Ruri jadi kepikiran dengan ucapan Oma Triya barusan dan yang bisa lakukan ia sekarang hanya menghela napasnya saja berulang-ulang.
Pikiran yang memang terus saja berkeliaran kemana-mana. Entah kenapa tiba-tiba Ruri jadi tergoda dengan sebagian harta milik Oma Triya yang nantinya akan diberikan kepadanya.
"Aku harus gimana ya?" gumamnya yang menggaruk-garuk kepalanya tidak gatal. Ruri malah jadi bingung sendiri.
Sekarang ia sedang berada di dapur membuat makanan untuk Oma Triya nanti sarapan dan minum obat.
"Apa aku kabulin aja permintaannya?" ucap Ruri yang terbesit hal tersebut di benaknya. "Tapi...."
"Kalau dia nanti...." Menggantungkan kalimatnya dengan rasa yang belum yakin pada dirinya sendirinya.
"Huft!" Menghembuskan napasnya secara perlahan. Dan Ruri memutuskannya untuk melanjuti perkejaannya saja. Daripada harus memikirkan hal itu yang membuat kepalanya pening.
Tak lama kemudian, akhirnya masakan buburnya juga jadi. Ia langsung saja menyiapkannya tak lupa dengan obat-obatan yang nanti akan di minum setelah makan.
"Oma...." Panggilnya dengan kepala yang menengok ke arah kanan dan kiri.
Pandangannya tersita ketika melihat Oma Triya yang sedang memandangi foto pernikahan Tuan Revin dan Maya.
Ruri hanya tersenyum tipis saja. Lalu ia melangkahkan kakinya untuk menaruh makanannya ini terlebih dahulu di meja.
Kemudian ia menghampiri Oma Triya dengan mata yang berkaca-kaca. Dan mengelus-elus secara perlahan foto tersebut.
"Oma...." panggil Ruri dengan nada yang pelan. Karna takut nanti mengagetkannya.
Oma Triya hanya menolehkan kepalanya. "Ada apa?"
"Kita makan dulu. Nanti setelah itu minum obat dan Oma boleh istirahat." Triya menjawabnya hanya dengan sebuah anggukkan. Kemudian ia dengan berat hati menaruh foto tersebut di tempatnya. Dan Ruri mendorong kursi roda itu menuju meja makan.
Sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari. Dan bisa dibilang pekerjaan yang memang seperti ini terus.
Dengan telaten dan tulen Ruri menyuapinya. Perlahan-lahan. Tidak terburu-buru apalagi memaksanya segalanya.
"Perlu bantuan Oma?" tanya Ruri ketika tatapan Oma Triya terus saja mengarah kepadanya.
Dengan tatapan yang berbeda juga. Sudah dipastikan ada maksud dari tatapan tersebut. "Oma menginginkan apa?"
"Apa rasa buburnya yang terlalu hambar?" Melihat ke arah mangkuk yang memang sedang dipegang di tangannya ini.
"Atau—" Triya memotongnya dengan gelengan yang lambat. "Masih sama, hampir sama tidak ada yang beda soal rasa."
"Aku menginginkan jawabanmu." Dahi Ruri langsung saja berkerut. Jawaban apa yang memang diinginkan oleh Oma Triya kepadanya.
Ah, Ruri tersadar sekarang. Dan ia responnya hanya dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam dan menghembuskan napasnya juga perlahan.
"Dengan tinggal serumah. Ku kira kamu sudah memahami seluruh perlakuan Revin bagaimana."
"Maka dari itu aku memintanya kepadamu." Triya membuang wajahnya sembarangan.
"Dan aku juga gak akan mungkin memilihmu jika.... Kau nantinya akan sama saja dengan wanita lainnya di luaran sana." kalimat akhir dengan nada yang ketus. Ruri yang mendengar hal itu sontak mengangkat kepalanya. Kenapa tiba-tiba saja dirinya jadi dibandingkan dengan wanita lain.
Memangnya Triya berpikiran apa soal dirinya ini. "Maaf Oma, mengapa.... Mengapa Oma memilih aku?"
"Jika banyak wanita di luaran sana yang memang melebih-lebihi apapun. Mengap—"
"Kau sudah cukup lama juga bekerja di sini. Dan pastinya kau memperhatikan gerak-gerik Revin ketika sedang bersama Maya bagaimana."
"Dan bagaimana juga Maya bisa mengontrol emosinya Revin ketika sedang meluap. Akibat kesalahan-kesalahanmu dulu."
Tiba-tiba saja pikiran Ruri jadi melayangkan jauh pada kejadian-kejadian yang memang sangat mengenaskan bagi dirinya sendiri yang memang kadang suka terkena marah oleh Revin.
Tapi sayangnya, ia tidak pernah mengambil hati sama sekali. Akibat dari kebaikan Nyonya Maya yang malahan selalu saja meminta maaf kepada dirinya. Ketika Revin sedang memarahinya habis-habisan.
"Bagaimana?" Ruri langsung saja tersadar dengan ucapan Oma Triya. "Apa kamu mengingat semuanya?"
"Apa kamu memperhatikan semuanya?" tanya Triya dengan menatap lekat manik Ruri yang memandang lurus.
"Apa kamu juga bisa memahaminya?" Seketika Ruri langsung saja kembali menundukkan kepalanya.
"...." Tidak ada jawaban sedikitpun yang keluar dari mulut Ruri. Jujur sekarang ia sedang dilema. Dilanda kebingungan dengan apa yang harus ia lakukan nanti.
Triya yang melihat reaksi Ruri barusan. Hanya bisa menghela napasnya saja. "Aku tidak memaksa."
Ruri yang mendengar hal seperti itu. Kenapa tiba-tiba saja dadanya menjadi sesak sekali. Rasanya ia tidak rela dan terima dengan ucapan barusan.
Apa perjuangan Oma Triya hanya segitu saja untuk menyakinkan dirinya. Tapi kenapa, kenapa Ruri merasa tidak rela sekali.
Tetapi bukankah hal itu yang ia harapkan. Mengapa.... Mengapa dadanya malah semakin sesak. Apa yang harus ia lakukan sekarang.
"Aku tidak memaksamu untuk menjawabnya sekarang. Kau bisa memikirkannya kembali." Ruri merasa lega sekali mendengarnya. Dadanya juga sudah tidak terasa sesak.
"Sampai nanti aku dapat pengganti yang baru untuk Revin." Ruri menganggukkan kepalanya. Sepertinya ia harus memutuskan secepatnya juga.
Dengan banyak pertimbangan nantinya. Dan juga rasa kesiapan yang matang-matang. Karna memang Revin bukan orang main-main. Dia licik dan kejam. Tetapi permainan yang dimainkannya begitu lambat.
Sehingga Ruri bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan nantinya.
"Ruri." panggilnya dan Ruri langsung saja tersenyum tips sebagai jawabannya. "Perlu bantuan Oma?"
"Jalan-jalan di kompleks sebentar." Ruri dengan cepat menggangukkan kepalanya. Dan ia pun menyelesaikan pekerjaannya yang tadi.
Ternyata tanpa disangka-sangka Oma Triya melakukannya sendiri untuk menghabiskan makanannya dan juga meminum obatnya.
Sepertinya Ruri tidak terlalu memperhatikan itu. Karna memang biasannya ia yang selalu saja membantunya.
Ruri langsung saja membereskannya dan menaruhnya di dapur. Entah kenapa ia selalu saja kepikiran dengan ucapan Oma Triya barusan.
Dan itu benar-benar membuat dirinya menjadi tidak tenang serta berpikir apa yang harus ia lakukan. "Mengapa ini menjadi sulit sekali."
"Aku harus mengabulkannya apa menolaknya?" gumamnya yang masih dipenuhi dengan pertanyaan tersebut.
Sedangkan di sisi lain. Revin tampak sibuk dengan ruangan kerjanya. Ia harus segara menyelesaikan pekerjaannya secepatnya juga.
Agar dirinya bisa memikirkan rencana apa yang nanti akan dijalankannya kembali. Tak lupa ia juga terus saja mencari informasi menggalinya dalam-dalam orang yang sudah mencelakai istrinya itu.
Revin tidak akan pernah melepaskankannya sedikit pun nanti. Dan ia juga akan membuatnya mengaku kepada keluarganya nanti.
Agar dirinya juga tidak dicap sebagai suami yang tidak bertanggungjawab atau tidak bisa menjaga istrinya dengan baik dan benar.
Revin selalu saja menjaganya dengan cara apapun. Dan tidak pernah terbayangkan jika ada orang yang bakal mencelakainya segala.
Intinya Revin akan terus mencari siapa orang tersebut dan ada masalah apa dengan istrinya. Padahal istrinya ini sangat baik sekali pada orang lain dan siapapun.
Dan Revin merasa istrinya ini tidak memiliki dendam pada orang lain atau sebaliknya, juga Maya selalu saja bersaing dengan cara sehat.
"Apakah menikahinya nanti bisa membuat itu semua terkuak?" Pikiran yang terbesit di benaknya dengan ucapan Omanya tadi pagi.
***