Chereads / Dabanetcher / Chapter 8 - Si Pendiam

Chapter 8 - Si Pendiam

Pagi menjelang siang. Hari ini awan tampak mendung dan matahari tidak secerah biasanya. Rintik hujan mulai membasahi bumi dan membasahi apapun di bawah langit. Orang-orang yang tengah beraktivitas berhamburan berlari mencari tempat berteduh, termasuk seorang anak yang beranjak remaja. Dia berlari membawa buku-buku yang dijadikan sebagai payung melindungi kepalanya dari rintik hujan yang mulai berubah menjadi hujan deras. Pelayan yang mengejarnya ikut berhenti di sebuah gazebo dekat sungai. Tangan terampil keempat pelayannya segera bergerak mengeringkan baju tuannya yang sudah cukup basah.

"Tuan, apa sebaiknya saya memanggil orang istana untuk membawa kereta? Sepertinya hujan turun sampai nanti malam," ujar salah satu diantara keempatnya yang merasa tuannya butuh mengganti pakaiannya segera. Tapi gelengan didapat dari sang tuan yang lini duduk bersila dan menatap sungai. Keempat pelayan saling pandang dengan raut bingung dan khawatir. Tapi kemudian mereka ikut diam di gazebo menikmati hujan yang tidak mampu lagi terserap tanah dengan cepat.

Ini memang sudah mulai memasuki musim hujan. Beberapa hari lalu hujan turun berturut-turut membuat tanah becek dan baru kemarin tanah mulai kering. Sekarang hujan kembali membuat becek tanah. Banyak orang yang mulai menggunakan hanfu cinkrang di atas mata kaki serta sepatu bot semata kaki berbahan kulit. Itu membuat kaki mereka tetap kering dan tidak mudah terpeleset di tanah yang becek ini. Berbagai mantel dikenakan orang-orang menghalau dingin. Saat musim hajan suhu seperti hilang setengah dari musim panas, membuat tubuh merasa kedinginan.

"Tuan, izinkan saya memanggil orang istana untuk membawa kereta," ujar salah seorang pelayan untuk kedua kalinya. Kulit putih tuan mereka semakin putih pucat tanpa rona karena kedinginan. Namun sifat keras kepala membuat para pelayan tetap menekan rasa khawatir mereka. Pada akhirnya seorang pelayan pergi berlari menembus lebatnya hujan tidak peduli jika nanti tuan kecilnya marah dan menghukumnya. Yang terpenting tuannya segera mendapat pertolongan dan kehangatan.

Begitu kereta tiba, anak tersebut mau naik tanpa perlawanan. Mungkin sudah merasa lemas dan kedinginan. Sepanjang perjalanan ia hanya menunduk menatap buku yang digenggamnya erat. Berbagai hal memenuhi kepalanya dan membuatnya semakin mununduk menatap hampa buku yang basah dan berwarna kecokelatan karena sudah cukup lama. Buku usang. Dia dapatkan dari perpustakaan di pondok tempatnya belajar bersama para anak bangsawan lainnya.

"Papa jahat..." gumamnya dan mengusap matanya kala air mata membendung hampir menetes. Bukan berhenti mengeluarkan air mata, justru dia terisak dan menangis keras. Para pelayan yang berjalan disekitar kereta khawatir kepada tuan mereka yang akhir-akhir ini memang sangat pendiam. Sifat ceria yang 14 tahun melekat secara cepat hilang berganti sifat pendiam dan tidak bersemangat. Semua orang tahu perubahan itu, tapi tidak ada hal yang bisa dilakukan.

Sesampainya di depan kediaman, remaja itu melangkah keluar dari kereta dan masuk ke dalam rumah tanpa kata. Pelayan tidak bisa melarang dan segera menyiapkan air hangat untuk mandi sang tuan, tidak ingin tuan mereka terkena demam. Namun air yang mereka siapkan percuma saat dilihat kembali sang tuan sudah tertidur dengan baju ganti yang terpasang asal-asalan. Jelas sang tuan tidak mampu mengenakan hanfu dengan baik karena selama dia lahir selalu dibantu para pelayan.

*

"Tidak becus! Bagaimana mungkin dia sakit? Pasti kalian tidak menjaganya dengan baik!" seruan galak itu memenuhi kediaman sang istri pemimpin klan Nebertcher kala para pelayan dari sang putra memberitahu perihal demam yang menimpa si tunggal. Rasa kesal dan khwatir membuat wanita itu melangkah lebar setelah menggebrak meja serta melotot pada pelayan di depannya. Semakin mendekati kediaman putranya dia semakin khawatir begitu melihat para tabib keluar kamar tanda pemeriksaan mereka telah selesai.

"Nyonya..." empat orang tabib membungkuk hormat melihat kedatangan nyonya klan. Tentu untuk melihat kondisi putranya yang kemarin terguyur hujan. Kepala tabib segera menjelaskan perihal keadaan Lou Och, "tuan muda mengalami demam tinggi, itu karena kemarin tuan muda kehujanan. Setelah beristirahat dan meminum minuman herbal saya yakin tuan muda akan kembali sehat."

Penjelasan itu cukup membuat Falesia menghembuskan napasnya lega. Sejak kecil Lou Och tidak mampu bertahan dicuaca dingin. Terkena hujan saja sudah demam, apalagi terkena salju. Meski begitu Falesia tahu betapa keras kepala seorang Lou Och. Hal yang dilarang selalu saja ingin dilanggar putra semata wayangnya, terlebih akhir-akhir ini hubungannya dengan sang papa cukup canggung.

"Maafkan mama Lou ..." gumamnya kala melihat tubuh kecil putranya diselimuti kain tebal, menghalau rasa dingin. Sebagai seorang mama dia mengerti bagaimana perasaan lou Och yang hancur melihat papanya membentak bahkan menamparnya. Bukan hanya dengutan sakit pada pipi, tapi juga pada perasaannya. Tidak tahu seberapa terlukanya remaja pucat itu saat mau tidak mau menerima perintah sang papa yang dulu bisa diingkari.

"Mama ..." suara lirih dari remaja yang tengah terbaring lemah itu membuyarkan lamunan Falesia. Wanita itu sontak menatap putranya yang sudah membuka matanya meski tampak dengan tatapan sendu menatapnya. Falesia berhambur mendekap putranya yang tubuhnya sungguh panas, mengungkapkan betapa ia takut kehilangan Lou Och. Lou Och mengulas senyum kala sang mama memperlakukannya begitu lemah lembut. Lou Och menyukai setiap sentuhan sang mama. Meskipun wanita itu selalu galak dan tidak mau memanjakannya tetapi, dalam beberapa kali kesempatan sang mamalah yang menjadi paling dicari untuk mencari kehangatan.

Tabib masuk begitu mendengar dari sang pelayan – yang sebelumnya berdiri di dekat Falesia–. Dengan rasa senang tabib tersebut mendekat, Falesia mundur memberikan ruang untuk si tabib. Sang tabib mengecek keadaannya, tabib lain juga datang dan segera memberikan minuman yang terbuat dari campuran ramuan herbal. Ramuan itu resep dari sang tertua tabib yang diwariskan dalam sebuah buku. Buku itulah yang menjadi pedoman bagi para tabib di masa kini.

"Tuan Lou Och perlu banyak beristirahat, Yang Mulia," ujar sang tabib dan menunduk dalam. Falesia mengangguk mengizinkan keempat tabib keluar setelah memberikan obat untuk putranya. Falesia kembali menjatuhkan pantatnya di sisi futon Lou Och.

Lou Och mengeluh kepalanya pusing pada mamanya, membuat Falesia hanya mempu mengelusi kepala putranya memintanya beristirahat agar sakitnya berkurang. Lou Och mengerucutkan bibirnya kekanakan karena sang mama tidak bisa menyembuhkan sakit kepalanya. Lantas karena kelelahan remaja itu kembali jatuh tertidur membiarkan Falesia duduk dengan tenang sejenak memandangi wajah tampak putranya.

Pipi gembil Lou Och entah sejak kapan mulai hilang, tergantikan pipi tirus yang membuat hatinya meringis. Dia sungguh tidak enak hati melihat putranya menjadi kurus karena tekanan dari sang suami. Entah sampai kapan putra tunggalnya terus ditekan sampai menjadikannya pribadi yang nampak berbeda. Hanya dalam satu malam semuanya berubah. Lou Och yang ceria dan suka menghilang dari para pelayannya berubah menjadi Lou Och yang pendiam dan selalu duduk di pondok membaca buku dengan sang guru.

Itu bagus pada awalnya. Tetapi, semakin dipikirkan hati Falesia menjadi sakit. Itu bukan sesuatu yang disukai putranya, meskipun itu memang sebuah kewajiban nyatanya itu seperti hukuman untuk Lou Och. Sikap suaminya yang dingin semakin memperparah keadaan Lou Och. Remaja itu secara mendadak selalu menghindari papanya bahkan dengan dia sekalipun

Hati seorang ibu tentu merasa kesakitan melihat darah dagingnya menjauh. Beberapa kali dia dengan lancang meminta ampun pada sang pemimpin klan yang tidak lain adalah suaminya.

Dia bersujud meminta pengampunan atas kesalahannya bahkan kesalahan Lou Och. Berharap pada seorang lelaki yang ia cintai untuk memberikan keringanan pada lelaki lain yang merebut hatinya. Dia rela merendahkan harga dirinya, untuk putranya.