Dalam ruangan penuh buku itu, Jifan duduk sendiri membaca lembar demi lembas sebuah buku usang. Buku tersebut entah sejak kapan ada di ruangan pribadinya, seolah itu hadir saat ruangan ini dibangun. Bahkan kebanyakan bukunya adalah buku yang entah dari siapa berasal namun berisi hal-hal yang sangat menarik. Jifan tak pernah bisa puas hanya dengan membaca sebuah buku sekali, harus berkali-kali ia baca. Diulang sampai ia sendiri lupa berapa kali telah membaca buku usang yang dibukanya dengan perlahan agar tidak semakin rusak.
Dia menyukai dirinya yang duduk seorang diri dalam keheningan. Seolah menemukan tempat bersitirahat setelah perjalanan lama. Begitu duduk di kursi yang terbuat dari anyaman bambu dengan lapisan getah pinus lelahnya luntur seketika. Setiap jengkal ruangan ini menyimpan banyak sekali ketenangan batin untuknya.
Tok!
Tok!
Tok!
Ketukan pintu membuat kepala Jifan mendongak. Menutup buku yang belum selesai ia baca dan beranjak berdiri. Ia rapikan sebentar hanfu hitamnya lantas melangkahkan kakinya mendekati pintu. Membuka pintu tersebut sehingga dapat ia lihat wajah kakak perempuannya. Wajah itu penuh dengan kebahagiaan, Jifan iri dengan wajah itu.
"Lihat! Kakak bawa hadiah dari festival semalam!" tangan itu mengangkat sebuah permen berbentu bangau dengan suara cerianya. Jifan tersenyum melihat apa yang ditunjukkan kakaknya. Hampir tidak pernah ia makan gula-gula karena selalu berada dalam istana dan tidak pernah melihat betapa ramainya pasar. Ia bahkan tidak akan pernah tahu bagaimana orang-orang di luar istana berbaur dengan keluarga pemimpin klan kalau ia tidak keluar tadi malam.
"Ayo kita makan!" serunya dengan senang. Jifan mengikuti kakaknya yang justru berjalan keluar kamarnya dan terus melangkah sampai di taman dekat kolam ikan. Mereka duduk berdua dikelilingi para pelayan dan penjaga. Berbagi gula-gula yang berwarna-warni. Anna membeli banyak jenis kudapan dari pasar membuat Jifan meringis ragu untuk menghabiskan semua itu. Tetapi, melihat wajah antusias Anne membuatnya tidak bisa menolak saat remaja itu menyodorkan kudapan lain untuk ia makan.
"Wah enak sekali hidup tuan muda, hanya perlu duduk dalam sangkar semua dapat dimiliki."
Jifan dia di tempatnya, bahkan makanan di mulutnya tak ia kunyah. Tubuhnya menegang seketika mendengar suara yang jelas terdengar dan ia ketahui siapa pemiliknya. Filo.
Perempuan itu berdiri di belakang keduanya yang tampak asik menyantap kudapan. Jelas kudapan itu yang kemarin dibeli Anna dari fersitval, tidak mungkin seorang Jifan bisa mendapatkan makanan pasar semacam itu. Ayahanda akan melarang keras dan memilih membuka pasar di depan pintu kamar Jifan untuk anak tercintanya. Bahkan dunia mungkin akan dipindahkan sang ayah ke ruang pengap Jifan kalau bocah itu mau.
"Kak Filo ingin makan bersama?" tanya Anna. Dia menyodorkan gula-gula berbentuk kupu-kupu berwarna merah. Filo mengulas senyum tipisnya dan menyingkirkan tangan Anna yang ada di depannya. Tatapannya tertuju pada bocah yang terus duduk membelakanginya dengan bahu tegapnya, tampak kaku.
"Kau ingin dihukum atas kelancanganmu, Jifan?" tanya Filo membuat Jifan perlahan beranjak berdiri dan menghadap kepadanya, memberikan sebuah penghormatan dengan membungkukkan badannya sedikit. Filo tersenyum culas melihat itu. Dia akan tetap dihormati bahkan saat remaja itu membencinya sekalipun.
"Maafkan aku, Kak ..." ujar Jifan kembali membungkukkan tubuhnya mengucap permintaan maaf, hal itu membuat senyum Filo makin terkembang. Dia puas bisa lahir terlebih dahulu dari kedua orang lemah di hadapannya. Bahkan kalau bisa memilih dia ingin menjadi anak sulung agar bisa disegani adik-adiknya. Meskipun terlahir sebagai anak kedua, dia bahkan tidak pernah sudi membungkuk kepada kakaknya.
"Kamu memang layak mendapat hukuman kan? Andai ayah melihat sikapmu tadi dengan bola matanya sendiri, dia pasti akan kehilangan wajahnya," cibir Filo dan berlalu pergi. Melihat itu, Jifan mengembuskan napasnya lega dan merilekskan bahunya.
Namun, Filo menghentikan langkahnya. Tubuhnya lantas berbalik kembali menghadap kedua adiknya. Dia mengulas senyum liciknya pada Jifan yang kembali membungkuk menghadapnya.
"Ah iya, bisakah kamu menjadi teman latihanku?" tanya Filo memasang wajah bersahabat. Jifan masih menunduk berpikir dengan baik cara agar bisa menolak ajakan itu. Tetapi, bahkan sebelum otaknya menemukan alasan yang tepat, matanya melihat hanfu sang kakak telah berdiri selangkah di depannya.
"Baik kak," jawab Jifan tidak ada pilihan lain. Filo tersenyum lantas menepuk kepala adiknya dua kali.
"Bagus, aku harap rambutmu menjadi cokelat setelah ikut latihan denganku," ujarnya dan berlalu pergi. Kali ini dia benar-benar pergi membuat Jifan mengepalkan tangannya kesal. Dia paling tidak suka dihina secara fisik seperti tadi. Sangat tidak suka.
Anna menyentuh lengan adiknya mengajaknya kembali menyantap kudapan dan melupakan ucapan Filo barusan. Jifan menggeleng menolaknya. Dia hanya ingin sendiri di kamarnya meluapkan kekesalannya karena ejekan Filo. Seolah rambutnya benar-benar sebuah kutukan untuknya.
"Aku ingin ke kediamanku, Kak. Bolehkah aku pulang lebih awal?" pamit Jifan.
Anna tampak sedih mendengar adiknya ingin kembali sebelum menghabiskan kudapan yang ia borong dari pasar. Meski tidak setuju, Anna tidak bisa untuk menolak permintaan adiknya melihat wajah terluka yang tengah ditutup. Anna mengangguk membiarkan adiknya berlalu diiringi para pengawal dan pelayan pribadinya. Tatapannya mengarah pada punggung Filo yang tampak sudah sangat jauh dari tempatnya berdiri.
Anna tidak pernah suka kakak perempuannya apalagi kakak laki-lakinya. Mereka berdua selalu membuat Jifan sedih sehingga membuatnya bingung harus menghibur adiknya bagaimana. Dia lantas ikut pergi meninggalkan kudapannya.
Sementara itu, setiba di kamarnya Jifan segera masuk ke dalam ruangan pribadinya. Duduk di tempat tenang itu sendirian dengan wajah merengut. Apa salahnya? Tidakkah orang-orang mengerti bahwa dia juga tidak pernah berharap memiliki fisik yang berbeda dengan keluarganya sendiri. Dia juga berharap hidup dengan fisik yang sama seperti mereka. Tetapi, fisiknya yang berbeda ini tengah coba ia syukuri dengan lapang dada, lalu bisakah orang-orang juga berhenti membuat rasa syukurnya hilang dari hatinya? Bisakah mereka diam dan berhenti mengejeknya?
Air matanya turun begitu dadanya terasa sesak. Dia sungguh tidak suka saat merasa lemah seperti ini. Seolah dia tidak bersyukur atas ciptaan Tuhannya. Tangannya bergerak menghapus air matanya kemudian memilih membaca sebuah buku baru yang ia ambil dari dalam rak susunnya. Menyingkirkan buku yang belum selesai ia baca dan mulai membuka buku baru dari rak tersebut.
Ketukan di pintu membuat Jifan mengembuskan napasnya. Kali ini siapa lagi yang harus ia temui? Ia berharap itu bukan saudara atau bahkan ayahnya. Dia masih ingat kemarin tengah merajuk dengan ayahnya karena sikap cuek ayahnya membuatnya terluka.
Tangannya dengan malas membuka pintu dan melihat saudara tuanya berdiri dengan kedua tangan bertaut di belakang tubuh. Perasaannya yang buruk membuatnya sungguh enggan menghadapi satu saudaranya lagi. Padahal hari belum beranjak siang, tapi tenaganya terasa terkuras habis.
Bisakah kali ini dia mengucapkan kekesalannya seperti yang ayahnya sarankan? Apakah tidak apa kalau ia katakan dia enggan menemui sang kakak dan mengusirnya keluar. Dia sungguh lelah. Tetapi, dia masih punya sopan santun untuk menerima kedatangan kakaknya yang bahkan tidak pernah menyebutnya sebagai adik.