Berawal dari tiga hari istriku tak dirumah kala itu. Aku berkesempatan berulang kali menggagahi Ayu pengasuh anak kami sepuas aku mau. Walau mengaku sakit dan takut, dia tak pernah lagi menolakku.
Ibunya; Mbok Yan juga jadi suka bercerita padaku mengenai pekerjaannya, masa lalunya, dan Ayu. Dia seperti menaruh banyak harapan dengan kehadiranku di keluarga Chang ini. Aku rupanya juga telah mengambil hati Mbok Yan, dia bahkan percaya dengan cerita yang ku karang mengenai hilangnya Ayu malam kemarin. Padahal aku yakin, bila Ayu dapat mendengar desah mesra istriku, maka Mbok Yan juga pasti mendengar jeritan kesakitan Ayu saat kurenggut keperawanannya. Ataukah Ibu ini membiarkan anaknya aku jadikan peliharaanku? Aku enggan membahasnya.
Mereka telah aku berikan banyak hal baik yang mereka tak pernah pikirkan; pakaian, jajanan, riasan, mainan dan yang pasti persenan yang banyak.
Ayu aku ajari banyak hal selain menikmati sengama tentunya. Aku mau dia juga jadi pandai, selain agar dapat mengimbangi caraku yang kebarat-baratan. Tak mungkin menyuruh Ayu terus menerus menurutiku bila dia tak tahu mengapa. Ya, Mungkin lebih cocok, mereka aku butakan daripada aku baikkan.
Caranya Ayu berpakaian, berdandan, dan merias wajahnya pun berubah. Dia pelan tapi pasti telah menjadi gadis kota. Hal mana yang membuat ibunya jadi lebih bangga, lantaran Ayu yang belia kini menarik banyak pegawai pribumi disekitar rumah kami. Tak jarang aku menemukan antrian pemuda mengajaknya keluar saat akhir minggu.
Tapi tidak cuman itu saja yang datang. Mbok Yan rupanya juga keliling kemana-mana mengabari semua orang mengenai baiknya kami, Entah disadarinya atau tidak, ceritanya banyak membuat aku menerima lebih banyak pergunjingan dari tuan dan nyonya mereka yang tinggal disekitar rumahku.
Menyebalkan memang. Apalagi untuk satu hal yang bagi mereka adalah kemewahan; Es Krim.
Ayu sangat menyukai Es Krim yang paling ternama di kota kami. Dia tergila-gila dengan coklatnya. Banyak, manis dan tebal. Banyak dari tetanggaku menganggapku berlebihan memberikan pembantuku jajanan semewah itu.
Bukan tanpa alasan juga aku berbuat begitu. Ayu sering memintaku membelikannya es krim kegemarannya, dengan imbalan dia akan melayaniku setelah istriku berangkat kerja. Pembantu kecil kami telah berubah menjadi pemuas nafsuku.
Ayu bahkan kini sudah bisa mengetahui bahwa aku baru saja bersama dengan wanita lain selain istriku. Dia mengaku bisa mencium bau wanita lain dari penis yang sering dia kulum. Dia hafal aroma memek istriku dan dia cemburu bila tahu kalau aku selingkuh dari istriku.
Dia tahu aku buaya, melebih istriku. "Mata Keranjang!" adalah julukan yang dia berikan padaku. Saat dia ngambek seperti itu, Es Krim kegemaranlah yang ku jadikan obat agar dia kembali mau padaku.
Pembantu-pembantu mereka tetangga kami main ke rumahku. Juragan Wei yang baik hati begitulah mereka tahu siapa aku. Banyak dari mereka yang masih remaja jika bertemu denganku terasa bagaikan pelacur diskon jelang pagi.
Ada-ada saja memang, dari yang minta agar saudaranya menjadi buruh di pabrik, sampai meminjam uang. Tidak semua aku turuti, hanya beberapa anak saja yang menarik perhatianku yang aku persilahkan menjadi dekat padaku, dan salah satu dari mereka adalah Pembantu Nyonya Linda Wong, Sari.
Nyonyanya sering tidak ada di rumah. Sudah hampir sebulan aku mengamatinya Sari ada di rumahku setiap aku pulang kerja.
Keadan ekonomi yang morat-marit kala itu membuat tidak banyak harapan untuk hidup. bagi remaja kampung seperti Ayu dan Sari yang buta huruf. Jangankan banyak keinginan, bermimpi saja mereka bahkan tak tahu caranya. Mereka mengandalkan orang seperti aku untuk memberikan apa yang jadi kesukaan mereka. Menjadi ayah yang baik hati bagi mereka.
Melihat si Ayu yang mau belajar, istriku pun mengajakku untuk menyekolahkannya. Dia ingin Ayu bisa membaca dan menulis, dan aku menyambutnya gembira. Aku senang sekali memiliki istri yang baik hati seperti Sofi. Harusnya kita menyayangkan pergunjingan tetangga kami? Istriku tak perduli itu.
"Kita hidup diantara orang-orang lama, Wei. Biarkan saja!" kata istriku menanggapi. "Aku kadang yo mikir, kenapa orang-orang itu ndak mati saja waktu perang dulu." katanya kesal.