Keesokan paginya. Ruri merasa terganggu sekali dengan tidurnya. Ketika ada orang yang memegang-megang kepalnya dan itu lebih tepatnya berada di dahi.
Matanya masih terpejam. Padahal ia penasaran dengan orang tersebut, tetapi berat sekali untuk membuka. Jadi ia hanya bisa mengeluh saja. "Eugh!!!"
Menyingkirkan yang menganggunya tersebut. Dan memutuskan untuk memiringkan tubuhnya. Tetapi tiba-tiba saja bahunya di tahan tak lupa juga malah dicengkeram.
Membuat Ruri semakin tidak nyaman. Dan akhirnya membukakan matanya juga secara paksa.
Betapa terkejut yang luar baisa. Ketika sudah ada orang di hadapannya ini. "Tu-Tuan. Revin...."
Membulatkan kedua bola matanya lebar. Dengan pikiran yang langsung saja berkeliaran kemana-mana. Mengigit bibir bawahnya. Perasaan yang was-was juga. Entah apa yang sedang dipikirkannya ini.
Kemudian Ruri melihat ke arah sekitar. Ah, lebih tepatnya ke arah dirinya sendiri. "Saya tidak macam-macam dengan kamu."
Ruri mendongakkan kepalanya. Dan ia langsung saja menundukkan kepalanya dalam-dalam. Menahan rasa malu ketika ketahuan apa yang sedang dipikirkannya ini dan malah terbaca langsung oleh Revin.
"Tuan Revin mau ngapain??" tanyanya dengan jantung yang berdebar hebat berpacu lebih cepat dari biasanya. Dan untungnya saja Ruri tidak memiliki penyakit jantung.
Bagaimana bisa tidak terkejut. Bangun tidur langsung disuguhi pemandangan yang benar-benar membuatnya bingung. Antara harus senang atau juga takut.
Pasalnya Ruri pertama kali dihadiahi seperti ini. Dan seumur-umur Tuan Revin juga tidak pernah memasuki kamarnya.
Dengan cepat dirinya membangkitkan tubuhnya. Dan juga membenarkan rambutnya yang acak-acakan. Mengusap-usap wajahnya. Terutama di bagian mata dan mulutnya. Takut ada kotoran yang memang menempel dan itu membuat Tuan Revin sendiri jadi ilfeel dengan dirinya.
"Bersiaplah." Dahi Ruri seketika mengerut. Menerjab-nerjabkan kedua bola matanya sejenak. Mencoba memahami ucapannya barusan. Ia ingin tidak langsung salah paham. Maka dari itu berpikir terlebih dahulu. Daripada nanti akan membuatnya malu.
"Me-memangnya...." menggantungkan kalimatnya. Dengan maniknya yang tiba-tiba saja terkunci dengan manik Revin yang begitu tajam.
Ruri kembali menundukkan kepalanya. "Tuan perlu bantu?" tanya Ruri yang jelas-jelas mengalihkan pembicaraan.
Jujur ia masih tidak paham dengan semua ini yang terjadi secara tiba-tiba. Dalam hatinya Ruri berkata. 'Sebenarnya apa yang ingin dilakukan Tuan Revin?'
"Kamu bersediakah?" Ruri semakin dibuat bingung. Mengapa ucapannya selalu saja sepenggal-sepenggal. Jika begini ia harus berpikir keras apa maksud dari ucapan tersebut.
Karna tidak mungkin jika ia bertanya. Takut nanti akan kena marah olehnya.
"Kenapa tidak menjawab ucapan saya??!" Balasan dari Ruri hanya gelengan lambat saja. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
"Argh!!" Mengusap wajahnya secara kasar. "Sudahlah. Diam kamu itu saya anggap kamu bersedia!!"
Revin yang secara tiba-tiba memutuskan hal seperti itu. Lalu ia langsung saja melangkah pergi keluar dari kamar Ruri yang kecil nan juga sempit itu.
Ruri sendiri masih berdiam. Banyak sekali pertanyaan yang berada di benaknya ini. Dan ia harus mencerna secara satu-satu. Agar paham dari ini semua.
"Apa yang dia inginkan?" Terlontar pertanyaan dari mulutnya yang memang belum ia ketahui sama sekali jawabannya.
"Argh!!! Rumit!!" Mengacak-acak rambutnya. Dan juga menghela napasnya panjang. Pasalnya Ruri masih belum mengerti dengan ini semua. Padahal ia sudah mencoba untuk memahaminya.
Tiba-tiba saja datang dua orang bodyguard yang masuk ke kamarnya dengan sembarang. Ruri yang melihat sedikit terkejut. "Tidak punya sopan santunkah??!"
"Tidak melihat di situ ada pintu untuk orang—" ucapannya terpotong. Dan dirinya langsung tak sadarkan diri ketika merasa ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya.
Bodyguard tersebut langsung saja menggotongnya. Membawa ke tempat di mana yang sudah dipersiapkan oleh Revin semuanya semalaman.
Dan rencana ini semua juga sudah diatur oleh dirinya. Bahwa nekat untuk menikah Ruri secara paksa. Hanya karna untuk membongkar siapa pelaku atas kematian istrinya itu.
"Semuanya sudah berjalan lancarkah?" tanya Revin dengan tangan yang sedang memegang teleponnya di samping telinga.
"Lancar Tuan." Revin yang mendengarnya langsung saja mematikan panggilannya secara sepihak.
Dengan kedua tangan yang masuk di kantong celananya. Serta pandangan yang lurus menatap luasnya kota tersebut dari lantai atas rumahnya.
"Ku rela melakukan apapun demi bisa menemukan pelakunya. Sayang...." gumam Revin yang seolah-olah sedang bercengkrama dengan istrinya.
"Apapun akan kulakukan nantinya. Dan percayalah. Ini hanya sepotong dari rencana-rencanaku lainnya." ucap Revin yang mendongakkan kepalanya ke arah atas. Dan matanya langsung saja menyipit ketika sinar matahari menyinarinya.
Revin membalikkan tubuhnya ia berjalan ke tempat duduk yang memang sudah disediakan di tempat ini.
Revin menghela napasnya panjang. Pikirannya berkecamuk. Apalagi ketika ia mendapatkan bukti bahwa Ruri tidak memiliki tahi lalat di dahinya waktu ia periksa secara langsung.
Tetapi entah kenapa hati kecilnya ini selalu saja berkata yakin bahwa dialah pelakunya. Tidak tahu apa sebabnya. Dan seharusnya Revin segera membuktikan hal itu.
"Apa keputusanku udah tepat?" Terlontar pertanyaan dari mulutnya yang secara tiba-tiba untuk dirinya. Dan ia memejamkan matanya sejenak.
Pikiran dan hatinya benar-benar sedang kacau. Dan ia selalu saja terbayang-bayang dengan Ruri yang memang tidak memiliki tahi lalat di dahinya.
Keyakinannya terhadap Ruri sebagai pelaku menjadi sedikit menghilang dan tumbang pada dirinya sendiri.
Seharusnya ia tidak hanya mencari informasi begitu saja. Tetapi mau bagaimana lagi. Itu semua sedang diproses. Dan tidak mungkin Revin harus menunggunya lama.
"Argh!!" pekiknya yang membuka matanya. Dan juga memijat-mijat kepalanya yang pening. "Siapa sebenarnya pelaku orang yang udah berani membunuh kamu sayang??!" Menggemeletukkan giginya secara perlahan. Dan menahan emosinya agar tidak meluap.
Bisa fatal nanti jika ia tidak bisa menahan emosinya. Semua nanti rencananya bisa saja hancur seketika gegara dirinya sendiri.
"Kalau bukan Ruri pelakunya. Lalu siapa orang yang harus aku curigai." Pandangan yang lurus mencoba mengingat siapa saja orang yang pernah dekat dengan istrinya.
Dan mengapa Revin bisa percaya sekali dan yakin bahwa pelakunya itu adalah Ruri. Karna itu bertepatan dengan Ruri yang tiba-tiba saja meminta cuti.
Dengan alasan yang kurang masuk akal di benaknya. Sudahlah. Lebih baik Revin kembali memikirkan rencana-rencana selanjutnya bagaimana nanti.
"Apa harus aku sendiri yang turun tangan ke lapangan mengenai kecelakaan itu. Atau...." Revin teringat dengan temannya yang memang bisa menyelidiki kasus semacam ini.
Lebih baik ia langsung saja menghubunginya. "Halo. Revin. Bisa kita ketemu nanti?"
Tanpa aba-aba Revin langsung saja memutuskannya secara sepihak. Dan untuk tempat serta waktu ia pun yang mengaturnya.
Revin menyimpan ponselnya di dalam jasnya. Membangkitkan tubuhnya untuk keluar dari tempat ini. Ia memutuskan untuk melihat semuanya sudah berjalan sesuai dengan rencananya.
Dan tidak akan ada yang terlewat satu pun. "Berjalan lancar satu-persatu rencanaku terjalankan."
***