Pesta resepsi pun dimulai, semua tamu undangan terlihat memenuhi seluruh gedung.
Almira terlihat semakin menawan dengan balutan gaun yang menampilkan keindahan punggung mulusnya.
Senyuman yang selalu menghiasi bibir gadis itu menambah kecantikan Almira hingga berkali-kali lipat. Siapa saja yang melihat Almira saat ini pasti akan langsung bergelut lutut dalam pesonanya.
Begitupun dengan Daffa, sebenarnya dia juga begitu terpukau dengan kecantikan yang dimiliki oleh Almira. Tapi egonya terlalu tinggi hingga membuat dia terus membisikan kata-kata ejekan di kuping Almira.
"Apa kau tidak malu meminjam gaun milik sundel bolong seperti ini?" Bisik Daffa dengan tatapan menghina.
"Yang pake aku kenapa kamu harus repot. Apa kamu tidak lihat jika para laki-laki disini tidak ada yang bisa mengalihkan pandangannya dari kecantikanku? Akui saja Tuan Daffa jika kau juga sama terpesona padaku," sengit Almira membuat Daffa berdecak kesal.
"Jangan sembarangan, aku tidak akan mungkin tertarik padamu. Apa kau tidak melihat jika di sini terlalu banyak wanita cantik yang lebih segalanya dari pada kamu?" Delik Daffa sambil menunjuk pada para tamu wanita yang hadir.
"Kita lihat saja, siapa bintangnya kali ini!" Tantang Almira yang langsung berjalan mendahului Daffa.
Dia berbaur dengan para tamu yang hadir dan tentu saja langsung dikerubuti para lelaki yang memang menyukai putri keluarga Chandra itu.
Daffa yang melihat itu, langsung menggeram kesal. Dia pun tidak mau kalah dan menggaet para wanita untuk mengerubunginya.
Ah, pasangan pengantin yang benar-benar konyol! Bisa-bisanya mereka bersaing dan menunjukan siapa yang paling mempesona di mata para tamu bukannya menebar kebahagiaan dengan kemesraan mereka.
Hingga tibalah waktunya sang pembawa acara meminta kedua mempelai untuk berdansa, dengan terpaksa Almira dan Daffa menyetujuinya.
Cukup sudah mereka menerima banyak pertanyaan dari para sahabat atas janggalnya pernikahan ini. Mereka tidak ingin membuat semua orang semakin curiga dengan mereka yang terpaksa menikah karena Rian kabur di hari bahagianya.
Alunan lagu romantis mengalun indah menghanyutkan semua orang yang mendengarnya.
Begitupun dengan kedua pengantin yang kini berdansa dengan indah, saling merapatkan tubuh hingga menimbulkan geleyer aneh tanpa mereka sadari.
Jarak mereka yang sangat dekat seperti ini, membuat keduanya lebih leluasa menikmati setiap inci keindahan yang Tuhan ciptakan dari satu sama lain. Membuat mereka sejenak lupa akan genderang perang yang beberapa saat mereka tabuh.
"Apa kau akan kembali pada Rian jika suatu saat dia kembali?" Tanya Daffa setelah cukup lama terhanyut dalam suasana romantis yang tercipta.
"Aku mungkin akan menemuinya untuk menanyakan alasan dia pergi di hari bahagia kami, tapi tidak untuk kembali padanya. Aku memang mencintainya tapi aku bukanlah wanita bodoh yang mau di perbudak oleh cinta. Cukup sekali dia menyakiti aku dan tidak akan aku biarkan dia memiliki kesempatan kedua untuk melakukannya lagi," jawab Almira penuh keyakinan.
"Meskipun kau mencintainya?" Tanya Daffa tidak yakin.
"Dalam hidup ini tidak selamanya tentang cinta tapi ketulusan dalam menjalani sebuah komitmen pun perlu dipegang erat. Rian tidak punya itu, jadi dia tidak berhak untuk mendapatkan cintaku lagi!" Tekan Almira dengan tatapan mata yang penuh luka.
"Lalu bagaimana pendapatmu tentang aku?" Tanya Daffa serius.
Entah kenapa pertanyaan itu tiba-tiba meluncur bebas dari bibirnya begitu saja.
"Kamu ingin aku berbicara jujur atau tidak?" Tanya balik Almira sambil terkikik geli.
"Jujur! Karena meskipun menyakitkan tapi kejujuran akan selalu lebih baik," jawab Daffa tanpa keraguan.
"Maka dengarkan ini! Bagiku kamu satu-satunya laki-laki yang aku kenal yang tidak mempunyai prinsip! Kamu terlalu tenggelam dalam lukamu sendiri tanpa mau melihat seperti apa orang-orang disekitar mu. Banyak nasibnya yang lebih buruk dari pada nasib percintaanmu tapi mereka tidak melampiaskannya pada orang yang tidak bersalah. Sebenarnya aku dan kamu itu sama, kita sama-sama ditinggalkan oleh orang yang kita cintai. Tapi kita jelas berbeda dalam cara memandang kejadian ini, jika aku memandang ini cara Tuhan menunjukan kalau Rian itu tidak baik untukku maka sepertinya kamu berbeda," ujar Almira membuat Daffa terdiam.
Bagaimanapun apa yang Almira katakan itu adalah benar. Karena luka yang ditorehkan oleh seorang wanita dia malah melampiaskannya pada wanita lain dengan cara hanya menjadikan mereka pelampiasan saja.
"Lalu, apa itu artinya aku adalah orang tepat yang Tuhan persiapkan untukmu?" Tanya Daffa dengan tatapan intens nya.
Almira menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. Bisa-bisanya Daffa menanyakan hal konyol seperti ini.
"Belum tentu, apalagi mengingat kamu adalah seorang pemain dan sepertinya aku tidak berminat untuk menjadi mainan mu yang selanjutnya," sakras Almira dengan tatapan yang merendahkan.
Mendengar itu, rasa kesal Daffa kini kembali ke level maksimal. Ditatapnya tajam sosok gadis cantik yang kini dalam rengkuhannya, dia benar-benar ingin sekali menelan wanita itu hidup-hidup.
Apa yang dikatakan Almira entah kenapa selalu tepat sasaran melukai ego Daffa hingga ke dasar.
"Kamu pikir aku juga mau padamu? Aku hanya bertanya bukan sedang menawarkan diri untuk kau terima. Jangan jadi orang yang..."
Gemuruh tepuk tangan memotong ucapan Daffa. Rupanya acara dansa untuk mempelai kini berakhir sudah.
Daffa dan Almira pun turun dari panggung dengan wajah lelaki itu yang semakin di tekut saja.
"Apa kamu belum puas, Daf? Kok itu wajah ditekuk kayak gitu! Lagian ya, Daf, sabar dikit kenapa sih. Setelah pesta ini usai, maka Almira bisa kamu ajak dansa di atas ranjang," celetuk salah satu teman Daffa menggoda lelaki itu.
"Sembarangan Lo!" Kesal Daffa.
Orang itu hanya terkekeh menanggapi kekesalan Daffa. Lebih dari apapun mereka merasa tidka percaya jika seorang Daffa Eldaz mau menjalin komitment serius seperti ini padahal selama ini Daffa benar-benar menentang yang namanya pernikahan. Lebih dari itu, mereka cukup terkejut juga karena Daffa menikahi Almira yang sejatinya adalah calon istri dari Rian.
Kalau saja Daffa tadi tidak menjelaskan semua kebenarannya, pastilah mereka masih akan berpikiran yang macam-macam tentang Daffa.
Apalagi yang ada di pikiran mereka selain Daffa yang menodai Almira dan terpaksa menikahi calon istri adiknya sendiri, karena selama ini kehidupan Daffa tak pernah jauh dari yang namanya selangkangan.
****
Akhirnya setelah hampir tengah malam, pesta yang melelahkan itu usai sudah. Daffa dan Almira pun kini sudah berada di kamar mereka.
Keduanya terlihat berdebat tentang siapa yang mau mandi lebih dulu. Mereka bahkan tidak ada yang mau mengalah hanya karena hal kecil seperti itu pun.
"Ayolah, Daf! Apa kamu tidak malu berdebat dengan seorang gadis seperti ini?" Kesal Almira dengan tatapan jengah pada Daffa.
"Kenapa harus malu, di sini hanya ada aku dan wanita aneh seperti mu. Aku itu suami kamu jadi kamu harus mengalah sama aku!" Tekan Daffa yang masih tetap ngotot.
"Kamu itu, ya! Astaga, aku benar-benar sial kenal dengan kakak beradik macam kalian!" Kesal Almira sambil menepuk jidatnya.
"Cih, memangnya kamu pikir aku gak sial karena sudah terjebak dalam komitment yang menjengkelkan bersama gadis berkepala batu seperti kamu? Untung aja si Rian kabur jadi dia gak perlu repot-repot ngarepin tingkah menyebalkan kamu ini!"
Deg.....
Mendengar perkataan Daffa, Almira terdiam. Benarkah Rian meninggalkan dia karena tidak tahan dengan sikapnya yang kadang tidak mau mengalah? Tapi bukankah selama ini dia berusaha menjadi kekasih yang terbaik untuk Rian? Dia tidak pernah aneh-aneh bahkan meminta hal apapun pada Rian yang menyebabkan laki-laki itu kesusahan. Dia selalu berusaha bersikap mandiri dan tidak melibatkan Rian jika masalah yang dia hadapi masih sanggup dia handle sendiri.
Apa selama ini dia memang terlalu buruk untuk Rian? Apa Rian jengah padanya hingga meninggalkan dia tepat dihari pernikahannya? Apa dia terlalu buruk untuk mendampingin hidup Rian?
Berbagai pertanyaan mendadak menjejalu7 di kepala Almira. Dia hanya tertunduk tanpa membalas apapun yang dikatakan Daffa kali ini.
Daffa yang melihat Almira malah terdiam, langsung mengernyit heran. Ini tentu aneh karena sedari tadi Almira tidak pernah mau mengalah untuk berdebat dengannya kecuali...
Rian! Ya, tadi tanpa sengaja dia membahas perihal Rian yang meninggalkan gadis itu. Almira pasti terluka karena ucapannya barusan.
"Al, aku minta maaf, aku tidak bermaksud untuk....."
"Tidak apa-apa, Daf. Mungkin yang kamu katakan itu adalah kebenarannya. Aku tidak keberatan sama sekali karena yang menjadi pendampingku nanti, harus bisa menerima aku apa adanya," lirih Almira sambil menundukkan wajahnya.
Daffa terdiam, tentu dia merasa bersalah karena sudah melukai hati Almira. Adiknya yang salah dan bukan gadis itu. Adiknya terlalu pengecut hingga memilih melarikan diri dari pada menyelesaikan masalah.
"Pergilah! Kau mandilah lebih dulu setelah itu beristirahatlah!" ucap Daffa akhirnya.
Dia tidak ingin mendebat lagi Almira apalagi dia takut keceplosan seperti barusan yang bisa membuat Almira terluka.
Almira mengangguk lalu segera memasuki kamar mandi tanpa menoleh lagi pada Daffa.
Begitu pintu tertutup, Almira langsung loncat-loncat kegirangan. Dia memang sempat tersinggung karena Daffa yang malah mengungkit perihal Rian tapi dengan begitu Daffa mau mengalah dan membiarkannya untuk mandi terlebih dahulu tanpa harus kembali berdebat panjang lebar.