wan! Jangan itu!" ujar menjemput kepala ku. "Wan!" jeritnya melepas perlawanan. menarik kepalaku membenamkan nya di pangkal pahanya yang semakin hangat.
Aku gemas sekali dengan memeknya yang dihiasi bulu-bulu tipis seperti ini, terasa sekali rapat terjepit daging yang tembem dan kusam. Anyir cenderung kecut, membuatku semakin liar melahapnya.
Botol-botol dan barang-barang diatas meja rias samping ranjang kami pun berjatuhan karena gerakan tubuh Ayu melenguh meronta tak kuasa bertahan.
Ayu terdengar terisak-isak merasakan jariku merekah-rekah bibir memeknya, mencari lubang untuk lidahku. Menghisap-hisap klitorisnya agar luluh pasrah anak ini memohon aku menggagahinya.
"Udah! Udah!" jerit Ayu kembali menolak-nolak pundakku, tetapi dia mendorong pinggulnya menyusul mulutku lalu menjerit keras tak lama setelah dia merenggang menarik-narik kepalaku.
"Sudah, basah loh, Yu", kataku menenangkannya kemudian membelai rambutnya sambil memandangnya penuh nafsu. Ayu ingin bangkit memelukku, tapi kutahan kedua tangannya.
"Wan! Sayang Ayu." bisiknya manja.
"Katanya takut?" tanyaku menggodanya.
Ayu menggelengkan kepalanya. Entah apa maksudnya.
"Ya Tuhan!" kataku menikmati anugerah kegadisan pembantu kecilku; perlahan-lahan masuklah penisku ke lubang perawannya.
Saat kurasakan kepala penisku masuk semakin hangat, Ayu menjerit memukul-mukul pundakku. "Sakit! Wan! Sakit! Tempik Ayu Sakit!" Tak ayal dia membuatku semakin keras mendorong pinggulku, mendesak tubuhnya semakin terpojok di sudut ranjang.
Ayu pasti sulit membayangkannya Hal ini. Tuannya yang selama ini hanya dia tonton bersama nyonyanya; sedang berusaha mengoyak tubuhnya. Ia hanya menggelengkan kepalanya dan menjerit kesakitan tak dapat bergerak dalam dekapanku.
Akhirnya aku berhasil melesakkan penisku masuk menemui dinding rahimnya. Badanku lebih besar dan kuat membuatnya tetap terbaring; pasrah menangis kesakitan.
"Sst! diam!" bisikku kemudian mengambil kakinya dan mendorongnya semakin terbuka. Dengan mengerang keenakan; kuayun pinggulku memperkosanya penuh tenaga, cepat dan kasar mendesaknya. Merusak lebih dalam.
"Duh Gusti!" jerit Ayu mengadah pasrah menatap langit-langit. Urat-urat lehernya nampak seperti ikut menjepit penisku dalam di vaginanya.
"Sobek Wan! sobek!"" jeritnya saat aku mendorong-dorong terlalu dalam. "Tuan! Tuan!" jerit ayu memanggil-manggil, kemudian mendelik membisu, Lalu kembali berteriak kesakitan. "Udah! Sakit! Wan, sakit!" Wajah dan jeritan kesakitannya membuatku semakin gusar memperkosanya.
"Tuan jahat! jahat!" lalu kembali menangis.
Kepala penisku terasa perih tersayat membongkar keperawanannya tanpa rasa kasihan. Kakinya menendang-nendang udara, dan kepalanya mengguncang kesana-kemari.
Rasanya aku telah jadi binatang yang haus darah. Darah perawannya berdecak-decak mengalir dari keperawanannya mengotori ranjangku. Semakin membuatku jahat merabik-rabik tubuhnya.
"Jahat! Tuan jahat! kalau begini Ayu tidak mau!" rintihnya bersimbah air mata.
Tubuh ayu seperti melengkung karena pinggulnya terdorong ke atas mengimbangi siksaan kontolku, Ia tak mampu bergerak dari lutut hingga dadanya.
Dan aku pun ejakulasi terkulai lemas membiarkan spermaku menjurus ke mana-mana.
Lemas dengan nafasnya tak beraturan mengamati, wajah Ayu yang menangis tersakiti!
Dan, lagi, tiba-tiba pun. Terdengar pintu kamarku diketuk.
"Yu! Yu! kamu kenapa?" terdengar suara Mbok Yan memanggil Ayu..
"Wan, Ayu masih ada didalam?" tanya Mbok Yan dari balik pintu.
"Tidak mbok!" jawabku padanya. "Kenapa?"
"Ayu kemana ya, Wan? Udah malam gini loh?"
"Tak tahu!" jawabku sambil membekap mulut Ayu.
"Baiklah, Wan!" balas Mbok Yan kemudian meninggalkan pintu kamarku.
Ayu panik, tapi kutahan dia. "Tenang, Yu" lalu kuciumi wajahnya.
Ia membuang wajahnya, ia marah padaku. "Tuan tidak sayang Ayu!" ujarnya ketus. "Wan, udah ya! Ayu ndak mau lagi!" Ia mengeluh kaget dengan apa yang dia terima.
"Kamu gak suka?" tanyaku padanya. Ayu menggelengkan kepalanya cepat. "Tuan Jahat!"
"Oh Begitu?" kataku menghela nafas.
"Mbok! anakmu Mbok; ada disini!" aku berbisik seolah-olah memanggil Mbok Yan.
Ayu dengan tangan mungilnya balik segera menutup mulutku. "Jangan! tuan jangan gila ya!" Ujarnya mendelik padaku.
"Kamu itu, kalau keluar sekarang pasti Mbokmu tahu. Jadi disini aja dulu sama saya." kataku menenangkannya. "Nanti semua pasti beres."
"Sana Yu!" kataku menunjuk kamar mandi.
"Bersihkan tubuh mu. Biar bersih." pintaku mendorongnya ke kamar mandi. "Abis itu, jangan lupa ganti sprei ini. Ya!" ujarku diikuti anggukan kepalanya.
"Wan mau apain Ayu?" tanyanya ketakutan menjauhiku saat ku tepuk kembali pundaknya.
Ayu menggelengkan kepala dan menolakku; "Sakit! Tuan jahat!" keluhnya lagi.