Dengan cepat Ruri langsung saja membalikkan tubuhnya. Dan berjalan keluar dari kamar Revin. Lalu ia menyenderkan tubuhnya di dinding.
Dada yang kembang kempis, napas yang tersengal-sengal juga. Ruri takut sekali jika Revin akan macam-macam dengan dirinya.
Kemudian Ruri memegang dadanya sejenak. "Astaga." Mengatur napasnya agar menjadi lebih tenang.
Dan ketika sudah tenang. Ruri malah jadi terbayang tubuh Revin yang benar-benar bagus dan juga seksi. "Aku mikir apa sih?!!"
Menepuk-nepuk kedua pipinya secara bersamaan dengan mata yang terpejam dan juga kepala bergeleng-geleng. Ruri harus cepat menghilangkan pikiran itu.
"Pergi!! Pergi!!!" pekiknya. Waktu bayangan tersebut terus saja menghantui benaknya dan tidak ingin pergi sama sekali.
"Gak!! Gak!! Pergi!!" Masih dengan mata yang terpejam. Sampai-sampai Ruri memukul-mukul kepalanya agar bayangan itu menghilang. Tetapi malah semakin liar dan menjadi-jadi dibenaknya.
Ruri malah membayangkan. Nanti dirinya yang akan berada di bawah kukungan Revin dengan otot-otot perutnya yang nanti akan menyentuh kulitnya dan juga.....
"Argh!!! Pergi jauh-jauh!!!" teriaknya dengan suara yang kencang. Sampai Revin yang mendengarnya langsung saja mengerutkan dahinya.
Kemudian, karna Revin penasaran. Ia mulai melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Terlihat Ruri yang sedang menggeleng-gelengkan kepalanya secara terus-menerus.
"Gak!! Itu gak akan mungkin!!!" ucapannya yang terdengar begitu jelas di telinga Revin.
Lalu Revin maju satu langkah untuk mendekat ke arah Ruri. Tangannya bergerak secara perlahan untuk menyentuh bahu Ruri.
Baru saja mengenai sedikit. Tetapi Ruri langsung saja terkaget dan bergerak menjauh darinya. "Jangan!!"
"Ada apa?" Revin bertanya kepada Ruri yang sedang dilanda kegugupan ketika melihatnya. Waktu maniknya saling bertemu saja Ruri langsung saja memutuskannya dan menundukkan pandangannya ke bawah.
"Tu-Tu-Tuan....." Gugupnya. Dan Ruri tidak menyangka jika ada Revin dihadapannya ini. Semakin membuat dirinya menjadi tidak tenang.
Apalagi ada orangnya langsung. Sepertinya Ruri harus segera pergi dari sini. Ia tidak ingin Revin mengetahui kenapa dirinya yang bisa seperti ini.
"Saya permisi." Dengan cepat membalikkan tubuhnya dan juga melangkah untuk pergi. Tetapi tiba-tiba saja tangan Revin menahan pergelangannya.
Ruri menahan mati-matian agar dirinya tidak lagi terlihat gugup atau juga dengan pikirannya yang malah semakin berkeliaran kemana-mana.
"I-iya, ada yang bisa saya bantu Tuan?" tanyanya masib dengan posisi tubuh yang semula.
Lalu Revin melepaskan tangan Ruri dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kenapa tiba-tiba saja Revin menahan Ruri untuk pergi.
"Kenapa?" Revin bertanya karna memang masih penasaran dengan hal tadi.
"Apa yang terjadi?" Ruri yanh mendengarnya langsung saja menggeleng-gelengkan kepalanya secara cepat. "Tidak. Tidak apa-apa."
"Dan saya baik-baik saja." Menghadapkan tubuhnya ke arah Revin. Kemudian Ruri menarik sudut bibirnya tipis.
"Maaf jika tadi menganggu Tuan yang sedang istirahat." Ruri menatapnya. Akhirnya ia bisa menghilangkan rasa kegugupannya dan juga pikirannya yang benar-benar liar tak terkendali.
Padahal hanya melihat Revin yang telanjang dada saja. Bukan.... Kenapa Ruri jadi berpikiran yang buruk lagi. Bukankah dirinya ini sudah berhasil bisa menghilangkan itu.
Sepertinya Ruri membutuhkan istirahat. Agar ia bisa berpikir secara positif lagi bukan negatif.
"Tuan tadi kenapa menahan saya?" tanya Ruri yang melihat ternyata tangannya ini sudah dilepas oleh Revin. "Apa perlu bantuan?"
Revin masih belum menjawab pertanyaan Ruri. Ia malah memandanginya secara lekat. Berpikir mengapa Ruri tidak ingin memberitahu kepada dirinya atas kejadian tadi.
Padahal Revin jelas-jelas melihat kondisi Ruri yang sedang tidak baik-baik saja. Seperti ketakutan. Tetapi kenapa sekarang biasa saja. Dan malah terlebih sangat baik.
"Kalau memang tidak ada yang ingin diucapkan. Saya permisi dulu Tuan."
"Sekarang sudah jam istirahat. Lebih baik Tuan istirahat saja. Maafkan saya yang menganggunya tadi."
"Dan saya ke kamar Tuan itu ada alasannya. Karna saya ingin menawarkan bantuan kembali kepada Tuan."
"Siapa tau saja Tuan membutuhkannya. Untuk sekedar membuatkan teh hangat atau kopi."
"Bisa saja makan. Jika memang belum makan. Dan saya akan menyiapkan itu semua."
"Tetapi.... Jika tidak ada. Biarkan saya istirahat." Revin menganggukkan kepalanya sejenak. Lalu ia langsung saja berjalan masuk ke arah kamarnya.
Ruri yang melihat itu menghembuskan napasnya panjang. Kenapa Revin tidak lagi menjawab pertanyaan. Atau bisa saja menawarkan Ruri untuk tidur bersamanya gitu.
Padahal jelas-jelas Ruri sekarang sudah sah menjadi istrinya. Apa Revin lupa untuk hal itu. "Sepertinya sekarang aku lebih baik tidur saja."
"Makin tidak jelas!" Menepuk kepalanya dengan kencang. Bisa-bisanya Ruri berharap yang sudah pasti tidak akan pernah terjadi.
'Bodoh!' satu kata makian darinya untuk dirinya sendiri sekarang ini.
Keesokan paginya. Revin sudah siap dengan setelan kemeja dan juga celana jeans yang dipadukannya. Setelah sudah siap ia langsung saja keluar dari kamarnya.
Mengapa Revin pergi sangat pagi sekali seperti ini. Karna memang dirinya mau bertemu dengan Rio terlebih dahulu. Membahas kembali permasalahannya itu.
Dan memang benar. Ucapan Rio waktu itu yang akan mengirimkan data lengkap milik Ruri ke dirinya lewat surel. Waktu diliat dan cek isinya.
Revin menyampakan dengan salinan yang ia punya. Ternyata lebih lengkap yang diberi oleh Rio. Sayangnya ada beberapa hal yang belum terbaca secara jelas. Dan Revin akan segara mencarinya.
"Revin!! Sini turun dan sarapan bersama kami." suara pekikan Omanya membuat Revin tersadar dari lamunannya. Lalu ia melihat ke arah suara tersebut.
Benar sudah ada Ruri yang duduk di meja makan berserta dengan Omanya juga. Tunggu dulu mengapa Ruri ikut makan dengannya.
"Cepat!! Kenapa kamu masih saja di atas sana!!" ucapan Omanya membuyarkan pikirannya. Dan sekarang ia mengingat mengapa Ruri bisa duduk di meja makan nanti bersamanya.
Kemudian, Revin langsung saja menuruni anak tangga satu-persatu. Dengan jas yang berada di lengannya. Dan ia mendekat ke arah meja makan.
"Sarapan dulu. Kamu tumben sekali pagi-pagi sudah rapi dan ingin berangkat kerja. Ada apa?" Revin menjawabnya dengan gelengan kepala. Dan ia memutuskan untuk duduk di kursi meja Makan yang sudah lama sekali tidak pernah didudukinya akhir-akhir ini.
"Ruri. Tolong siapkan sarapan untuk suami kamu itu." Ruri yang mendengarnya langsung saja menganggukkan kepalanya dengan bersemangat.
Dan ketika tangannya ini ingin mengambil piring Revin. Dengan cepat Revin mencegahnya. "Tidak usah. Saya bisa sendiri." Mengambil alih piringnya dengan tangan Revin sendiri.
Dan ia juga yang mengambil beberapa roti untuk sarapannya kali ini. "Apa mau saya bantu untuk mengoleskan selainya?" Revin menggelengkan kepalanya.
Membuat perasaan Ruri jadi kecewa. Tetapi ia langsung saja menyembunyikannya. "Apa mau saya ambilkan air minumnya." Tidak ada jawaban dari Revin.
Dan ternyata Revin kembali mengambilnya secara sendiri. "Tidak perlu. Saya bisa sendiri." ucapnya seraya mengangkat gelasnya ke atas dan diteguknya juga.
Ruri yang melihatnya tersenyum kecut. Dalam hatinya ia berkata. 'Apa aku se-menjijikkan itu buat dirinya?'
Ketika tahu semua perhatian yang ditaruh pada Ruri untuk Revin ditolak.
***