Lou Och. Remaja berusia 14 tahun itu tampak mengendap-endap di lorong menuju tamah istana. Hanfu berwarna biru muda yang ia kenakan tampak serasi dengam kulit putih pucatnya. Rambut cokelat ikalnya dikenakan aksesoris pita. Dia tidak pernah suka mengenakan aksesoris di kepalanya, tapi ibunya, selalu saja memerintahkan para pelayan memberikan aksesoris pada rambutnya. Alhasil dia tampak seperti bocah berusia enam tahun.
Mata caramelnya bergerak awas dengan lingkungan sekitar, tidak ingin ketahuan tengah kabur dari pengawasan para pelayan. Dia sudah besar kenapa harus dijaga? Begitulah isi kepalanya setiap kali pelayan mengikutinya kemanapun. Bahkan untuk mandi saja para pelayan berada di dekatnya dan memandikannya. Menggosok punggung dengan perlahan sampai daki di tubuhnya hilang. Dia memiliki empat pelayan tetap sejak ia lahir. Oleh sebab itu para pelayan sudah terbiasa dengan tabiat tuan mereka yang suka menghilang sesuka hati.
"Lou Och... Kenapa bersembunyi? Para pelayan mencarimu dan hampir Mama marahi," ujar seorang wanita yang kini berjalan dengan anggun mendekati putranya yang duduk di taman meski dengan tatapan waspada. Lou Och menoleh dan menatap ibunya dengan bibir cemberut. Kalau sudah ditemukan pasti dia dikurung di dalam kamarnya sampai malam.
"Lou hanya ingin bermain, mama...." ujar Lou dan menunduk saat sang Mama duduk di sebelahnya, "tidak ingin belajar," lanjutnya dengan gumaman yang didengar sang mama. Lou semakin menunduk melihat Mamanya melotot kepadanya tanda mendengar ucapannya.
Falesia, seorang istri dari pemimpin klan Nebertcher. Ia menikah dengan sang pemimpin keempat dan hanya memiliki seorang putra. Rasanya tiap hari dia harus mengisi ulang kesabaran yang selalu dikuras habis oleh putranya. Dulu saat Lou masih kecil, Falesia menganggap hanya kenakalan anak-anak. Namun ternyata kenakalan itu berlanjut sampai sekarang. Sudah habis akal untuk membuat Lou duduk manis dan belajar di pondok bersama putra para menteri.
"Kalau Lou tidak ingin belajar seharusnya Lou pintar. Kalau Lou pintar tidak perlu belajar lagi," ujar Falesia dan mengelus rambut Lou yang seperti beludru, lembut. Lou mendongak menatap mamanya yang juga tengah menatapnya. Mata indah Falesia berwarna gelap dan tampak berkilau bagai berlian, itu membuat Lou berdecak sebal. Falesia menautkan alis heran dengan decakan sebal putranya, "ada apa, Lou?" tanyanya dengan nada lembut.
"Kenapa aku tidak seperti mama dan papa? Mataku jelek! Rambutku juga jelek!" Falesia tertawa mendengar keluhan putranya. Betapa menggemaskan wajah merajuk Lou. Pipi gembilnya terlihat menggembung dengan bibir maju beberapa senti. Mendapat respon tawa dari sang mama, Lou semakin cemberut dan membelakangi mamanya, "mama jahat!" decak Lou dan membuat tawa Falesia semakin meledak.
"Astaga! Perutku sakit sekali..." keluhnya namun tetap tertawa. Tidak peduli putranya semakin merajuk bahkan melipat tangannya di depan dada.
"Ada apa denganmu, Falesia?" sebuah suara berhasil meredakan tawa Falesia. Dia adalah pemimpin klan terbesar kedua setelah Dabarath, yakni klan Nebertcher bernama Austin Lou. Austin ikut mendudukan dirinya di sebelah Falesia lantas menatap putranya yang terus duduk membelakanginya. Pasti istrinya kembali menggoda sang tunggal dengan jandaan yang berlebihan. Semua tahu bagaimana labilnya emosi seorang Lou, tapi istrinya tetap saja senang menjahili atau membentak berlebihan pada Lou.
"Lou... Kemarilah bersama papa!" titah Austin berhasil membuat Lou berdiri dan bergegas menubrukkan dirinya pada tubuh sang ayah. Menangis dan mengadu tentang sang mama yang menertawakan warna rambut serta warna matanya. Austin hanya menenangkan sang putra dengan menggenggam erat tangan kecilnya. Sesekali matanya menatap sang istri, memperingati agar tidak melakukan hal semacam ini lagi.
"Lou ingin rambut hitam, papa... Rambut cokelat ini terlihat sangat buruk, " keluh Lou diakhir ceritanya. Lou berdiri tegak dan memandang wajah papanya yang kini lebih rendah darinya. Berharap sang papa mengabulkan keinginannya.
"Rambut cokelat tidak jelek, sayang... Apapun warna rambutmu, kamu tetap putra papa," ujar Austin memberi pengertian. Falesia ikut mengangguk setuju dengan sang suami. Sejak dulu Lou terus mengeluh tentang warna rambut, warna kulit, dan warna bola mata. Dia terus-menerus membandingkan dengan kedua orang tuanya atau bahkan dengan para pelayan.
"Lalu kenapa papa tidak ganti warna rambut Lou saja? Lou akan tetap jadi putra papa, 'kan?" desak Lou membuat Austin tersenyum lembut. Mana bisa dia mengubah warna rambut. Bahkan mengubah bulu kuda saja dia tidak mampu, apalagi mengubah warna rambut putranya.
"Lou... Kenapa harus mengubah warna rambut? Kau bisa melakukan hal yang kau senangi. Memangnya setelah mengganti warna rambutmu itu kau akan benar-benar senang? Lebih baik abaikan saja perbedaan itu Lou," nasihat Austin. Lou mengerucutkan bibirnya masih dengan isakan lirih tapi kepalanya mengangguk menyanggupi nasihat sang ayah. Kemudian wajah sedihnya berubah secara cepat menjadi cengiran nakalnya.
"Kalau begitu biarkan Lou terus bermain dan tidak perlu belajar! Lou tidak akan meminta papa mengganti warna rambut ini kalau membiarkan Lou bermain," ucapan Lou sukses membuat Falesia yang tadinya hanyut dalam drama papa-anak segera membelalak tidak percaya. Wajah garangnya segera dipasang dan membuat Lou mendekati sang papa mengharapkan perlindungan.
"Kau tidak boleh terus bermain! Belajar itu penting!" bukan sang mama yang berteriak dengan wajah garang, itu adalah papanya. Lou berjengit kaget dan segera melangkah menjauhi sang papa. Matanya mengerjap tidak percaya akan kejadian yang berlangsung sangat cepat itu. Biasanya papanya akan membiarkannya bermain dan memintanya belajar sebentar, berbeda dengan sang mama yang terus mengurungnya di pondok untuk belajar.
"Papa..." cicit Lou dengan wajah syok.
"Mulai besok kau belajar dari pagi sampai sore, tidak ada waktu bermain lagi Lou. Klan ini harus segera memiliki penerus yang cerdas!" putus Austin membuat mata Lou berkaca-kaca. Ia tidak percaya papanya bisa lebih kejam dari sang mama. Sementara itu Falesia hanya tersenyum kala mata sang putra menatapnya meminta pertolongan. Baru pertama kali Lou tidak menyukai suaminya, biasanya selalu dia yang dihindari Lou.
"Kembalilah ke kamarmu, Lou. Mama akan bicara dengan papa," ujar Falesia akhirnya. Bocah itu melangkah lesu diikuti para pelayannya yang entah sejak kapan berada diantara mereka. Langkah itu terus bergerak menuju kediamannya yang letaknya di sisi kanan bangungan utama tempat sang papa bekerja.
Pintu segera dibuka saat Lou bergerak semakin mendekati kediamannya. Namun langkah itu terhenti di tengah-tengah pintu yang terbuka lebar itu. Senyum nakalnya terbit saat otaknya memiliki ide cemerlang. Para pelayan saling tatap dalam diam menanyakan apa yang tengah dilakukan sang tuan, tapi hanya gelengan saja yang mereka lakukan, tidak ada yang bisa menebak isi pikiran sang tuan.
"Bibi, malam ini jangan ada yang berani membuka pintu kamarku. Bibi paham?" perintah Lou entah kepada bibi yang mana. Sejak dulu Lou hanya memanggil mereka dengan sebutan bibi dan tidak ada identitas terperinci dari keempat bibinya itu yang Lou ketahui. Merasa tidak penting untuk diketahui. Para pelayannya serempak menjawab dengan patuh.
Lou lantas masuk dan mendudukkan dirinya di atas futon dengan senyuman yang menghias wajahnya. Rasanya tidak sabar menunggu hari besok untuk melihat hasil dari kerja otaknya ini. Tubuhnya segera berbaring nyaman masih dengan senyum yang sama sampai lama-lama dia tertidur pulas dengan wajah damai.
***
•Hanfu adalah pakaian tradisional orang China.
•Futon adalah jenis perangkat alat tidur khas Jepang yang juga ada di Korea.