Revin turun dari mobilnya. Dan masuk ke dalam rumahnya yang masih terang benderang. Menatap ke arah sekeliling rumahnya.
Dan tatapannya tersita pada Ruri yang sedang tidur di atas sofa. Dahi Revin berkerut sejenak. Bertanya-tanya mengapa Ruri melakukan hal itu.
Apa jangan-jangan karna menunggu dirinya pulang. Atau.... Dengan cepat Revin menggelengkan kepalanya menepis pikiran yang ada di benaknya ini.
Lalu ia memasukkan kedua tangannya di dalam kantong celananya. Dan mulai melangkahkan kakinya ke arah kamarnya.
Revin tidak mempedulikan Ruri. Walau memang sudah menjadi istrinya. Lagi pula tidak ada yang menyuruhnya untuk tidur di sofa menunggu dirinya.
Ketika ingin melangkah menaiki anak tangga. "Tuan Revin sudah pulang?"
Suara yang sangat familiar. Membuat Revin mendadak memberhentikan langkahnya. Tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun.
"Tuan. Apa Tuan sudah makan?" tanya Ruri yang melangkah mendekat ke arah Revin. Tetapi Revin melanjutkan langkahnya kembali.
"Tuan. Bilang saja jika belum makan malam. Nanti saya akan panaskan makanannya."
"Dan kenapa Tuan pulangnya malam sekali?" Ruri bertanya dengan rasa penasaran juga. "Tuan habis dari mana?"
"Tuan kenapa tidak memberi tahu saya jika ingin pergi?" Ruri masih berusaha menanyainya. Walau tau itu semua tidak akan dijawab.
Dan melihat Revin yang sudah masuk ke dalam kamarnya tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali. Ruri menghela napasnya panjang.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" Menggigit bibir bawahnya. Dengan kedua tangan yang bertolak di pinggangnya.
"Bagaimana aku mau melayaninya. Jika Tuan Revinnya saja sendiri menolak." Mengusap wajahnya secara kasar.
"Apa nanti Oma akan marah kalo aku...." Menggantungkan kalimatnya sejenak. Dengan kepala yang langsung saja bergeleng-geleng.
"Dari pada aku kena marah. Lebih baik aku tawarin aja lagi. Siapa tau Tuan Revin mau dibuatkan teh biar tidurnya nyenyak." gumam Ruri yang berjalan menaiki anak tangga secara perlahan ke arah kamar Revin.
Jantungnya sangat berdebar sekali. Apalagi jika nanti dirinya akan kena marah atau juga caci maki karna terus saja menganggunya.
Tapi mau bagaimana lagi bukannya, 'kah tugas istri memang seperti itu. Dan Ruri mau berusaha sebaik mungkin jadi seorang istri.
Walau memang ia belum mengetahui apa alasannya Revin menikahinya. Mustahil rasanya jika tanpa alasan sama sekali.
Dan Ruri harus cepat mengetahui hal itu. Agar dirinya juga nanti tidak terjebak oleh permainan yang direncakan oleh Revin.
Ketika sudah sampai di depan kamarnya Revin. Tangannya ini bergetar untuk mengetuk pintu. "Apa dia sudah tidur?"
Tanya Ruri pada dirinya sendiri. Waktu tidak mendengar suara apapun dari dalam kamar ini. Ruri memutuskan untuk mendekatkan telinganya pada pintu kamar Revin.
"Sepertinya benar dia sudah tidur." Menjauhkannya kembali. Ruri jadi bimbang apa yang harus dilakukannya sekarang.
Ingin menawarkan dirinya kembali untuk membantu keperluan Revin. Tetapi takut menganggu. Dan Ruri akan kena marah besar.
Apa sebaiknya tidak usah saja dan kembali tidur di kamarnya. Karna waktu ucapan Omanya untuk tidak tidur terlebih dahulu.
Membuat Ruri akhirnya menunggu Revin sampai tengah malam. Dan ia paksaan untuk tidak tidur. Walau matanya sudah benar-benar mengantuk dan juga badannya yang pegal.
Tetapi ketika sudah pulang. Ruri mencoba untuk menyambut secara hangat. Tapi balasannya begitu dingin tak tersentuh.
"Mau bagaimana pun aku istrinya sekarang. Jadi.... Lebih baik aku coba tawarkan saja lagi." gumam Ruri yang tiba-tiba berubah pikiran.
Lalu ia menganggukkan kepalanya secara berulang-ulang dan berkata. "Ya, aku harus kasih dia perhatian. Dan juga menjadi istri yang baik."
Membalikkan tubuhnya kembali menghadap ke arah pintu kamar Revin. Kemudian Ruri kembali mengangkat tangannya yang memang bergetar untuk mengetuk pintunya.
Tetapi Ruri berusaha untuk menyakinkan dirinya sampai akhirnya berani untuk mengetuk.
'Tok.... Tok....
Tidak ada jawaban dari dalam. Membuat Ruri jadi cemas. "Ah, lebih baik aku gak usah ganggu dia saja." Ruri kembali merubah pikirannya. Dan ia membalikkan tubuhnya melangkahkan kakinya untuk pergi.
Tetapi tiba-tiba saja perasannya menjadi tidak enak. Serta pikiran negetif yang memenuhi benaknya. "Pasti dia baik-baik saja."
"Argh!! Gak mungkin!!" gerutunya ketika pikirannya ini terus saja berpikiran macam-macam tentang Revin yang memang tidak terdengar suaranya sama sekali.
Sepertinya Ruri harus memastikan. Agar pikirannya dan juga hatinya menjadi tenang. Ruri kembali mengetuk beberapa kali pada pintu kamar Revin.
Tidak ada jawabannya. Kemudian ia memutuskan untuk menekan gagang pintunya dan secara perlahan mulai memasuki kamar Revin.
Jantungnya semakin berdetak tak karuan. Dan Ruri berusaha untuk tetap tenang. Ia takut terjadi apa-apa dengan Revin.
"Tu-Tu-Tuan... Tuan Revin." Panggilnya dengan nada yang gugup. Ruri menatap ke arah sekeliling kamar Revin. Dan memang ia tidak melihat keberadaan Revin.
"Tuan Revin ada di mana?" tanyanya yang menolehkan kepalanya ke arah kanan dan kiri.
"Dia pergi kemana? Kok gak ada?" Melangkah lebih dekat ke arah ranjangnya. Siapa tau Revin memang terlelap dan tertutup oleh selimut.
"Tu-Tuan!!!" panggilnya kembali dengan suara yang lumayan keras.
"Tuan ada di mana?" Menatap ke arah sekitarnya. Dengan perasan yang menjadi tidak enak.
Ruri terus saja mencari dengan pergerakan matanya. Tiba-tiba saja tatapannya tersita pada pintu kamar mandi.
Dan memang ada suara juga di dalamnya. Mungkin Ruri bisa menghampirinya untuk memastikan bahwa Revin sedang mandi.
"Sepertinya memang Tuan Revin sedang mandi." gumamnya yang
mendekatkan telinganya pada pintu kamar mandi.
Tetapi tiba-tiba saja Ruri merasakan pintu kamar mandinya yang terbuka. Membuat dirinya hampir saja terjatuh jika tidak siap untuk berpegang pada dinding dan juga
menyeimbangi tubuhnya.
"Astaga!!" pekiknya yang terkejut luar biasa. Dengan dada yang kembang kempis.
Lalu, Ruri langsung saja menarik kembali tubuhnya. Dan menegakkannya. Betapa terkejutnya ketika tahu Revin yang telanjang dada.
"Aaaaaa!!!" Ruri sontak berteriak. Menutup seluruh wajahnya dengan kedua tangannya. Dan ia juga tak lupa berjalan mundur.
Sampai-sampai menabrak ranjangnya. Dan jatuh terduduk di atas lantai.
Revin yang melihat itu hanya menaikkan salah satu alisnya. "Pergi." Mengucapakannya dengan raut wajah yang datar dan juga suara yang dingin.
Ruri mendengar itu. Menelan salivanya dengan susah payah. Ternyata memang benar-benar. Revin tidak membutuhkan apa-apa darinya.
Bukannya bertanya kenapa Ruri bisa masuk ke dalam kamarnya. Tetapi Revin malah langsung saja mengusirnya. Mungkin memang ia harus segera pergi.
"Ma-maaf Tuan. Maaf saya sudah lancang masuk ke dalam kamar Tuan."
"Say-saya bisa jelaskan kenapa—" ucapannya langsung saja dipotong oleh Revin. "Pergi!!"
Kali ini dengan suara yang sedikit menyeramkan. Ruri menundukkan kepalanya dalam-dalam. Lalu ia mulai membangkitkan tubuhnya secara perlahan untuk pergi.
"Tapi Tuan. Saya masuk ke sini ada alasannya." Ruri masih berusaha untuk menjelaskannya agar tidak terjadi salah paham.
"Dan memang ingin menawarkan teh hangat untuk Tuan. Mungkin dengan meminum itu bisa membuat tidur Tuan tenang."
"Tetapi ketika saya mengetuk—" ucapannya mendadak berhenti. Melihat langkah Revin yang malah mendekat ke arahnya.
'Dia ingin apa?' batinnya yang mulai tidak tenang.
***