Revin mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya dengan kuat. Raut wajah yang memerah karna menahan amarahnya yang meluap-luap.
Memejamkan matanya dan mengatur napasnya yang memburu. Serta menggemeletukkan giginya secara bersamaan. "Damn!"
Revin langsung saja membereskan berkas-berkasnya tersebut dan memasukkannya ke dalam laci yang memang tadi ia buka.
Ia tidak menyangka jika Ruri malah berani masuk dan memegangnya segala tidak tahu apa jika itu semua adalah berkas-berkas yang penting. "Argh!!! Kenapa gue bisa ceroboh!!" Memukul kepalanya secara berulang-ulang. Dan Revin menuruki dirinya sendiri.
"Semoga aja Ruri gak baca sedikit pun." gumamnya yang memijat dahinya. Kemudian Revin melangkah untuk mengambil ponselnya.
Tiba-tiba saja ada pesan masuk. Dengan cepat dirinya membuka dan juga membacanya. "Dia setuju." Revin langsung saja memasukkan ponselnya ke dalam kantong celananya. Dan waktu ia keluar.
Ruri tenyata ada di luar juga. Revin melayangkan tatapan tajamnya. Lalu ia memutuskan untuk mengunci pintunya.
'Ceklek!'
Ruri yang melihat itu membulatkan kedua bola matanya. "Tuan. Kenapa kamarnya dikunci?"
"Dan memangnya Tuan ingin kemana?" Revin tidak menjawab pertanyaan Ruri. Ia malah melangkahkan kakinya.
"Tuan! Tuan tunggu dulu." Ruri berusaha untuk menahannya. "Tuan ingin kema—"
Revin memberhentikan langkah kakinya. Melihat Ruri yang malah menghalangi langkahnya. "Bukan urusanmu!!"
Mendorong dahi Ruri dengan kasar sehingga Ruri saja ingin terjungkal ke belakang. Jika dirinya tidak langsung menjaga keseimbangannya.
"Astaga." gumamnya yang memegang dadanya sejenak. Dan Ruri hanya bisa melihat punggung Revin yang semakin jauh.
"Dia mau kemana sih? Kenapa dikunci segala?" gerutunya yang kesal ketika pertanyaan tadi tidak dijawab sedikitpun oleh Revin.
Sebenarnya apa pentingnya dari berkas-berkasnya itu. Mengapa Revin begitu marah waktu dirinya hanya memegang.
Padahal jelas-jelas Ruri mempunyai niat baik untuk membereskannya. Dan bukannya itu bisa meringankan perkejaannya juga.
"Jangan-jangan ada sesuatu lagi," gumamnya yang malah melangkah ke arah Revin dan menekan-nekan ke bawah gagang pintu kamarnya.
Yang jelas-jelas tidak bisa dibuka. Dan Ruri hanya ingin memastikannya saja. Lalu ia mulai mengingat-ingat. Dimana kunci cadangan kamar ini.
Karna memang setiap ruangan memilki kunci cadangannya. Lebih baik ia mulai mencarinya saja. Entah kenapa Ruri jadi penasaran sekali dengan itu.
"Kira-kira dimana ya?" Menuruni anak tangganya satu-persatu. Dengan benaknya yang terus saja mengingat-ingat.
"Kayanya kalo gak salah itu ada di—" Kalimatnya terhenti. Ketika mendengar suara teriakan dari Oma Triya yang sepertinya memanggil namanya.
"Ruri!!! Ruri!! Ruri!!" Sepertinya ia tidak salah dengar. Dan langsung saja menghampirinya karna takut ada apa-apa.
"Iya Oma. Aku ke sana!" jawabnya agar tidak terus memanggilnya secara berulang.
Ruri dengan cepat menuju ke arah suara Oma Triya yang memang berada di ruang tamu. "Ada apa Oma?"
Menatapnya secara lekat. "Duduk." Ruri mengerutkan dahinya. "Oma butuh apa?"
"Duduk. Kamu duduk di sini." Ruri sedikit bingung. Mengapa dirinya ini tiba-tiba saja disuruh duduk. Bukannya kah tadi. Sudahlah Ruri mengikutinya saja.
"Ya, Oma mau apa?" tanyanya masih dengan memandang raut wajah Oma Triya yang terlihat aneh.
"Tidak ada. Oma mau memberikan hadiah untuk kamu." Menjulurkan kotak yang lumayan besar ke arah Ruri. Dan ia masih saja mencernanya berpikiran. Apa maksud dari ini semua.
"Ini terima. Apa kamu tidak ingin menerima kado dari Oma?" Ruri menganggukkan kepalanya sejenak. Dan mulai menerimanya dengan tersenyum tipis.
Ruri menggarukkan kepalanya yang tidak gatal. "Kamu tidak perlu bingung begitu. Oma hanya memberi kamu kado."
"Sebagai bentuk kamu resmi jadi mantu Oma." Ruri menarik kedua bibirnya secara paksa. Entah kenapa ada rasa malu dan tidak enak saja waktu mendengar dan mengetahui bahwa dirinya sekarang sudah jadi mantu majikannya sendiri.
Dan itu tidak pernah terbayangkan dibenak Ruri sebelumnya akan jadi seperti ini. "Makasih Oma."
"Makasih banyak atas kadonya. Dan seharusnya tidak perlu repot-repot begini." Ruri merasa tidak enak sekali. Pasalnya sampai sekarang ia tidak tahu apa maksud dan tujuan Revin menikahinya ini.
Tidak mungkin jika karna cinta. Karna memang mereka tidak pernah dekat sebelumnya. Dan hanya sebatas anak majikan dengan pengasuh saja. Tidak lebih.
Pasti Revin memiliki alasan lain untuk itu. Dan Ruri harus mengetahuinya juga secepatnya.
"Tidak repot. Dan ini semua adalah wajar. Oma tidak menyangka ternyata kamu selama ini yang dipilih Revin untuk menjadi pengganti Maya."
"Artinya dia juga bisa melupakan Maya secara perlahan. Dan kamu nantinya harus bisa mengontrol emosi Revin ketika sedang marah."
"Oma yakin kamu pasti bisa." Memegang tangan Ruri dan menghentakkan sejenak. Ruri yang mendengar hal itu belum terpikir. Jika nanti dirinya bisa mengontrol emosi Revin apa tidak.
Dan barusan saja ia membuat masalah. Untung saja Revin tidak marah dengannya. Ah, lebih tepatnya tidak meluapkan amarahnya kepada Ruri.
Jika itu semua terjadi, mungkin Ruri sekarang sudah sangat tersiksa sekali. Dan merasa sakit ditubuhnya.
"Dan mulai sekarang kamu tidak perlu jadi pengasuh Oma lagi. Kamu harus jadi istrinya Revin."
"Nanti Oma akan cari Pengasuh yang lain dan juga—" Ruri memberhentikan ucapan Oma Triya. "Tidak usah. Tidak usah Oma."
"Aku akan tetap jadi pengasuh Oma sampai kapanpun." ucap Ruri seperti keputusannya.
"Kamu itu mantu Oma. Masa harus jadi pengasuh—" Ruri menggelengkan kepalanya secara cepat. "Tidak. Aku akan tetap mengurus Oma sampai kapanpun."
"Tidak peduli nanti Tuan Revin akan mengizinkan atau tidak." Triya yang mendengar hal itu tersenyum lebar. Sangat lebar sehingga Ruri saja terbawa jadi ikut tersenyum.
"Sepertinya memang Revin tidak salah memilih kamu jadi pengganti istrinya Maya." Ruri yang mendengar hal itu jadi terdiam sejenak.
"Walaupun Maya juga orangnya sangat baik dan cantik sekali luar dalam." Puji Triya yang menampilkan senyumannya.
Lalu Triya melanjutkan ucapannya, "Oma saja sampai senang sekali berada di dekatnya. Dan ingin terus berada di sampingnya."
"Sampai merelakan rumah besar Oma hanya untuk para pembantu. Dan tinggal di sini bersamanya."
"Tapi sayang...." Menggantungkan kalimatnya dengan nada yang melirih dan kepala yang menunduk. Ruri yang melihat pergerakan itu ikut merasa sedih juga.
"Mengapa ada orang yang tega mencelakainya segala."
'Deg!'
Ruri tiba-tiba saja merasakan jantungnya yang tertusuk tajam. Dan itu rasanya sakit sekali sekaligus dengan sesak.
Entah mengapa seolah-olah ia kehabisan oksigen. Tetapi Ruri dengan cepat untuk menenangkan dadanya yang kembang kempis.
"Awalnya Oma tidak menyangka. Jika Maya bisa terlebih dahulu pernah sebelum Oma."
"Dan Oma juga merasa sakit hati sekali pada orang yang sudah berani menghilangkan nyawa Maya."
"Oma tidak akan diam saja dan berdiam di tempat seperti orang bodoh."
"Walaupun Revin menyuruh Oma untuk tidak ikut campur urusannya itu."
"Oma akan cari!! Sampai ketemu! Dan tidak akan mengampuninya juga." tegas Triya yang menekankan ucapannya.
***