Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Garis Takdir The Series

Vince_Gea
--
chs / week
--
NOT RATINGS
8.7k
Views
Synopsis
Ragalen Noel, pria yang muncul dari buah cinta kedua orangtua, namun kelahirannya malah menuai kebencian dari ayah kandungnya sendiri. Galen dibenci, tidak di pedulikan, karena sang ayah menganggapnya sebagai penyebab kematian sang ibunda. Hingga suatu hari, sang ayah benar-benar berniat mengasingkannya. Mengirimnya ke luar kota, jauh dari satu-satunya orangtua yang ia punya. Memberontak pun rasanya percuma, sang ayah punya seribu satu cara untuk membuatnya tak berkata. Hal itu pula yang membawanya bertemu dengan satu sosok yang malah berhasil membuatnya menghangat hanya karena perhatian yang perempuan itu berikan. Mirisnya, perempuan itu sudah memiliki pria yang dicintai sepenuhnya. Lantas, di sinilah Galen berharap agar takdir bekerja. Untuk kali saja, biarlah takdir berpihak padanya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Jejak Kelam Ragalen Noel

Galen seperti tidak habisnya menerima ujian dalam hidupnya.

Pada Saat ia menerima kelulusan waktu kelas SD, ia ingin memberitahu omanya, Kalau ia rengking satu.

Omanya tidak bisa menemani saat pembagian raportnya, omanya tengah sakit. maka dari itu anak laki-laki kecil itu di temani oleh bibi Sri pada pembagian raport.

Anak polos itu tersenyum lebarnya tak pernah memudar, ketika ia membayangkan wajah keriput omanya berbinar bahagia, bahwa durinya peringkat satu dan kelulusan terbaik di sekolahnya.

Ia tak sabar untuk menemui omanya.

Senyuman anak itu perlahan luntur ketika mata bulat bewarna coklat jernih itu melihat mendera kuning berkibar di rumahnya yang di tempatinya.

Raport yang genggamnya pun terjatuh, menatap rumah itu dengan tatapan kosong. otaknya mencerna pada situasi yang dialami saat ini.

Tepuk bahu membuat anak itu tersadar lalu menoleh.

Dilihatnya pria paruh baya itu yang mengenakan warna baju hitam yang melekat di tubuhnya.

"Dek, gak masuk?" tanya pria paruh baya itu dengan tatapan sendu.

"Om siapa yang meninggal?" Lirih bibir mungil itu bergetar, tubuh anak mungil itu mengigil, shok dengan keadaan di rumahnya banyak orang, jangan lupakan bendera kuningnya yang ada di rumahnya.

"Adek, yang sabar ya?" ucapnya hati-hati. Tangan nya mengelus rambut tebal pria mungii itu.

"Mak-sud om?"

"Oma kamu meninggal nak."

Detak jantung anak laki-laki itu seakan berhenti berdetak saat itu juga.

"Dek."

Anak laki-laki itu seketika tersadar lamunannya.

Lalu anak itu berlari kencang, tak menghiraukan tatapan-tatapan iba di layangkan olehnya, yang terpenting adalah omanya yang ada di dalam.

Ia tidak percaya pada ucapan pria paruh baya itu, ia yakin pasti omanya hanya becanda atau prank semacam apalah itu karena dirinya mendapatkan rengking satu.

Pasti omanya memberikan kejutannya seperti itu.

la sangat yakin itu. Tapi?

Kepercayaan dirinya terbubuh sudah ketika melihat begitu banyak orang yang membetuk melingkar.

Di tengahnya terdapat seseorang terbaring kaku dilapisi kain putih.

Kaki kecil anak itu melangkah pada seseorang yang ada di balik kain itu.

Orang yang ada di situ menyingkir, mempersilahkan anak kecil yang rapuh itu, menghampiri Mina yang terbujur kaku.

Sudah sampai pada orang terbaring di sana.

Lalu tangan mungil anak itu dengan bergetar membuka di balik kain itu.

Tangisan anak itu bagitu sangat pecah, ja melihat itu omanya, iya itu omanya yang sudah terbujur kaku dengan tersenyum tipis dari bibir pucatnya.

Hatinya sangat teriris.

Anak laki-laki itu tersedu-sedu sembari memeluk omanya.

"Oma, kenapa tinggalin Galen?" lirihnya dengan bibir bergetar.

"Oma, padahal aku dapat rangking satu Oma."

"Oma, pasti banggakan, sama Galen?" "Oma, udah janji sama Galen kalo mau lihat raport ku, ayo buka matanya Oma...," lirihnya, bola matanya berbinar penuh harap.

"Apa oma tidak mau melihatnya, sebentar saja Oma?"

"Oma, Ayo Oma buka matanya!" Jerit anak itu, tangisanya semakin kencang.

Semua menatap anak kecil itu, dengan rasa iba.

Lain halnya dengan Dirga ia tak peduli dengan anaknya.

Anak mungil itu tak percaya oma sudah tidak ada. Omanya telah menyusul Ibunya di surga.

la terpukul

Sangat terpukul.

Anak laki-laki kecil itu meraung-raung menyebutkan nama omanya, memukul dadanya yang begitu menyesakkan.

Kenapa? Kenapa dunia ini tidak adil untuknya? Apa salahnya.

Apa kelahirannya di dunia ini adalah suatu kesialan? Apakah kelahirannya hanya untuk di benci semua orang.

Bahkan di dunia ini Hanya omanya lah yang mengerti.

Omanya! Tapi tuhan telah mengambilnya.

Hidupnya kini telah berantakan tanpa adanya bimbingan.

***

Sudah seminggu Galen mengurung diri di kamarnya, semua pembantu yang ada di rumah besar itu, tentu saja gelisah takut terjadi apa-apa pada majikan kecilnya.

Sudah lima belas menit lamanya pintu itu akhirnya terbuka, terlihat jelas bahwa Galen tak baik-baik saja.

Pembantu itu langsung membawa pria kecil itu di larikan ke rumah sakit terdekat, dengan kondisi yang sangat memperhatikan.

Sudah tiga hari pula pemuda kecil itu tersadar dari pingsannya. Kondisinya sudah berangsur membaik.

Dan Selama seminggu papanya — Dirga, tak pernah sekalipun menjenguknya, sekarang pria kecil itu seorang diri.

la benar-benar seorang diri. Tidak ada lagi yang memperhatikannya.

Tidak ada lagi mengelus kepalanya jika ia ingin tidur.

Tidak ada lagi memberinya kasih sayang. Tidak ada lagi!

Galen tersedu-sedu di rumah sakit seorang diri.

"Oma, ibu, aku ingin ikut bersama kalian. tolong bawa aku, aku sendirian di sini, aku takut." Galen melirih, tak terasa air matanya terjatuh di pipi tegasnya.

Hatinya sangat sakit dan sesak untuk menerima itu semuanya.

***

Setelah satu minggu di lewati di rumah sakit, kepribadian pemuda kecil itu, lebih tak tersentuh.

Dengan lambat laun tanpa didikkan dari papahnya yang ia punya satu satunya, pria itu menjadi seseorang yang nakal.

Pemabuk!

Tawuran!

Pembuat onar!

Tak mendidik sekalipun pada pria itu.

Dan Sekarang pria itu menjadi bertambah tampan dengan usia remajanya.

Sekarang Galen masuk kelas 3 SMA.

Tapi sayang entah kesialan apa untuk Galen hari ini, kini dirinya di keluarkan dari sekolahnya karena telah membuat teman salah satu di sekolahnya sekarat dengan pukulannya.

Padahal pria itu banyak sekali permasalahannya di sekolahan ini, Galen tidak sekali ataupun dua kali berkelahi dengan sesama jenisnya.

Pak kepala sekolah tidak berkomentar apapun tentang tingkah laku murid satu ini. Beliau Sudah lelah dengan perilakunya selama ada di sekolah ini.

Kabar Galen yang di keluarkan dari sekolah Sanjaya menggemparkan. Jelas saja sangat di sayangkan untuk para gadis-gadis di sekolah itu, Galen adalah most wanted di sekolah ini.

Meskipun pria itu cuek, dingin, tak tersentuh ini, pria tampan itu banyak sekali digandrungi para gadis di sekolahnya.

Galen memang tak ingin menjalin hubungan dengan siapapun, karena ia selalu teringat oleh perkataan omanya.

Berita ini adalah berita kesedihan untuk semua gadis-gadis yang menyukainya.

***

"Kamu itu selalu menyusahkan saya, kamu memang tidak berguna dan sudah memalukan saya! Kelahiranmu di dunia ini adalah sebuah kesialan. Jika bukan karena kehadiranmu mungkin saja istri saya masih hidup sampai sekarang!" sungut Dirga, ia berdiri menghadap anaknya yang tengah duduk di sofa singlenya.

Perkataan papanya begitu menohok.

Begitu menyayat hatinya. Seperti tertusuk oleh belati, yang tak kasat mata.

Begitu sakit di dalam rongga dadanya.

Mata Galen mulai memerah, bahkan sudah berkaca-kaca. kedua tangannya mencengkeram sisi sofa kuat-kuat.

"Saya akan menyekolahkan kamu di Jakarta." Pria itu menatap tajam ke ayahnya.

"Gua gak mau!" tegasnya. Sambil menunduk kepalanya, agar tak terlihat bahwa ia sebentar lagi akan menangis.

"Saya tidak perduli, kemasi barang-barangmu. Nanti besok berangkat ke Jakarta."

"Kenapa cuma gua yang pindah?" tanya Galen, tangannya masih mencengkram sisi sofa itu.

Dirga terkekeh sinis, "Saya sibuk. Mengurusimu itu tidaklah penting bagi saya. Ada yang lebih penting sekedar mengurusimu, yaitu perusahaan saya yang ada di sini," Jawabnya santai.

"Kamu membuang waktu saya yang berharga. Lagipula sudah ada yang mengurus ke pindahanmu di sana." Dirga setelah mengucapkan itu, Ia langsung meninggalkan putranya yang tengah duduk di sofa itu.

***