Dia bersujud meminta pengampunan atas kesalahannya bahkan kesalahan Lou Och. Berharap pada seorang lelaki yang ia cintai untuk memberikan keringanan pada lelaki lain yang merebut hatinya. Dia rela merendahkan harga dirinya, untuk putranya.
*
Hari berganti. Kicauan burung di luar sana terdengar begitu menyegarkan pendengaran. Bagi Falesia pagi adalah waktu paling indah untuk menikmati hidup. Mencari sebuah kenikmatan hidup yang sesungguhnya. Namun, pagi ini berbeda. Putranya masih tampak demam sampai pagi ini.
"Papa ..."
"Papa ..."
Igauan itu membuat Falesia meringis sedih. Di saat seperti ini dia berharap suaminya mau kembali seperti dulu, saat mau memanjakan Lou Och dan mau menimangnya penuh kasih sayang. Membiarkan tugasnya terhenti dalam beberapa waktu hanya untuk menggendong anak nakal yang tengah kesakitan ini.
Tetapi, bahkan semalam ia diusir dari kamarnya oleh Austin. Lelaki itu dengan kesombongannya mengatakan hendak menikah dengan perempuan yang lebih muda dari Falesia kalau Falesia terus mengganggu hidupnya. Bahkan seorang anjing tidak akan mengusir pasangannya saat tengah menggonggong. Austin keterlaluan.
"Sayang, mama di sini," ucap Falesia lemah lembut. Dia membelai surai kecokelatan milik Lou Och memberikan sebuah rasa hangat dan rasa aman untuk putranya. Tidak lama mata berwarna madu itu mengerjap dan terbuka. Tatapannya tampak sayu membuat Falesia merasa makin sedih melihatnya. Tidak bisakah Dewa mengalihkan rasa sakit itu kepadanya saja, dia begitu tersiksa melihat putranya sakit.
"Mama, Papa dimana?" tanya Lou Och dengan suaranya yang serak. Dia merindukan papanya semalaman. Biasanya saat dia sakit sang papa akan menggendongnya keliling istana dan menyanyikan sebuah lagu. Lagu yang terdengar menyenangkan dan membuatnya merasa tenang. Kantuk selalu datang saat papanya mulai menyanyikan lagu tersebut.
"Papa sedang bekerja sayang, nanti setelah selesai papa akan segera datang," jawab Falesia pengertian. Dia tidak mungkin melukai hati putranya dengan mengatakan papanya tidak peduli kepada sakit yang diderita Lou Och. Lou tampak sedih mendengar papanya masih sibuk bekerja, "sekarang Lou Och makan dulu ya, sayang," bujuk Falesia.
Sang pelayan datang berjalan berlutut dengan setengah membungkuk menyodorkan satu nampan sarapan untuk sang putra kerajaan. Lou Och cepat menggeleng melihat sebuah bubur di atas nampan dengan didampingi semangkuk cairan berwarna ungu pekat. Itu pasti obatnya dan Lou Och tidak mau meminum obat tersebut. Pelayan lainnya memberikan satu mangkuk bubur kepada ratu mereka.
Wanita anggun tersebut mengulas senyum melihat putranya menolak keras sarapan yang telah berada di tangannya. Dia lantas mulai mengaduk bubur di tangannya membuat bubur tersebut tampak lebih tercampur bumbunya. Lou Och memalingkan wajahnya tidak mau menerima suapan sang mama. Dia tidak suka makan makanan benyek seperti itu, seleranya adalah daging atau ayam.
"Lou Och tahu kenapa orang yang sakit selalu diberikan bubur untuk dimakan?" tanya Falesia membiarkan putranya secara perlahan memutar kepalanya, kembali menghadap kepadanya. Dia tidak lagi menyuap bubur kepada Lou Och. Tangannya masih sibuk mengaduk bubur, membiarkan putranya bersuara.
"Kenapa, Ma?" tanya Lou Och tertarik dengan pembicaraan sang mama. Falesia tersenyum senang sang putra benar-benar mengikuti rencananya. Dia mengangkat wajahnya memandang wajah manis putranya yang selalu membuatnya ingin mencubit pipi tersebut.
"Karena saat bubur tersebut masuk ke dalam tubuh, mereka membaur bersama sumber penyakit di tubuh. Lantas mengurung mereka dan menjeratnya dengan cara melekatkan nasi. Kamu tahu kan nasi begitu lengket, itu membuat penyakit tidak lagi bisa bergerak. Setelah dilumpukan kamu harus mengeluarkannya. Bagaimana caranya? Dengan meminum obat. Obat itu bisa mengalirkan penyakit tadi keluar dari tubuh," jelas Falesia. Lou Och mengernyit ragu dengan penjelasan Falesia. Memangnya benar seperti itu?
"Mama berbohong?" tanya Lou Och.
"Lou Och hanya perlu lebih banyak belajar agar tahu itu semua. Sekarang Lou Och ingin sembuh dengan makan bubur dan minum obat atau tidak mau sembuh?" tawar Falesia membuat putranya nampak berpikir sebelum menjawab. Falesia mengulas senyumnya makin lebar kala kepala Lou Och mengangguk patah-patah. Dengan segera dia menyuapkan sesendok bubur kepada putranya, tidak mau membiarkannya berubah pikiran.
Lou Och memakan habis bubur yang disuapkan oleh sang mama. Dia tidak bisa menolak suapan itu karena pandangan mamanya yang menatapnya seolah akan melubangi kepalanya. Jadi, dia makan karena terpaksa dan itu selesai ditelannya sampai suapan terakhir. Bahaya yang sesungguhnya adalah setelah makan bubur, minum obat. Cairan ungu itu jelas membuatnya jantungnya berdebar tidak karuan.
"Bisakah Lou Och tidak meminumnya, Ma?" cicit Lou Och merasa takut untuk meminum cairan tersebut. Remaja itu merengut saat dijawab gelengan oleh sang mama. Dengan ragu tangannya terulur mengambil alih cangkir berisi minuman herbal, lantas menggiringnya ke mulut.
Matanya terpejam erat saat larutan itu mulai mengalir membasahi kerongkongan. Setiap yang dilewati larutan ungu tersebut berubah menjadi rasa pahit yang mematikan indra pengecap. Wajahnya sudah menunjukkan betapa buruk rasa dari ramuan obat dari sang tabib. Falesia hanya mampu mengelus surai lembut putranya. Mencoba memberikan rasa nyaman dan rasa tabahnya.
"Minum ini, sayang," titah Falesia memberikan secangkir air minum. Lou Och mengambilnya tanpa berlama-lama. Menenggak habis air minum tawarnya mencoba membasuh mulutnya yang terasa begitu pahit. Falesia meletakkan cangkir minum Lou Och lantas membiarkan kedua pelayannya pamit undur diri.
"Istirahatlah, Lou Och akan segera sembuh kalau beristirahat," ujar Falesia menuntun Lou Och kembali berbaring. Remaja itu berbaring dan menatap lamat mamanya. Dia merasa sedih melihat wajah sang mama yang tampak kelelahan, pasti karena dia sakit.
"Mama tidurlah di samping Lou Och," pinta Lou Och dan menggeser tubuhnya, memberikan tempat kosong untuk wanita itu berbaring. Falesia mengangguk dan naik ke atas dipan, berbaring menghadap putranya dan mengelus pipi Lou Och. Remaja itu memejamkan matanya kala ibu jari sang mama menyentuh pipinya dan mengelusnya lembut, merasakan kenyamanan pada setiap sentuhannya.
Tidak terasa kantuk segera menyergap keduanya. Falesia yang pertama kali terlelap tidur, tak lama kemudian Lou Och itu jatuh tertidur. Membiarkan tubuhnya diambil alih kesadarannya dan pikirannya mulai berkelana menjelajah mimpi.
Tanpa mereka sadari, seorang pria diam berdiri menatap keduanya dari luar ruangan. Menatap istri dan putranya yang tampak saling berbagi kehangatan di atas futon. Dia mengulas senyum lantas berbalik pergi menuju ruang kerjanya yang letaknya di bangunan sebelah kediaman putranya. Sengaja ia membangun bangunan tempat tinggal sang putra dekat dengan tempat kerjanya, agar bisa mengawasinya dari jendela ruang kerjanya. Namun, nyatanya remaja itu terus berkeliaran dan tidak mampu ia tangkap dalam penglihatannya.
Dia duduk di ruang kerjanya, memilih kembali bergulat dengan tumpukan laporan dari berbagai daerah di klannya. Dia mulai membaca satu per satu gulungan dan mulai menyelesaikannya tanpa kesulitan. Permasalahannya hanyalah pikirannya yang terus terpaku pada ingatannya akan wajah putranya. Wajah yang dulu begitu bulat berubah menjadi kurus dengan kantung mata seprrti panda.
Sungguh tak tega melihat putranya kesakitan seperti itu, namun desakan dari para tertua di klan membuatnya tak bisa berlama-lama memanjakan sang putra. Dia harus segera memintanya belajar dan belajar. Masa depan Nebertcher ada di genggaman sang putra. Kalau sampai usianya menginjak 15 tahun dia tidak juga memiliki ilmu yang cukup, maka dia tidak akan bisa dipandang sebagai seorang pewaris kekuasaan.
Banyak para mentri di luar sana yang memaku putra mereka duduk di depan seorang guru agar memiliki ilmu yang tinggi. Mereka berlomba mengajukan putra mereka menjadi yang terbaik di hadapan para rakyat. Mereka mengincar suara rakyat untuk mendukung putra mereka agar bisa duduk di bangku kekuasaannya.
Bukan dia yang haus kekuasaan. Tetapi, begitu klan Nebertcher jatuh ke tangan yang bukan satu darah maka peraturan awal dari para pendahulu rusak. Austin tidak mau para pendahulu menghukumnya atas dosanya yang tidak bisa mendidik putranya untuk menjadi seorang pemimpin. Dia tidak mau menerima dosa besar itu sampai habis turunannya.