Chereads / Dabanetcher / Chapter 3 - Si Penyembunyi

Chapter 3 - Si Penyembunyi

Sesampainya di kamarnya, sang ayah tampak langsung duduk di sisi ranjangnya kemudian memintanya berdiri di hadapannya. Dia menurut, toh sekarang hanya ada dia dan ayahnya, maka dia juga bisa mengadu tentang apa yang ia terima atas perlakuan kakak tertuanya. Tapi, sebelum itu dia harus mendengar ayahnya dulu. Karena sepertinya ada hal penting yang akan disampaikan ayah untuknya.

"Malam ini tetaplah di kamarmu, jangan izinkan siapapun masuk. Besok kita pergi ke pertemuan dengan para menteri. Ada hal rumit di luar sana dan kamu sepertinya harus tahu."

Jifan menunduk menatap ayahnya yang juga menatap padanya dengan air muka penuh rasa khawatir. Dia tidak mengerti apa yang ayahnya ucapkan. Hal rumit apa sampai melibatkan para menteri dan juga harus mengajaknya ikut serta? Apa karena rumor tentang dia? Atau ada hal lain? Pertanyaan Jifan hanya terhenti di kerongkongannya dan hanya anggukan yang bisa ia lakukan.

"Ayah baik-baik saja? Ayah terlihat sangat cemas," ujarnya dan kedua tangannya bergerak menggenggam tangan besar ayahnya. Tangan itu yang dulu selalu menggendongnya di kamar ini dan menepuki kepalanya untuk menina bobokan Jifan kecil. Sekarang itu tidak lagi dilakukan mengingat dia sudah besar juga tugas sang ayah mulai berat. Jifan tidak mengerti kenapa semua kakaknya ingin menjadi pemimpin padahal melihat ayahnya saja sudah muak. Tidur ayahnya pasti tidak nyenyak memikirkan rakyat serta kedamaian dengan klan lain.

"Ayah baik-baik saja, Sayang."

Jifan tersenyum mendengar panggilan mesra ayahnya. Dalam hati dia bersorak kegirangan itu karena dibanding saudaranya yang lain hanya ia yang diperlakukan begitu manis oleh ayahnya. Kalau Anna melihatnya pasti akan mengerucutkan bibirnya iri atau kalau kakak tertuanya yang melihat pasti dia diolok-olok. Dan kalau Filo yang melihatnya sudah pasti dia akan dicibir habis-habisnan.

"Ayah... Ho Yuan kembali menggangguku, dia bahkan tahu rumor di luar istana. Bagaimana kalau dia terus mengejekku?" bibir merahnya mengerucut membuat Juan tersenyum melihat kelakuan putra bungsunya. Tidak akan ada habisnya membicarakan kelakuan si sulung dengan Jifan. Bocah itu terus berperilaku menggemaskan dan membuatnya merasa menyesal karena sekarang identitasnya terungkap. Dia sudah membuat rencana untuk mengumumkan putra bungsunya di usia 20 tahun. Usia 20 tahun adalah usia legal di Dabarath, usia di mana mereka boleh menikah dan bekerja. Bahkan Jian sudah berencana mengajari Jifan tentang politik di kerajaan, agar kelak putranya mampu memimpin kerajaan.

"Kenapa tidak kamu lawan kakakmu itu, hm?" tanya Yuan dan menyorot mata putranya dengan tatapan jahil. Dia tahu semua sifat putra-putranya. Si sulung yang sering stres karena ikut membantu ia bekerja, selalu saja melampiaskan rasa lelahnya pada si bungsu. Dia tidak jahat seperti yang saudaranya katakan, dia hanya tidak mampu bersikap manis kepada adik-adiknya terlebih kepada si bungsu. Filo juga terkadang menggunakan tangannya untuk melampiaskan perihnya perut saat datang bulan. Atau Anna yang tidak mau bertemu adiknya saat ada hal yang mengganjal di hatinya. Selalu si bungsu yang jadi sasaran.

Sayangnya Jifan terlalu takut untuk menunjukkan kekesalannya pada saudaranya, sehingga tidak pernah berbuat lebih untuk melawan mereka. Bungsunya hanya akan terus mengadu dan mengeluhkan banyak hal. Termasuk saat Filo menyakitinya di lapangan berlatih. Bukan sekali dua kali Jifan dijadikan alat berlatih. Sebagai seorang ayah Juan tidak bisa terima begitu saja putranya dilukai, tapi dia terus berpikir bahwa putri pertamanya berniat mengajari Jifan bertahan. Bertahan kala keadaan memukulnya sampai lumpuh. Mungkin saja Filo berniat mengajari teknik bertarung kepada putra bungsunya. Jadi, dia biarkan Filo menyakiti Jifan dengan batas tertentu.

"Mereka lebih tua, tidak seharusnya aku menentang mereka. Bahkan kalau itu adalah pelayan aku tidak boleh bersikap buruk dan menentang mereka," jawabnya dan menunduk, enggan menatap tatapan jahil ayahnya. Juan tertawa lirih dan menyentuh kedua bahu putranya yang belum berotot. Mungkin butuh dua tahun lagi untuk membentuk otot di tubuh bungsunya. Selama itu dia ingin melihat pertumbuhannya.

"Kalau begitu cobalah katakan isi hatimu pada mereka. Tidak menunjukkan wajah stoic mu itu. Mereka akan semakin menjahilimu kalau kau tunjukkan wajah itu," titah Juan dan menyentuh pipi Jifan tapi ditepis putranya. Ini kali pertama dia mendapat penolakan dari si bungsu. Mungkin ditersinggung atas ucapannya. Sejak kecil Jifan selalu mengatakan tidak boleh membicarakan fisik orang lain karena itu adalah pemberian Tuhan. Dia sendiri yang mengajarkannya, "ayah hanya ingin mereka tahu kamu terluka, Sayang..."

Jifan enggan menanggapi dan tetap diam. Menatap lantai yang terbuat dari kayu dan dilapisi getah pohon pinus. Juan terus menatap putranya merasa bersalah atas candaannya. Satu-satunya cara membuat Jifan kembali memaafkannya adalah meninggalkannya sendiri. Putranya akan merasa bersalah dengan sendirinya dan tidak jadi ngambek.

"Baiklah, sepertinya kamu marah. Maafkan ayah, tapi ayah ada pekerjaan. Besok kita bertemu di paviliun barat." Juan berdiri dan melangkah keluar setelah mengelus rambut hitam putranya.

Jifan menatap pintu kamarnya yang tertutup setelah kepergian ayahnya. Merasa bersalah telah bersikap tidak sopan kepada pria tersebut. Dia hanya merasa sedikit kesal atas ucapan ayahnya. Hanya sedikit. Harusnya ayahnya membujuknya bukan malah meninggalkannya seperti ini. Membuat Jifan bingung harus apa.

Setelah lama berdiam diri menatap pintu kamarnya, akhirnya Jifan memutuskan untuk masuk ke dalam ruangannya. Membaca mungkin akan membuatnya merasa tenang dan kepalanya akan dingin.  Hari ini dia membaca buku tentang bintang. Buku yang sudah beberapa kali Jifan baca sampai ingat beberapa gambar di dalamnya. Termasuk sebuah gambar berbentuk lima runcing yang disatukan dan tampak seperti bunga. Mereka menyebutnya sebagai bentuk bintang. Hal itu karena dari tempatnya berdiri cahaya di atas terlihat berkilau dan memancarkan sudut runcing.

Ada juga bintang yang paling terang dan paling kecil. Entah bagaimana penulis buku ini menamai cahaya di langit dengan berbagai susunan kata. Apakah memang seperti itu namanya? Atau hanya mengarang saja. Jifan penasaran dengan dunia di luar sana. Apakah ada kehidupan di luar klan. Kehidupan yang mana ada orang berambut hitam dan bermata gelap sepertinya? Jifan ingin tahu apakah memang dia dilahirkan paling aneh di dunia ini atau ada yang lebih aneh darinya?

Dia sudah lelah diejek aneh oleh saudaranya. Hanya karena warna yang berbeda membuat mereka seenaknya memperlakukannya. Di masa depan haruskah dia mencari tahu cara membuat mata dan rambutnya menjadi warna kecoklatan layaknya madu?

Tapi, bahkan ayahnya menerimanya apa adanya. Dia sangat senang akan hal itu. Ayahnya adalah segalanya untuknya. Tidak peduli ia seaneh apapun ayahnya tetap mau menerimanya. Itu salah satu yang membuatnya bimbang mencari tahu dunia luar. Karena, dunianya adalah ayahnya, bukan lainnya.

Ko Jifan Ar. Remaja yang berusaha menyembunyikan semua perasaannya dengan wajah stoic dan sikap abai. Namun hanya kepada ayahnya dia menjadi dirinya yang sebenarnya. Menjadi remaja rewel dan mudah tersinggung. Dia hanya merasa nyaman berada di samping ayahnya. Lengan kekar ayahnya akan selalu menjaganya dan badan tegap itu selalu kokoh menjadi sandarannya. Ayahnya menempati seluruh hatinya. Orang lain hanya ada di sudut-sudut hatinya.