Revin mengelus-elus dagunya, pandangan yang lurus serta pikiran yang terus saja berkeliaran kemana-mana. Revin jadi kepikiran dengan ucapan Omanya tadi pagi.
"Kenapa Oma tiba-tiba mencari pengasuh baru?" Bertanya pada dirinya sendiri dahi yang berkerut.
"Ada apa dengan Ruri?" Revin terus saja menerka-nerka dalam benaknya. Tiba-tiba saja lamunannya menjadi buyar waktu mendengar suara ketukan pintu. "Siapa?"
Revin teringat. "Masuk!!" ucapnya yang membangkitkan tubuhnya. Dan berjalan ke arah sofa.
Rio yang awalnya ingin menjawab pertanyaan dari Revin ia urungkan. Ketika mendengar kembali suara Revin yang mengizinkan dirinya masuk.
"Selamat pagi, Tuan Revin!" Menyapanya dengan menurunkan pinggungnya sejenak. Walau memang mereka teman sebaya. Tetapi Rio sekarang berusaha untuk tetap terus menghormatinya dan juga menjaga sikap ketika sedang bekerja. Beda lagi jika memang waktu santai dan ngobrol biasa.
"Duduk." Revin mempersilakan duduk dengan tangan yang menjulur. Rio yang mendengarnya langsung saja menurutinya dengan menarik kedua sudut bibirnya tipis.
Sedangkan Revin masih saja memikirkan alasan Omanya yang malah mendatangkan pengasuh baru lagi. Padahal ada Ruri. Lalu nanti, bagaimana dengan Ruri.
Menopang kepalanya dengan tangan kanannya yang membentuk siku. Menaikkan salah satu kakinya di atas lutut.
"Tuan. Ada masalah?" tanya Rio yang memulai percakapannya terlebih dahulu. Dan ia bisa mengatakan hal seperti itu karna memang terlihat jelas sekali dari raut wajahnya.
Revin masih belum meresponnya. Kini dia malah asik melamun. "Ada yang bisa saya bantu?" Rio menawarkannya dengan menatapnya lekat.
Tetapi pandangan Revin masih saja lurus. Tidak tahu objek apa yang dijemput oleh manik matanya ini. "Khem!!"
Rio berusaha untuk menyadarkan lamunan Revin. Tetapi cara itu masih belum juga berhasil. Terpaksa Rio menepuk bahunya pelan. "Tuan Revin."
Revin tersadar. "Ah, iya?!!" Menatap ke arah Rio yang sedang tersenyum lebar. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Sepertinya Tuan ada masalah." Revin mengubah sejenak posisi duduknya. Lalu ia malah memijat-mijat keningnya yang pening.
Masih belum menjawab pertanyaan Rio. Dan memang Rio sendiri juga tidak memaksanya sama sekali. "Baik, bagaimana jika kita langsung mulai saja Tuan."
"Apa Tuan baik-baik saja?" Revin menganggukkan kepalanya. "Gimana? Kamu sudah mencari tau seluruhnya?"
"Sudah. Dan ini yang pastinya dibutuhkan oleh Tuan." Mengeluarkan beberapa kertas dari dalam tasnya yang memang dibawa oleh Rio.
Menaruhnya di atas meja terlebih dahulu. "Saya sudah melengkapi seluruhnya."
"Dan Tuan bisa langsung periksa sendiri." Revin mengambil beberapa kertas tersebut. Dan mulai membacanya satu-persatu.
"Jadi...." Menggantungkan kalimatnya. Ketika sedang membaca. Lalu ia menatap Rio. Melanjutkan ucapannya. "Ruri bukan berasal dari keluarga kaya raya dan semacamnya?"
"Dia hanya seorang anak yatim piatu? Alasan kedua orangtuanya meninggal?" Revin bertanya. Sambil kembali menatap gulungan kertas tersebut yang memang belum semuanya Revin baca.
"Bisa dibilang seperti itu. Karna memang itu yang hanya saya bisa dapatkan." Revin menganggukkan kepalanya. Lalu, ia menaruh kertasnya kembali.
"Ada apa Tuan?" Melihat Revin yang tidak membaca semuanya. Revin menggelengkan kepalanya. "Kasus Maya bagaimana?"
Rio berdiam sejenak. Dahi yang berkerut dan bola mata yang bergerak-gerak tidak tenang. "Tunggu dulu, memangnya Tuan menyuruh saya untuk mencari kasus Maya?"
"Bukannya.... Cari terlebih dahulu tentang Ruri ini. Setelah semuanya sudah selesai, baru nanti kasus Maya." Revin yang mendengar secara refleks menepuk dahinya dan juga menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kamu benar. Sekarang kamu selidiki kasus Maya. Karna itu semua menurut saya sudah cukup." Rio mengangguk mengerti. "Tapi, Apa Tuan tidak ingin bercerita sedikit tentang kasus yang baru saja saya selidikin."
"Dan juga Maya." ucap Rio yang memang ia hanya menurut saja jika disuruh oleh Revin. Tanpa mengetahui ceritanya dulu.
Revin mendelik tajam. "Bukannya saya sudah bercerita pada kamu? Kurang jelas apalagi?!" Nada yang berubah menjadi tinggi dan juga dingin.
"Hanya sedikit. Tidak terperinci. Dan saya juga penasaran dengan itu." gumamnya nada yang memelan. Tetapi Revin cukup mendengarnya secara jelas.
Ia melayangkan tatapan tajamnya. "Turuti saja apa yang saya minta. Bayarannya saja sudah jelas masuk ke rekening kamu." Rio yang mendengarnya tiba-tiba langsung saja menyengir secara lebar.
"Santai Bro. Santai dong. Jangan terlalu serius-serius kaya gitu." Menepuk bahu Revin yang diakhiri dengan kekehan kecil hingga terlihat deretan giginya.
"Sekarang Lo kerja apa?" tanya Revin yang membuka kancing jasnya dan juga sedikit mengendurkan dasinya. Ia ingin berbicara santai saat ini dengan Rio.
Bukannya menjawab. Rio malah tersenyum lebar. "Kok gue ngerasa geli banget tadi. Pake logat saya-kamu. Berasa kaya lagi pacaran." ucapnya yang diakhiri dengan cekikikan.
"Itu namanya attitude. Apalagi gue bosnya." Rio menganggukkan kepalanya. "Dulu, gue kerja di bagian IT sih. Tapi gara-gara ada masalah. Gue dipecat. Dan sekarang hanya sebagai jasa."
"Jasa seperti menyelidiki orang sesuai dengan ketentuan klien gue. Dan gue mengerjakan apa yang diperintahkan."
"Dengan bayaran ya.... Cukup buat hidup gue." Diakhiri dengan senyum merekah.
"Istri? Anak?" Rio tiba-tiba langsung saja tertawa keras mendengar pertanyaan Revin barusan. Diikuti dengan kepala yang bergeleng-geleng.
"Lo ngapain nanya itu?" Revin menaikkan salah satu alisnya. "Lo sendiri aja sekarang hidup sendiri kok." Rio malah meledek Revin.
Dan ia masih saja tawanya. Padahal tidak ada yang lucu sama sekali yang harus ditertawakan. Tapi mengapa Rio bertawa.
Bicara soal tertawa. Sepertinya Revin sudah lama sekali tidak tertawa. Ah, apa itu tertawa. Seolah-olah itu tidak pernah ada di dalam hidupnya ketika Maya pergi.
Padahal sebelum-sebelumnya. Revin sering sekali tertawa karna menjahili Maya dan juga melihat tingkah laku Maya yang terkesan sangat lucu dan menggemaskan.
Jangan-jangan Revin tidak bisa tertawa lagi karna Maya sudah tidak ada. Tapi memang seperti itu kenyataannya.
"Hey!!" Tepukkan dari Rio yang kembali menyadarkan lamunannya. "Huem?" Berdehem, menatapnya malas.
"Lo kenapa sih melamun terus?" tanyanya yang memang pertanyaan ini yang sedari tadi ingin Rio tanyakan kepada Revin.
Waktu pertama kali datang dan melihatnya banyak masalah. Tetapi, ia harus terlihat perfeksionis dalam bekerja.
Maka dari itu Rio simpan terlebih dahulu untuk nanti ada waktu yang senggang dan santai.
Revin masih belum menjawab. Ia malah menghela napasnya panjang. "Perasaan permasalahan hidup gue deh yang lebih miris dari Lo."
"Tapi kenapa Lo kayanya sekarang lagi banyak masalah banget."
"Apa itu masih seputaran tentang Maya dan Ruri pengasuh Oma Lo itu?" Revin menjawabnya dengan gelengan kepala. "Terus?"
"Lo permasalahan apa sekarang? Cerita aja siapa tahu gue bisa bantu." Rio menatapnya lekat. Dan memang manik itu dibalas oleh Revin.
"Gue mikirin kenapa Oma gue malah mencari pengasuh baru, jelas-jelas Ruri ada."
"Dan kenapa juga Ruri nantinya harus tidur sama gue?" Rio yang mendengarnya mengerutkan dahinya. Apalagi dengan kalimat terakhir yang menurutnya tidak masuk akal.
"Mak-mak-maksud...."
****