Pikiranku tiba-tiba liar melihat Ayu dan Sari membersihkan kolam ikan di teras rumahku. Kedua pembantu remaja itu bercanda riang, dengan baju basah, sedang membersihkan lumut dari bebatuan.
Sari jongkok dengan celana melorot menampilkan dalamannya. Celana koyak berwarna hijau muda yang tak mampu menutupi celah pantatnya. Hitam dan kusam membuatku membayangkan lipatan vaginanya yang basah berlendir.
Ayu meledek puting susu Sari yang nyeplak karena basah, dan membangakan BH nya yang baru. Semakin diledek, semakin tertarik aku mengamati puting yang bulat mengeras di balik kaos basahnya.
Kedua anak ini mencuri tidak hanya perhatianku, tetapi juga birahiku kepada Sari.Tawa kedua anak ini renyah ditelingaku. "Gan!" sapa Sari, "Ayu minta es krim." candanya kepadaku..
"Boleh! kamu mau?" dan Sari pun tersenyum.
Aku mengambil Es Krim di kulkas lalu membagikannya kepada mereka berdua.
"Punya Ayu!" ujarnya menerima es krim kesukaannya. Es Krim ini biasanya keluar sebagai pertanda kalau aku menginginkan dirinya. Sama seperti sekarang juga. Semoga Sari tahu, apa maksudnya pemberian ini; bahwa aku ingin tubuhnya sebagaimana aku kepada Ayu.
Ayu keberatan dan melarangku membagikannya pada temannya. Ia menggerutu dan ketus terhadap Sari. hingga aku menegurnya. "Eh! rakus banget kamu ya?" Aku menguruinya untuk mau berbagi dan jangan memelihara sikap seperti yang dia tunjukan sore itu.
Sementara aku menasehati. Caranya Sari menjilat dan mengulum es krim sambil memperhatikan omonganku membuatku semakin menginginkan mulutnya di selangkanganku segera. Aku semakin tergoda padanya.
"Gan, terima kasih ya." ujarnya kembali. "Enak banget es krim ini."
Mereka bersenda gurau sampai menjelang malam, hingga kusuruh Mbok Yan membubarkan mereka dengan alasan sudah malam dan Sari perlu menjaga rumahnya malam ini.
Ada maksudku, membubarkan mereka tapi meleset pemikiranku.
Ternyata hari itu, Mbok Yan yang menjagai anakku. Dia telah memberikan waktu main bagi Ayu. Mbok Yan mulai membebaskan anaknya karena tahu anaknya menarik perhatian banyak pemuda di sekitar rumah kami. Sebagai orang tuanya, dia ingin Ayu segera menikah.
Siasatku ingin mendatangi rumah nyonya Wong yang kosong untuk menggoda Sari, pupus rasanya. Aku tak suka Ayu ada disitu, dia pasti menghalang-halangi mauku. Anak itu kesulitan berbagi untuk semua hal yang dia sukai, pembantu kecil ini seorang pencemburu dan kebaikanku malah memanjakannya.
Lupakanlah pembantu tetangga itu. Buat apa juga. Ini akhir minggu, istriku pasti punya rencana untuk esok hari. Aku memilih tidur sambil menunggunya mengumpulkan stamina untuk bercinta dengannya. Sudah lama dia tidak menikmatinya, besok pagi mungkin.
Sekitar jam 10 malam, istriku pulang dan membangunkan aku yang sudah terlelap.
"Lama sekali Pi?" tanyaku padanya. "Iya, banyak pasien belakangan ini." jawabnya bersalin. "Hari ini paling banyak koh."
Dia kemudian memintaku agar mencari Ayu, saat tahu Mbok Yan yang menjagai anakku. Ayu belum pulang dan istriku kuatir setelah mendengar cerita Mbok Yan. Kesal pun aku menurutinya keluar rumah mencari Ayu.
Aku tahu Ayu dimana, aku menyusulnya ke rumah Nyonya Wong.
"Wan!" terdengar suara ayu memanggil.
"Wan!" Ayu keluar dari rumah Nyonya Wong menyambut ku.
"Yu! kamu gimana sih? ini sudah jam berapa? Ayo pulang!" bentak ku padanya, menyuruhnya segera pulang.
"Iya, Wan! tapi ini Sari. Wan." Jawab nya kuatir.
"Kenapa dia?" tanya ku penasaran, ingin masuk ke rumah itu.
Untuk pertama kali juga aku masuk ke rumah Nyonya Wong. Di ruang tengahnya ada beberapa foto keluarganya terpampang. Janda tua ini punya kenangan rupanya.
Belum selesai aku mengamati, Ayu mengajakku masuk ke sebuah kamar dimana Sari berada. "Sari lagi aneh Wan. Ayu tidak berani!"
Aku mencium bau alkohol dari mulut Ayu. "Kalian ngapain tadi?" tanyaku mencari tahu. Ayu menunjukan aku beberapa botol minuman yang telah berisi setengah diatas meja. Dia dengan cemas menceritakan bahwa Sari tadi mengajaknya mencobai minuman-minuman itu.
"Dia Mabok ya?" tanyaku mengamati merek botol-botol minuman itu sembari memarahi kenakalan mereka. "Ini rumah orang loh, Yu!" marahku padanya "Bikin malu aja kamu."
"Maaf Wan, Ayu kan cuman pengen coba." balasnya lugu.
"Lalu dimana Sari?" tanyaku dijawabnya dengan mengajakku kembali ke kamar itu.
"Dia kenapa memangnya?" tanyaku padanya. Ayu tertunduk kemudian menjawab; "Sari nganu... Sari nganu..." Ia membuatku penasaran. "Kenapa?" bentakku padanya.
Rupanya kedua anak ini, sambil mencobai minuman keras milik nyonya Wong sambil bercerita-cerita mengenai enaknya bersengama. Ayu dengan polosnya bercerita bahwa Sari suka diajak berhubungan badan dengan tamu-tamu nyonya Linda. Dia tak menyebut siapa, tetapi bagaimana cara-caranya menikmati.
"Trus kamu juga balas cerita?" tanyaku penasaran. "Iya Wan!" jawabnya spontan.
"Ya, ampun Yu!" balasku menoyor kepalanya.
"Nggak Wan! nggak gitu." Ayu melanjutkan ceritanya bahwa bukan kali ini saja mereka membicarakan pengalaman seks mereka. Mereka sudah lama sekali berbagi cerita, dan itulah mengapa Ayu gemar menonton percintaan aku dan istriku agar dia bisa berbual menandingi pengalaman Sari seperti malam ini.
"Jadi kamu cerita kalau aku udah sama kamu?" tanyaku kembali. Ayu menggeleng cepat, dan terdiam takut salah menjawabku, "Bagus ya?!" balasku mengintimidasi.
"Maaf Wan." kata Ayu tertunduk. "Minum ginian lagi." ujarku semakin mengintimidasi.
"Wan, Jangan bilang-bilang ya!" pintahnya kemudian "Jangan nyonya dan mbok sampai tahu."
Aku jadi naik pitam dibuatnya, "Kurang ajar kamu Yu!" Bentakku membuat dia gemetar.
Jelas juga aku tak mungkin menceritakan semua ini pada orang lain, tapi mempermainkan perasan dan pikiran anak ini sangatlah menyenangkan.
Ayu membuatku tertarik dengan cerita-ceritanya. Penasaran aku, ingin segera masuk ke kamar dimana Sari berada. Ayu mengungkapkan bahwa sedari tadi Sari seperti terangsang gara-gara berbagi cerita dengannya.
"Kamu pasti cerita kan, kalau kita main." tanyaku memojokkannya, dan Ayu pun mengangguk akhirnya. "Jadi, sari sudah tahu ini?" tanyaku memastikan dan Ayu mengangguk sekali lagi.
"Hancur sudah!" ujarku membuatnya semakin cemas. "Mana Sari?"
"Wan jangan marah ya." balasnya manja penuh rasa bersalah.