Chereads / Loucy Looking For Love / Chapter 33 - Hari Yang Paling Mendebarkan 2

Chapter 33 - Hari Yang Paling Mendebarkan 2

Arkan menyibak gorden kamarnya lebar-lebar. Hari ini adalah sebuah hari penentuan untuknya. Ya. Dia akan segera mengetahui siapa Lusi sebenarnya.

Arkan tidak lagi peduli dengan Loucy, seorang penulis yang sudah bertahun-tahun mengisi hatinya secara terang-terangan. Kini yang membuatnya penasaran adalah sosok Lusi. Tetangganya yang memiliki mentahan naskah cerita Loucy.

Pria itu sudah bersiap dengan setelan kemeja dan celana jeans berwarna abu. Tidak lupa sepatu sneaker yang membuat penampilannya semakin menarik.

Arkan membuka pintu apartemennya dan terdiam beberapa saat, sembari memandangi pintu apartemen Lusi yang masih tertutup.

Senyumnya terukir begitu saja. Dia yakin, wanita itu pasti tengah kebingungan dan panik. Yang Arkan tahu, Lusi tidak memiliki banyak teman selain Keke dan si pemilik kafe yang ada di bawah. Wanita itu terlihat lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah dan bergelut dengan pekerjaan yang membuat Arkan semakin penasaran.

"Dia adalah orang yang tertutup. Pasti saat ini tengah menenangkan diri, seperti apa yang dilakukannya kemarin."

Tidak ingin berdiam diri terlalu lama, Arkan mulai menekan tombol lift dan pergi ke lantai dasar. Dia sengaja pergi sepagi ini karena ingin memberi kejutan pada Lusi.

Jika diingat kembali, sepertinya Arkan tidak pernah mengatakan bahwa dia menempuh pendidikan di Andalanesia University, sehingga kemungkinan besar Lusi tidak mengetahuinya. Tapi, tidak tahu dengan Jevon.

Kedua bola mata pria itu membulat. Untung lift baru saja terbuka, dan Arkan segera merogoh saku untuk menghubungi Jevon segera.

"Jev, apa kau pernah mengatakan pada Lusi kalau aku bersekolah di Andalanesia?"

"Apa yang kau lakukan sepagi ini, Ar? Aku bahkan baru saja membuka mata, lalu kau sudah menghujami dengan pertanyaan yang tidak terlalu penting."

Arkan berdecak pelan. Suara Jevon memang terdengar seperti orang yang baru saja bangun tidur. Dasar pemalas.

"Jawab saja pertanyaanku."

"Baiklah. Aku pernah mengatakannya pada Keke, tapi tidak dengan Lusi."

Sial! Pria itu memutuskan sambungan secara sepihak dan melangkah cepat ke arah halte untuk menumpangi bus seperti biasanya.

Kali ini Arkan yang diserang kepanikan. Dia takut jika Lusi akan membatalkan kunjungan ke kampus.

Di dalam bus, tak hentinya Arkan memikirkan hal itu. Namun beberapa menit kemudian, dia teringat pada Eflin. Gadis itu adalah salah satu panitia yang mengurus kedatangan Lusi.

Setelah bus berhenti, Arkan segera berlari mencari Eflin di gedung olahraga yang jaraknya lumayan jauh dari gerbang utama.

Gedung tersebut adalah tempat yang akan dijadikan seminar bersama Loucy. Di pintu utama, Arkan melihat beberapa poster buku milik Loucy, tidak ada poster wajah wanita itu. Karena memang tidak ada satu orang pun yang tahu seperti apa Loucy ini.

"Eflin!"

Gadis bernama Eflin yang tengah membawa setumpuk buku itu menoleh. Dia tersenyum sangat lebar, saat mengetahui pria yang memanggilnya adalah Arkan.

"Arkan? Kau memanggilku?"

Arkan mengangguk pelan. "Ada yang ingin aku tanyakan."

Kedua mata Eflin berbinar. Ini adalah pertama kalinya Arkan berinisiatif untuk mengajaknya mengobrol. Gadis itu mengira bahwa Arkan hendak menyatakan cinta padanya.

"Hmm... aku tidak memiliki seorang kekasih, Ar," ucap Eflin sembari memainkan ujung rambutnya manja.

"Hah?"

"Mengapa kau terkejut? Bukankah kau ingin menanyakan, aku sudah memiliki kekasih atau belum, kan?"

Spontan Arkan mengibas kedua tangannya di depan wajah sambil menggeleng. "Kau salah paham."

Senyum di bibir Eflin memudar. Gadis itu berdeham dan berusaha memasang wajah sinis.

"Jadi apa yang ingin kau tanyakan?"

"Apa acaranya tidak akan dibatalkan?"

"Hah? Apa maksudmu? Atas dasar apa acara ini dibatalkan?"

"Jadi, acara seminar ini akan tetap berlangsung?"

"Iya, Arkan. Semuanya sudah dipersiapkan dengan begitu matang dan sempurna! Tidak mungkin bisa dibatalkan begitu saja. Lagi pula, tim Loucy akan segera tiba tidak lama lagi."

Arkan bersorak dalam hati. Ternyata kecemasannya tidak akan benar-benar terjadi.

"Ar, kenapa kau bertanya seperti itu? Setahuku, kau sangat menyukai Loucy. Tapi mengapa kau berharap acara ini dibatalkan?"

"Oh, tidak. Aku hanya sekadar bertanya. Kalau begitu, aku akan mencari Jevon."

Eflin menatap bingung punggung Arkan yang mulai menjauh. Dia pikir pria itu akan mengatakan sesuatu hal yang penting padanya, ternyata hanya bertanya hal yang sangat tidak penting untuk dipikirkan.

"Sayang sekali kau terlalu tampan, Ar. Sehingga aku tidak bisa membencimu, meski kau telah menolakku secara terbuka."

***

Suasana kampus semakin terlihat ramai. Terutama mahasiswa yang tengah berjalan ke arah gedung olahraga. Arkan masih berdiri di samping pohon beringin, di mana dia telah membuat janji dengan Jevon untuk bertemu.

"Maaf, aku terlambat," ucap Jevon dengan napas tersendat-sendat.

"Tidak apa-apa. Lagi pula acaranya belum dimulai."

Jevon menganga. Tidak percaya dengan sikap Arkan yang berubah baik padanya. Arkan sangat tidak suka dengan orang yang tidak menepati janji dan suka membuang waktu.

Jevon melirik jam tangan di pergelangan tangan, padahal dia terlambat sepuluh menit dari waktu yang sudah dijanjikan. Biasanya Arkan akan memberi Jevon hukuman berupa merangkum isi novel dengan bab yang berjumlah ratusan.

Menurut Arkan, itu adalah hukuman yang paling ringan sekaligus bermanfaat. Karena bisa melatih otak untuk berpikir dan menuangkannya kembali ke dalam cerita versi diri sendiri.

Jevon berlari, menyusul Arkan yang sudah melangkah menuju pintu masuk gedung olahraga.

"Ar, apa kau tidak sabar untuk bertemu Loucy?" goda Jevon sembari menaik turunkan kedua alisnya.

"Biasa saja."

"Biasa saja?" Jevon berdiri di hadapan Arkan, menghadang langkah kaki pria itu.

"Apa yang kau lakukan?"

"Aku mencium bau-bau cinta yang luntur di dalam hatimu. Apa kau sudah tidak mencinta Loucy?"

Arkan menatap wajah Jevon yang penuh kecurigaan. Pria itu menggeleng pelan dan mendorong tubuh sahabatnya agar ia bisa kembali berjalan.

"Tunggu!"

Jevon menatap takjub gedung olahraga yang sudah ditata sebaik mungkin. Biasanya gedung itu akan sangat berdebu dan tidak tersentuh oleh siapa pun selain orang-orang yang akan membuat acara di dalamnya.

"Eh, mengapa kau mengambil kursi di barisan paling belakang? Kau tidak ingin melihat Loucy dari jarak yang lebih dekat?" tanya Jevon mengejar Arkan yang sudah duduk di kursi barisan paling belakang.

"Tidak. Aku hanya ingin menikmatinya dari jauh."

Jevon tersenyum miring dan bergabung di samping sahabatnya. "Kau pikir Loucy ini minuman? Yang bisa dinikmati?"

"Jaga mulutmu!"

"Lho, mengapa kalian di sini? Ar, kau tidak ingin duduk di bagian terdepan? Mengapa? Apa ada banyak orang yang mengganggumu? Aku akan memberitahu mereka kalau begitu."

"Tidak usah."

Eflin kembali berbalik. Dia paling tahu kelakuan Arkan. Pria itu sangat senang jika berada di barisan terdepan. Karena akan mudah mengerti tentang apa yang diinformasikan oleh dosen.

"Lho, mengapa?"

"Aku ingin duduk di sini. Kau pergi saja, lakukan pekerjaanmu dengan baik."

Suara riuh terdengar dari luar gedung. Sekilas Arkan mendengar bahwa Loucy baru saja sampai dan tengah beristirahat di dalam ruangan khusus.

"Aku tidak sabat melihat wajah Lusi. Menurutmu, apakah dia cantik?"