"Mengusir?"
Jevon mengangguk pelan. "Aku sudah membuat kesalahan waktu itu, dan Arkan hanya ingin memberi sedikit pelajaran padaku."
Lusi terdiam. Ingin sekali wanita itu mengorek informasi tentang Arkan lebih dalam. Ia sangat penasaran dengan pria yang menjadi tetangganya itu.
"Kupikir kalian saling menyukai," cicit Lusi, membuat Jevon tertawa pelan sambil menggeleng.
"Apa kau melihat sesuatu yang tidak normal di dalam diri Arkan?"
"Tidak. Mungkin aku telah salah paham dengan kejadian kemarin."
"Arkan adalah seorang laki-laki jantan yang menyukai lawan jenis. Di kampus pun, banyak sekali wanita yang mengejarnya. Hanya saja, lelaki itu terlalu fokus pada sesuatu yang tidak nyata."
"Maksudmu?"
Jevon menghela napas lebih dulu. "Arkan menyukai seorang gadis yang belum pernah ia temui. Bahkan mungkin ia tidak tahu bentuk rupa nya seperti apa. Tapi lihat, sampai sekarang ia masih setia pada gadis itu."
"Siapa gadis yang membuat Arkan menjadi seperti ini?"
"Dia adalah----"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba ponsel milik Jevon berdering dan tertulis nama Arkan di dalam sana.
"Halo. Kau merindukanku?"
Lusi hanya terdiam sembari menyimak apa yang mereka obrolkan via telepon.
"Baiklah. Aku akan segera ke rumahmu."
"Arkan memintamu datang?" tanya Lusi, ketika Jevon menyimpan kembali ponselnya.
"Iya. Ada sesuatu yang harus kami selesaikan. Kalau begitu, aku pergi dulu. Bye!"
Lusi hanya mengangguk dan melambaikan tangan. Ternyata hubungan Arkan dan Jevon tidak seperti apa yang ia tuduhkan.
"Mana bocah itu?" tanya Keke setelah kembali dari kamar mandi.
"Dia sudah pergi. Duduklah, ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
***
Tumpukkan kardus yang sudah ia bereskan tertata dengan rapi di dekat pintu. Kini Arkan hanya perlu menunggu kedatangan Jevon yang sudah ia hubungi lima menit yang lalu.
Tidak perlu menunggu lebih lama, pintu lift terbuka dan Jevon keluar dari dalamnya.
"Akhirnya kau meminta bantuanku," ucap Jevon sedikit berbangga diri.
"Itu karena kau ikut andil dalam pembangunan perpustakaan ini. Jika tidak, mungkin aku akan membawanya sendiri."
"Kau terlalu naif, Arkan. Oh iya, apa kau tahu aku tadi bertemu dengan siapa?"
Arkan menggeleng pelan. "Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu."
"Baik. Aku tadi bertemu dengan tetanggamu."
Arkan yang tengah menghitung, seketika menghentikannya gerakan bibirnya. Ia mengangkat wajah dan menatap Jevon serius.
"Untuk apa kau bertemu Lusi?"
"Kami tidak sengaja bertemu. Aku melihatnya bersama Keke di Morning Cafe. Mereka sedang bertemu dengan klien dan berbincang sebentar setelahnya."
"Berbincang?"
Jevon mendorong tubuh Arkan dan memaksa masuk ke rumah pria itu.
"Hm. Ternyata Lusi gadis yang asyik untuk diajak mengobrol."
"Apa yang kalian obrolkan?" tanya Arkan antusias.
Jevon tersenyum miring dan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. "Arkan, sepertinya tenggorokanku kering dan tidak bisa melanjutkan cerita tentang Lusi."
Arkan berdecak kesal. Ia segera mengambil minuman dingin untuk Jevon.
Sedangkan Jevon sudah terkekeh, melihat Arkan yang rela merendahkan diri hanya demi Lusi. Kali ini ia yakin, kalau Arkan telah jatuh cinta pada Lusi.
"Minumlah, dan lanjutkan ceritamu."
Jevon menenggak minuman kaleng yang Arkan berikan hingga habis setengahnya.
"Sepertinya Lusi telah berpikiran buruk tentang kita," ucap Jevon.
"Pasti gadis itu mengira bahwa kita memiliki hubungan?"
"Ya, kau benar. Gadis itu mengira kalau kita adalah pasangan kekasih." Jevon menoleh pada Arkan dan mengedipkan sebelah matanya.
"Jaga matamu!" ujar Arkan marah.
"HAHAHA... lihat, bagaimana mungkin orang sepertimu memiliki kelainan? Aku tidak mengerti dengan cara berpikir Lusi."
Arkan mendengkus kasar. "Itu karena, kau selalu datang mengunjungiku, Jevon. Wajar saja jika Lusi salah paham dan mengira kita memiliki hubungan intim."
"Tapi aku sudah mengatakan padanya, bahwa kau menyukai wanita yang belum pernah kau temui."
Arkan mengerutkan dahi. "Siapa maksudmu?"
"Loucy. Bukankah kau sangat menyukai si penulis aneh itu?"
"Apa? Kau mengatakan namanya pada Lusi?" Arkan sudah berdiri dari duduknya dan bersiap menghajar wajah Jevon dengan bantal sofa.
"Ti-tidak! Aku memang memberitahu Lusi, kalau kau menyukai wanita. Tapi aku tidak menyebutkan siapa orangnya," jawab Jevon sembari menutup tubuh dengan kedua tangannya.
Emosi Arkan sedikit mereda. Pria itu kembali duduk dan menatap Jevon. "Lalu, apa dia percaya?"
"Seharusnya percaya. Oh ya, aku baru ingat kalau nama Loucy dengan Lusi sangat mirip. Apa kau juga merasa?"
Arkan hanya tersenyum singkat. "Sudahlah, jangan banyak memikirkan hal yang tidak penting. Lebih baik kita membawa semua buku-buku ini ke perpustakaan umum."
***
"Jadi, Arkan menyukai gadis di dalam fiksi?"
"Ya. Sepertinya begitu. Jevon hanya mengatakan, kalau Arkan menyukai seorang gadis yang belum pernah ia temui. Bahkan wajahnya pun ia tidak tahu."
"Arkan ini memang laki-laki yang aneh. Bagaimana ia bisa menyukai seseorang, tapi tidak tahu seperti apa rupa orang itu." Keke terkekeh dan kembali menyesap minumannya.
"Aku juga berpikir hal yang sama denganmu. Padahal jika dilihat dari wajah dan penampilan, menurutku Arkan memiliki selera yang bagus. Pakaian yang ia kenakan sehari-hari pun terlihat modis dan kekinian. Untuk apa ia mengagumi gadis di dalam fiksi?"
"Mungkin lelaki itu menyukai sesuatu yang tidak nyata. Di dunia ini ada beberapa jenis manusia, salah satunya seperti Arkan."
"Kau benar, Keke. Sayang sekali, ketampanannya harus terbuang sia-sia."
Keke tertawa pelan dan menyentil dahi Lusi pelan. "Kau menyukai Arkan?"
"Aw! Sakit, Keke!" keluh Lusi, sembari mengusap dahinya. "Aku tidak menyukai lelaki itu sedikit pun. Untuk apa aku menyukai laki-laki aneh seperti dia?" sambung Lusi.
"Tapi tidak ada salahnya jika kau menyukai Arkan. Lagi pula ia tampan."
"Dia hanya seorang mahasiswa, Keke. Usia kamu sangat berbeda jauh, tidak mungkin Arkan bisa menerima usiaku yang tiga tahun di atasnya."
"Sudahlah, sudah cukup membicarakan bocah aneh itu. Kita sudah hampir dua jam di sini. Aku ingin kembali dan tidur siang."
"Kau benar, Keke. Aku juga harus menghubungi orang ilustrator," ujar Lusi. Wanita itu merapikan barang-barang berharganya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Kau sudah membayarnya?"
Keke mengangguk. "Kau tenang saja."
Kedua wanita itu keluar dari kafe. Mereka melangkah ke arah apartemen. Siang ini awan hitam membungkus Kota Bandung, sepertinya akan terjadi hujan hingga malam hari.
"Keke, sepertinya tidur siangmu akan nyenyak."
"Ya. Cuaca dingin seperti ini memang sangat nikmat untuk bermalas-malasan."
Ketika hendak menyebarang, Lusi dan Keke melihat dua orang pria yang baru saja keluar dari gedung apartemen sembari membawa tumpukkan kardus.
"Apa yang kalian bawa?" tanya Lusi, penasaran.
"Hanya beberapa buku saja," jawab Arkan sembari tersenyum.
"Buku?"
"Hmm. Kami akan membawa buku ini ke perpustakaan umum yang sudah kami bangun bersama. Jika kau ada waktu, datanglah," ucap Jevon. Biasanya seorang wanita memiliki hobi membaca yang jauh lebih baik daripada laki-laki.
"Lalu, buku apa yang kalian bawa saat ini?"