"Kenapa kau pergi, hm? Aku sengaja menyusulmu ke sini. Apa tidak ada sesuatu yang ingin kau jelaskan padaku?"
"Apa maksudmu?" Lusi menatap Arkan bingung. Mengapa pria itu tiba-tiba meminta penjelasan? Memangnya kesalahan apa yang sudah ia perbuat?
Arkan hanya tersenyum dan melangkah mundur. Memberi udara pada Lusi yang sedari tadi terkungkung oleh tubuhnya.
"Tidak. Aku hanya merasa, kau tengah menyembunyikan sesuatu dariku."
"Kau sakit, Ar? Bahkan kita saja baru mengenal, bagaimana mungkin aku menyembunyikan sesuatu darimu?"
Kedua bahu Arkan terangkat dengan bibir mencebik pelan. "Siapa tahu, bukan? Aku tidak dapat memprediksi seseorang. Apakah dia benar-benar asli dan jujur, atau...." Arkan menggantung kalimatnya. Wajahnya kembali mendekati wajah Lusi yang sudah memucat.
Gadis itu menarik kepalanya sendiri hingga membentur rak buku raksasa di belakangnya.
"Apa yang kau lakukan?"
"Atau memang ada sesuatu yang aku tidak tahu darimu?"
Lusi mendorong wajah Arkan menjauh. Dia tidak boleh membiarkan pria itu mendesak dirinya.
"Apa ucapanku masih belum jelas? Aku tidak menyembunyikan sesuati darimu. Lagi pula, untuk apa aku memiliki sebuah rahasia?"
Arkan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata wanita di depannya ini sangat pintar bersandiwara dan menyembunyikan identitas diri yang sebenarnya.
"Kukira sebuah sandiwara hanya ada di dalam novel. Tapi ternyata di dunia nyata pun ada."
Lusi mulai gugup. Dia akhirnya mengerti ke arah mana Arkan berbicara. Tidak. Dia tidak boleh terpancing. Lusi harus segera mengakhiri obrolan mereka yang semakin lama bisa membuat Lusi mati berdiri di tempatnya berpijak.
"Aku harus pergi."
"Tunggu!"
Langkahnya kembali terhenti, namun masih dalam posisi membelakangi Arkan. Suara langkah kaki terdengar mendekat, Lusi menautkan kedua telapak tangannya yang sudah basah oleh keringat dingin.
"Aku kemari karena sengaja menyusulmu. Kenapa kau malah pergi begitu saja?"
"Aku tidak memintamu untuk datang. Jadi, bukan urusanku."
"Untuk saat ini mungkin memang belum menjadi urusanmu atau urusanku. Tapi suatu saat, kita berdua akan saling membutuhkan."
Kedua mata Lusi terpejam sangat dalam. Apa yang Arkan katakan barusan? Saling membutuhkan apa yang ia maksud sebenernya? Lusi mendengkus kasar dan melanjutkan langkahnya.
"Ayo pulang!"
"Eh?" Keke yang tengah asyik membaca komik seketika mendongak. "Kita baru dua puluh menit di sini. Memangnya rasa gugupmu sudah hilang? Sudah siap untuk acara besok?"
"Tidak usah banyak tanya, Keke. Sekarang suasana hatiku sedang tidak baik. Mari kita pindah ke tempat lain."
Keke mengangguk cepat. Air wajah Lusi memang terlihat kesal. Dia tidak ingin membuat Lusi merasa semakin terbebani.
"Tunggu sebentar, aku akan mengembalikan buku-buku ini."
Lusi menoleh ke belakang. Terlihat Arkan yang masih bersembunyi di balik rak raksasa tempat mereka berbincang tadi. Pria itu tengah tersenyum ke arahnya. Senyum yang tidak bisa dibaca dengan baik oleh Lusi.
"Apa yang kau lihat?"
Lusi terkesiap dan menatap Keke, lalu menggeleng. "Tidak. Ayo."
Arkan keluar dari tempat persembunyian setelah Lusi dan Keke keluar dari perpustakaan tersebut.
"Jadi kau kemari karena gugup? Hm... aku akan membuatmu lebih gugup lagi."
***
Langit sudah semakin gelap. Ramalan cuaca yang Keke lihat di dalam ponselnya ternyata bohong. Dia bilang bahwa cuaca malam ini akan terang dan tidak akan diterpa cuaca dingin.
Namun yang terjadi justru kebalikannya. Lusi tengah memeluk tubuhnya sendiri dengan begitu erat. Untungnya ia mengenakan hoodie yang cukup tebal dan celana kargo yang menutup seluruh kaki pendeknya.
"Aku menyesal, Lusi. Seharusnya aku tidak memakai celana pendek sialan ini." Keke mengumpat diiringi dengan keluhan untuk dirinya sendiri.
"Bukankah aku sudah mengatakannya padamu? Satu hal yang harus kau ingat, kita ini berada di Kota Bandung. Yang di mana seluruh wilayahnya berada di dataran tinggi dan di kelilingi gunung-gunung."
"Aku tidak melupakannya. Tapi... ramalan cuaca yang aku lihat tadi siang seperti sangat meyakinkan."
Lusi menggelengkan kepala heran. Sudah tidak ada waktu lagi untuk mengeluh. Yang harus mereka lakukan saat ini hanyalah pulang dan meringkuk di tempat tidur mereka yang hangat.
"Berapa menit lagi taksinya akan datang?" tanya Keke, sambil memeluk tubuhnya yang sudah menggigil.
"Sepuluh menit lagi. Kau bersabar, oke?"
Keke mengangguk pelan. Yang harus ia lakukan hanyalah bersabar. Meski keadaannya sudah tidak meyakinkan.
Semakin lama suhu di sekitar mereka semakin dingin. Di tambah dengan angin kencang yang tiba-tiba datang. Lusi menengadahkan wajah, langit di atas mereka semakin menghitam dan rintikan air mulai turun membasahi bumi.
"Akh, ternyata hujan!" pekik Lusi. Segera ia menarik tangan Keke untuk berteduh di salah ruko yang tidak terpakai.
"Sial! Niat hati ingin menenangkan pikiran, justru malah terjebak hujan."
'Ditambah bertemu dengan Arkan yang menyebalkan itu,' batin Lusi menambahkan.
"Benar. Sepertinya hari ini bukan hari keberuntungan kita. Semoga besok menjadi hari yang baik untuk kita!"
Keke terlihat kembali normal. Karena wanita itu sudah tersenyum dan terlihat ceria, sangat jauh berbeda dengan tadi. Karena percayalah, ketika Keke tidak tertawa atau tersenyum, maka saat itu dunia sedang tidak baik-baik saja.
"Arkan?"
Lusi seketika menoleh ke arah kanan. Kedua matanya terbuka lebar, ketika mendapati Arkan yang sudah berdiri di samping Keke.
"Sedang apa kau di sini?" tanya Keke lagi.
"Aku ada keperluan di sekitar sini, dan ternyata malah terjebak hujan. Aku pikir, dua wanita yang sedang berteduh di sini bukan kalian."
Lusi berdecih pelan sambil mencebikkan bibir. Dia melipat kedua tangan di dada dan berpaling ke arah lain.
"Kami juga sangat menyesali hari ini. Padahal tadi aku sedang asyik membaca komik. Tapi Lusi, dia malah mengajakku pulang."
Lusi menarik napas dan memejamkan kedua matanya. "Keke, bukankah memang sudah waktunya untuk pulang? Kau lupa, bahwa kita masih ada pekerjaan?"
Entah mengapa Keke merasa ada yang berbeda dari senyuman Lusi saat ini. Bukan hanya senyuman, bahkan ekspresi wajahnya pun terlihat berbeda dan tidak ramah seperti biasanya.
"Ya... tapi perasaanmu masih gugup, kan?"
"Gugup? Memangnya apa yang membuat Lusi harus merasa gugup? Apa dia akan melakukan presentase?"
Keke dan Lusi saling melirik. Keke merasa bersalah sekali karena sudah mengatakan rahasia Lusi di depan Arkan.
"Tidak. Kami ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini juga. Jadi, Lusi sepertinya akan gugup karena pekerjaan tersebut belum terselesaikan setengahnya."
Lusi hanya bisa tersenyum. Meskipun alasan yang Keke berikan tidak masuk akal, tapi Lusi berharap kalau Arkan tidak akan curiga.
"Oh, begitu. Kau hebat sekali, Lusi. Dalam usiamu yang masih muda, tapi kau berhasil bekerja dalam bidang yang kau sukai. Dan bahkan kau bisa menghidupi dirimu sendiri."
"Usiaku tidak semuda dirimu. Aku sudah berusia dua puluh lima tahun, jadi sudah sepantasnya aku bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri," ucap Lusi tanpa menoleh sedikit pun.
"Kau berusia dua puluh lima tahun? Tapi mengapa wajahmu terlihat seperti gadis dengan usia delapan belas tahun?"