Chereads / Loucy Looking For Love / Chapter 35 - Apa Kesempatan Itu Masih Ada?

Chapter 35 - Apa Kesempatan Itu Masih Ada?

Pintu terbuka lebar. Tepuk tangan meriah menggema memenuhi ruangan yang tertutup. Seorang wanita dengan wajah bulat dan bibir yang kecil namun tebal di bagian bawah terlihat memasuki ruangan yang sudah di siapkan.

Wanita itu hanya tersenyum, membalas riuhnya tepuk tangan penyambutan. Sangat manis.

"Ar, itu kan...."

"Dia Lusi."

Jevon di samping Arkan terlihat syok. Mulutnya menganga lebar dengan bola mata hampir keluar.

"Jadi ternyata Lusi itu adalah Loucy?"

Arkan mengangguk singkat. "Tapi kau harus menjaga rahasia ini. Aku tidak ingin Lusi tahu, bahwa kita telah mengetahui rahasianya."

Jevon menoleh cepat, menatap temannya penuh curiga. "Kenapa? Bukankah kau sudah lama menyukainya? Ini adalah kesempatan bagus. Bahkan kau bisa meminta tanda tangan serta foto bersama."

Embusan napas pelan keluar dari dua lubang hidung Arkan. "Aku hanya ingin tahu, sampai kapan ia berniat menutupi semuanya dariku."

"Tapi tunggu, kau tidak terlihat terkejut. Apa kau sudah tahu sebelumnya?"

"Hm."

Bola mata Jevon kembali melebar. "Dan kau tidak memberitahuku?" pekiknya pelan. Mengabaikan sambutan yang tengah berlangsung.

"Tidak. Bahkan jika kau bukan mahasiswa dari jurusan ini, mungkin kau tidak akan mengetahui kebenarannya dan aku tidak akan memberitahumu."

"Apa alasanmu menyembunyikan semuanya dariku? Apa kau tidak memercayaiku?"

"Tidak juga. Hanya saja mulutmu terlalu tipis."

Jevon mendengkus kesal. Kalau saja Arkan bukan teman baiknya, mungkin Jevon sudah menjambak rambut pria itu sampai gundul. Namun ia adalah Arkan, dan Jevon sungguh tidak berani melakukannya.

"Pandangan berbeda seperti apa yang kau maksud?"

Kedua pria itu kembali fokus pada sesi tanya jawab yang sedang berlangsung. Dari kejauhan, Arkan memperhatikan wajah Lusi tanpa berpaling. Gadis itu terlihat sangat cantik dan menggemaskan. Wajahnya yang bulat seperti bulan, bibirnya mungil dan lebih tebal di bagian bawah membuat Arkan mendesis pelan. Apalagi warna lipstik yang Lusi kenakan terlihat sangat cocok dengan wajahnya. Pandangan pria itu beralih ke atas. Bentuk matanya tidak terlalu besar, namun jauh dari kata kecil. Retina matanya berwarna hitam kecokelatan, sangat indah jika dilihat dari dekat.

"Orang-orang sering salah mengartikan seorang penulis. Apalagi saat mengetahui bahwa profesi ini bisa menghasilkan pendapatan yang lumayan besar."

"Apa kau juga merasakannya?"

Lusi mengangguk. "Kau tahu, kami para penulis hanya berdiam diri seharian di rumah, namun bisa menghidupi keluarga, membeli makanan, peralatan mandi dan kebutuhan lainnya. Apa menurutmu tidak akan menimbulkan kecurigaan?"

Lusi berdeham sejenak, sembari mengubah posisinya mencari yang ternyaman. "Begini, aku yakin, jika aku tidak berada di sini dan bertemu kalian, mungkin ada sebagian orang yang menganggap pekerjaan menjadi penulis itu sangat mudah. Benar, bukan?"

Gadis yang tadi bertanya mengangguk.

"Namun sayang, menjadi seorang penulis itu sangat tidak mudah. Lihat kantung mataku." Lusi menarik kantung matanya yang sedikit longgar ke bawah. "Aku hanya tidur lima jam dalam sehari."

"Terima kasih, Lusi. Sekarang aku tahu, mengapa kau menghasilkan karya yang bagus."

"Terima kasih," ucap Lusi tersenyum, sambil menundukkan wajah.

"Baik semuanya, apa ada yang ingin ditanyakan lagi?"

Jevon menyikut lengan Arkan jahil. "Kau tidak ingin bertanya? Ini adalah kesempatan langka."

"Jika aku bertanya, pasti Lusi akan mengetahui keberadaanku."

"Kau benar juga. Saat ini kita sedang menjadi penguntit."

"Saya ingin bertanya." Seorang gadis kembali mengacungkan tangan dan berdiri.

"Silakan."

"Apa kau sudah memiliki kekasih atau ada orang yang sedang kau sukai?"

Jantung Arkan tiba-tiba berdebar kencang. Dia menunggu Lusi memberi jawaban. Di dalam hatinya, Arkan berharap bahwa Lusi tengah menyukainya. Mengingat bagaimana hubungan mereka terjalin selama ini.

"Tidak," jawab Lusi tegas. "Aku tidak mempunyai kekasih dan belum ada pria yang kusukai."

Dada Arkan berubah sesak, dan masih memperhatikan Lusi yang tengah tersenyum.

"Kau belum beruntung, Ar. Ternyata Lusi tidak menyukaimu."

"Bukan tidak, tapi belum." Arkan beranjak dan keluar melalui pintu belakang. Hatinya hancur berkeping-keping. Aneh sekali jika Lusi tidak menyukainya. Padahal dia adalah bintang di Andalanesia.

Sesampainya di depan gedung olahraga, Arkan mendengkus kesal. Deru napasnya tidak stabil, dengan dada naik turun menahan emosi.

"Mengapa kau tidak menyukaiku? Bukankah selama ini kau selalu memperhatikan pintu rumahku yang tertutup?" Arkan menggaruk kepalanya frustasi. Padahal dia bisa menyukai Loucy sebelum dia melihat wajah gadis itu.

Pintu utama terbuka. Arkan segera bersembunyi di balik dinding dan melihat Lusi yang didampingi Keke keluar. Sepertinya seminar hari ini telah selesai.

"Kau lihat saja, aku akan membuatmu menyukaiku."

***

"Bagaimana? Apa kau puas?"

Arkan mengedikkan bahunya. Rasa kecewanya masih belum sembuh.

"Aneh sekali, kupikir Lusi bertanya tentangmu karena ia menyukaimu. Ternyata tidak."

"Apa? Lusi menanyaiku?"

Jevon mengangguk dan membuang wadah es krim yang telah kosong ke tempat sampah. "Aku pernah bertemu Lusi di kafe, dan kami mengobrol banyak hal. Salah satunya membicarakan tentangmu."

"Mengapa kau tidak memberitahuku?!" Arkan berdiri dan membentak Jevon.

"Kau kenapa? Kami hanya mengobrol biasa. Lagi pula aku tidak menjelakkanmu di depan Lusi."

Arkan kembali mendengkus. Hari-harinya sangat membosankan. Dia masih kesal, karena Lusi tidak menyukai siapa pun. Namun dia juga senang, ternyata Lusi tidak memiliki kekasih.

"Jev, apa aku berkesempatan memiliki Lusi?"

"Tentu saja. Dia wanita lajang. Cantik, karier nya bagus, dan pintar. Sangat serasi denganmu."

Arkan yang awalnya kesal kini tersenyum. Berjuang dan mendapatkan hati wanita adalah tugas laki-laki dan Arkan akan membuktikannya.

"Arkan!"

Arkan menoleh ke belakang. Terlihat Eflin yang tengah berlari ke arahnya.

"Sepertinya gadis itu akan mencari masalah denganmu," gumam Jevon tertawa pelan.

"Ada apa?" tanya Arkan dingin, setelah Eflin berhasil berdiri di sampingnya.

"Aku punya sesuatu untukmu." Senyum di bibir Eflin mengembang, sama seperti rasa cintanya yang selalu mengembang setiap kali melihat Arkan.

"Apa?"

"Tara!" Eflin mengeluarkan sebuah buku dari balik punggungnya. "Aku mendapat buku terbaru Loucy! Dan kau tahu, di dalamnya terdapat tanda tangan eksklusif!"

Arkan tersenyum samar, sangat samar. Dia merasa bahagia karena Lusi berhasil menciptakan karya baru. Meski tidak selalu terlihat, tapi Arkan yakin bahwa Lusi telah bekerja keras.

"Memangnya kau menyukai Loucy?" tanya Jevon mengambil alih.

"Tentu saja! Dia adalah penulis yang memiliki diksi yang indah. Dan kau tahu, yang membuatku semakin kagum adalah wajahnya yang sangat cantik dan imut!" Eflin memekik seperti orang yang tengah jatuh cinta. Padahal yang dia lihat barusan adalah Loucy, gadis yang dikaruniai wajah enak dipandang oleh Tuhan.

"Ar, apa kau menginginkan buku ini?"

Arkan terkesiap. Dia melihat buku yang berada tepat di hadapannya. Namun perhatiannya beralih pada sebuah mobil yang melintas melewatinya.

Dari tempatnya berdiri, Arkan melihat Lusi yang tengah menatapnya dari dalam mobil. Tatapan mereka saling terkunci, mengikuti pergerakan mobil yang semakin menjauh.

"Ar," panggil Eflin, sambil mengibas tangannya di depan wajah Arkan.

"Apa kau menginginkan buku ini?"